Menilik Endemi dan Epidemi di Kalimantan Barat di Masa Lalu

0
2133

Penulis : Any Rahmayani (Peneliti BPNB Kalbar)

Persoalan kesehatan secara lokal tentu berkaitan dengan ekologi setempat, baik lingkungan alami, lingkungan sosial budaya (tingkah laku individu dan kelompoknya), nutrisi (baik yang disediakan alam sekitar maupun nutrisi sebagai bagian dari lingkungan sosial budaya) serta penyakit-penyakit yang ditimbulkannya. Oleh karenanya terlihat dari perbedaan jenis-jenis penyakit endemik yang ada di beberapa wilayah Kalimantan Barat yang terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi, berawa, dan lain-lain. Mari kita cermati beberapa penyakit di Kalimantan Barat pada sekitar awal abad ke-20 dari beberapa artikel berita dan jurnal kesehatan pada awal abad ke-20.

Kondisi Pontianak, misalnya, yang berawa, berlumpur dan hutan belukar merupakan wilayah khas daerah dengan endemi penyakit yang berkaitan dengan sistem pencernaan. Wilayah di pesisir Sungai Kapuas dapat dikatakan tidak cukup sehat karena pada musim pasang, air akan menggenangi permukiman. Kegiatan niaga di Pasar Lama, Pasar Ulu dan Pasar Ilir (sekarang dikenal sebagai pasar Tengah) pesisir selatan Sungai Kapuas memunculkan permasalahan kesehatan ketika mulut-mulut parit tersebut tertutup oleh tongkang yang sedang bersandar, sehingga kotoran dari darat tidak dapat hanyut ke Sungai Kapuas. Keadaan yang tidak sehat dari pasar yang sekaligus merupakan permukiman tersebut ditambah dengan keberadaan beberapa pedagang yang menjual sapi dan kambing di Pasar Ilir. Pedagang tersebut meletakkan hewan dagangan di pinggir jalan dan mengakibatkan jalan menjadi kotor oleh pakan dan kotorannya. Oleh karena itu, dinas kesehatan pada masa kolonial mencatat bahwa kasus penyakit disentri merupakan penyakit yang berkali-kali terjadi di Pontianak.

Penderita lepra (sumber: Borneo Almanak 1928)

Penyakit kelamin di Kota Pontianak pada awal abad ke-20 terindikasi menyebar melalui hubungan kelamin yang tidak sehat. Pada tahun 1928, sebuah artikel pada sebuah surat kabar menyebutkan bahwa sebuah tempat prostitusi mengakibatkan penduduk di wilayah tersebut terserang penyakit syphilis. Syphillis disetujui oleh banyak peneliti sebagai sebuah penyakit “impor” yang berasal dari daratan Eropa dan Amerika. Aktivitas niaga Pelabuhan Pontianak yang ditandai dengan lalu lalang kapal dagang menjadikan tempat ini berkembang menjadi tempat persinggahan sementara bagi para pelaut dan awal kapal.

Penyakit yang berkaitan dengan kelenjar tiroid merupakan endemi yang terjadi di wilayah perhuluan Borneo Barat pada awal abad ke-20. Tercatat bahwa endemi gondok dan kretinisme banyak menyerang penduduk di masyarakat Dayak dan Melayu di wilayah pedalaman terutama wilayah pegunungan dan perhuluan Sintang, Pinohlanden  terutama Kampung Sungai Belimbing dan Sungai Keluas. Penyakit gondok yang menyerang akibat kurangnya yodium dalam tubuh merupakan awal dari terjadinya kasus kretinisme pada anak. Gondok merupakan sebuah kelainan yang ditandai dengan membesarnya kelenjar tiroid yang secara umum diakibatkan karena kurangnya yodium dalam diet sehari-harinya. Penyakit ini banyak diderita oleh perempuan. Defisiensi yodium yang berat inilah yang kemudian menimbulkan kasus kretin endemik. Kretinisme merupakan keadaan yang disebabkan hipotiroidisme ekstrim pada bayi dan anak yang ditandai oleh kegagalan pertumbuhan (tuli dan cebol). Oleh karena itu dalam suatu daerah endemi gondok biasanya muncul kasus kretin endemik. Laporan tahunan dinas kesehatan tahun 1936 menunjukkan bahwa pemerintah telah melakukan langkah preventif untuk endemi ini dengan pemberian garam beryodium kepada penduduk

Rumah lepra di Singkawang menunjukkan berbagai etnis penderitanya, Melayu, Dayak, Madura, dan yang paling banyak Tionghoa. Pada tahun 1912, Plaatselijk Bestuur Pontianak mengirimkan 19 orang penderita lepra yang ada di Pontianak menuju Singkawang untuk bergabung dengan 15 penderita di rumah lepra di Singkawang

Awal abad ke-20 merupakan tahun-tahun dimana epidemi kolera menyerang wilayah Hindia Belanda. Kemajuan transportasi maritim dianggap sebagai faktor penunjang penyebaran penyakit asli Asia ini. Epidemi kolera di Singkawang pada tahun 1911 telah memakan korban 6 anak perempuan  Sebelumnya, penyakit dengan infeksi usus kecil akibat bakteri vibrio cholerae ini juga dilaporkan menjangkiti warga Singkawang pada tahun 1913. Aktivitas pelayaran dan perniagaan antara pelabuhan Singkawang dan Singapura yang relatif maju membuat penyakit ini berkembang di Singkawang. Kolera masih mewabah di Hindia Belanda sampai tahun 1920an.

Selanjutnya, mari kita lihat cara pandang sebuah kelompok masyarakat Dayak di pedalaman Borneo Barat pada awal abad ke-20. Wabah cacar datang ke Borneo melalui kedatangan orang-orang Eropa  melalui aktivitas merkantilis mereka. Penduduk Dayak menuju sungai dengan membawa keranjang berisi nasi, tembakau dan garam. Penyakit ini bagaikan penyakit kutukan sehingga kematian orang karena penyakit ini merupakan hal yang buruk. Cacar merupakan alasan untuk penduduk pedalaman untuk tidak tinggal di dataran rendah/pesisir pantai atau membiarkan orang asing berada di dekatnya. Cacar menjadi endemik di wilayah Borneo bagian tenggara sejak 1860 dan sejak saat itu penyakit ini tidak pernah hilang.

Pada tahun 1930an kasus penyakit filariasis atau dikenal dengan kaki gajah juga menjangkiti daerah-daerah kepulauan di Hindia Belanda. Penyakit yang disebabkan oleh larva cacing filarial yang ditularkan melalui nyamuk ini, secara sporadis ditemukan di daerah Sintang. Penyakit yang diakibatkan oleh kekurangan gizi seperti beri-beri nampaknya merata di seluruh Borneo Barat. Kasus ini diderita oleh orang-orang Dayak di Singkawang, orang-orang Tionghoa, dan Melayu di Pontianak serta Sambas. Di daerah pedalaman, Putusibau, pemerintah telah melakukan berbagai usaha untuk penanggulangan kasus ini. Pejabat kolonial di daerah perhuluan memang dikenal sebagai pejabat yang mampu mengatur distribusi beras bagi penduduknya. Pada tahun 1920, gezaghebber Melawi, C.W. ten Cate, mengatur agar beras yang dihasilkan dari ladang di kawasan itu didistribusikan khusus untuk penduduk Melawi saja

Malaria memang banyak ditemukan di Borneo Barat. Penyebaran penyakit ini tidak merata. Delta berawa sungai Kapuas pada tahun 1920an dinyatakan bebas dari penyakit yang disebabkan oleh nyamuk Anopheles ini. Namun beberapa daerah lain tercatat sebagai daerah yang paling rentan malaria yaitu Paloh di Onderafdeeling Sambas, Nanga Tayap di Onderafdeeling Boven Matan /Matan Hulu, Simpang di Onderafdeeling Sukadana, Ngabang di Onderafdeeling Landak dan wilayah Onderafdeeling Sintang.

 

Sumber:
Surat Kabar Halilintar, nomor 27 tanggal 19 Juli 1924
Surat Kabar Halilintar, nomor 30 tanggal 9 Agustus 1924
Surat Kabar Oetoesan Borneo tanggal 3 Maret 1928
Surat Kabar Borneo Barat Bergerak nomor 11 tanggal 1 Maret 1920 dan nomor 9 tanggal 1 Februari 1920.
Mededelingen van den Burgerlijken Geneeskundingen Dienst in Nederlandsch Indie, 1923
Mededelingen van den Dienst der Volksgezondheid van Nederlandsch Indie, 1938
Mededelingen van den Dienst der Volksgezondheid van Nederlandsch Indie, 1936
Borneo Almanak, 1930
Borneo Almanak, 1919

Boomgaard, Peter. 2003. Smallpox, Vaccination, And The Pax Neerlandica, Indonesia, 1550-1930. Bijdragen tot de Taal-,Land- en Volkenkunde 159, nomor 4, diunduh pada 6 Februari 2012 dari http://www.kitlv-journals.nl.

Ossenbruggen, F. D. E., van. 1911. Eigenaardige Gebruiken bij Pokkenepidemieën in den Indischen Archipel. Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde Volume 65 No 1. Diunduh  pada 6 Februari 2012 dari

http://www.kitlvjournals.nl/index.php/btlv/issue

view/873