Bagi masyarakat Ngaju, sungai bukan saja sumber penghidupan namun sungai juga dipercaya sebagai tempat tinggal mahluk adikodrati. Dengan kepercayaan tersebut, manusia memiliki kewajiban untuk menjaga hubungan yang harmonis tidak saja dengan sesama manusia namun juga dengan alam. Sebagai mahluk yang memiliki kewajiban untuk menjaga keharmonisan dengan alam dan sesama manusia, manusia telah dibekali dengan pegetahuan berupa tata cara dan aturan bagaimana manusia dapat hidup di Pantai Danum Kalunen (dunia). Salah satu tata cara yang diajarkan oleh nenek moyang orang Ngaju adalah upacara Mambaleh Bunu pada Kanarihing Ganan Danum.
Pada masyarakat Pangi dan Tangkahen di Kecamatan Banama Tingang, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, upacara mambaleh bunu pada Kanarihing Ganan Danum atau membalas bunuh[1] pada Kanarihing si penguasa air masih dilakukan jika terjadi kecelakaan di sungai yang mengakibatkan seseorang meninggal. Mereka percaya bahwa peristiwa ini disebabkan adanya gangguan dari penguasa sungai yaitu Kanarihing. Dalam pengetahuan orang Ngaju, Kanarihing merupakan salah satu penghuni air yang bersifat jahat dan bila ada orang yang meninggal karena tenggelam, mereka percaya peristiwa seperti ini bisa terjadi berulang atau akan terjadi lebih dari satu kali dalam rentang waktu tertentu. Oleh karena itu untuk mengantisipasi agar tidak terulang dan memakan korban lebih banyak maka dilakukan upacara tersebut.
Mambaleh bunu Kanarihing Ganan Danum dipimpin oleh basir[2]. Bila keluarga korban (orang yang mati tenggelam) secara ekonomi tidak mampu maka mambaleh bunu cukup dilakukan dengan menabur beras kuning di sungai namun jika secara ekonomi mampu, maka dilakukan upacara secara lengkap dengan balian. Untuk melaksanakan upacara tersebut, sebagai langkah awal maka keluarga korban akan meminta basir untuk memimpin upacara. Setelah itu, keluarga korban dengan dibantu anggota masyarakat membuat pasah pali yang merupakan tempat pelaksanaan upacara membale bunuh. Pasah Pali merupakan sebuah pondok tanpa dinding (seperti pondok di ladang) berukuran 2×3 meter yang harus selesai dibuat dalam waktu satu hari di tepi sungai. Di bagian sisi pondok tersebut digantungkan 5 gong dan satu kendang, sebagai tanda dan bunyi-bunyian pengiring ritual. Setelah selesai dibangun, salah satu kerabat korban (laki-laki) harus menunggu pondok tersebut agar tidak ada roh jahat yang datang ke pondok. Kaum perempuan dilarang masuk ke dalam pondok karena dipercaya mereka bisa membuat “penyang” yang dimiliki orang sakti yang akan diundang di acara tersebut menjadi hambar/tidak sakti lagi.
Tepat di depan pasah pali dibangun sangkaraya. Sangkaraya merupakan batang kayu yang disusun dilengkapi dengan segala ornamen, dan dibagian tengah terdapat tiang paling tinggi berbentuk corong untuk meletakkan kelapa yang digunakan pada prosesi ritual. Sementara itu, di sungai tempat korban tenggelam, ditancapkan empat kayu membentuk pagar bujur sangkar[3] yang diikat dengan tali yang dirangkai dengan daun sawang. Dibagian tengah diletakkan buah kelapa yang menjadi simbol kepala Kanarihing Ganan Danum. Tempat yang dibuat ini berfungsi sebagai pagar pelindung untuk mengurung Kanarihing Ganan Danum.
Setelah basir datang, maka basir akan menabur beras untuk memberi tahu kepada para roh yang ada di sekitar tempat tersebut bahwa akan dilakukan upacara sekaligus mengundang roh yang sakti (patahu dan lain sebagainya) untuk hadir. Selanjutnya, basir manenung[4] untuk mencari 7 orang yang dinilai memiliki kemampuan menghadapi Kanarihing. Ketujuh orang terpilih akan mendapat penyang yang dipakai oleh roh dari orang sakti sehingga memiliki keberanian untuk menghadapi Kanarihing[5]. Selain itu mereka juga dilengkapi dengan mandau dan tombak serta mengenakan kain merah yang diikatkan di kepala.
Ketujuh orang tersebut kemudian meninggalkan pasah pali menuju lokasi korban tenggelam dengan menggunakan lesang atau sampan/perahu. Sampai di tepi tempat di mana Kanarihing Ganan Danum tersebut terkurung, pemimpin dari 7 pemuda tersebut menusukkan tombak ke air (simbol tubuh kanarihing) – membunu – di bagian bawah pagar daun sawang dan dilanjutkan oleh ke enam orang lainnya secara bergantian sesuai urutan yang ditentukan pada saat manenung. Bersamaan dengan hal tersebut air dan kelapa yang mengapung akan terlontar ke atas, seketika air tersebut ditebas dengan mandauoleh salah satu orang sambil menyambar kelapa yang terlontar.
Ketujuh orang ini kemudian kembali ke pondok dengan membawa kelapa sebagai simbol kepala Kanarihing Ganan Danum dan diletakkan di sangkaraya[6]. Setelah itu mereka mengajan (seperti menari dengan tetap membawa mandau di tangan) mengelilingi sangkaraya sambil melahap atau melolo (meneriakkan bunyi, tanda kemenangan). Di tengah sorak kemenangan tersebut, 3 orang[7] yang berperan sebagai roh air – mewakili Kanarihing – mendatangi ketujuh orang tersebut sambil memberi perlawanan. Pada saat terjadi perlawanan antara kedua kubu tersebut, seorang tiang tengah atau penengah (bisa diperankan oleh basir atau orang lain) datang untuk mendamaikan kedua belah pihak. Tiang tengah menyatakan bahwa tidak perlu ada pertarungan lagi, dan menjelaskan mengapa manusia mambaleh bunuh. Kanarihing yang telah mengambil nyawa manusia telah dibalas oleh manusia dengan berganti membunuh Kanarihing sehingga tidak perlu lagi ada dendam. Untuk itu ada sanksi yang harus dilakukan yang disebut dengan memutus bunuh yaitu dengan memecahkan waluh/labu putih kosong dan marapak ijang pahera yaitu menebas ranting rotan. Pemotongan rotan dilakukan dengan melibatkan kedua belah pihak dimana keduanya memegang ujung rotan dan tiang tengah akan menebas rotan tersebut dengan menggunakan belayung (beliung).
Pemotongan rotan menjadi penanda adanya kesepakatan perdamaian yang disaksikan oleh masyarakat luas. Kedua belah pihak kemudian pulang ke tempatnya masing-masing. Buah kelapa yang merupakan pengganti kepala Kanarihing dibawa ke makam orang yang meninggal tenggelam untuk dijadikan sebagai pembantu. Hal ini sesuai kepercayaan penganut Kaharingan dimana orang yang meninggal akan lahir kembali di alam lain dan hidup selayaknya di manusia di dunia. Roh tersebut akan ikut mengasuh (jika yang meninggal anak kecil) atau membantu (jika korban sudah dewasa).
Pelaksanaan upacara mambaleh bunu Kanarihing Ganan Danum ini sekaligus menunjukkan bahwa hubungan antara manusia dengan alam telah kembali seperti sediakala.
Oleh : Septi Dhanik Prastiwi
[1]Membalas bunuh tidak hanya dilakukan di sungai namun dilakukan ketika ada orang yang meninggal karena disebabkan oleh kejadian tertentu seperti tertimpa kayu, dipatok ular dan lain sebagainya
[2] Basir adalah pemimpin ritual Kaharingan
[3]Tempat meninggalnya korban tenggelam dipagar dengan daun sawang ditujukan agar roh jahat yang melakukan kesalahan (membuat orang mati tenggelam) tidak bisa keluar dari tempat itu (terkurung).
[4]Manenung dilakukan dengan cara memanggil orang atas (patahu) dan menyebutkan nama-nama orang (dari warga biasa). Dari hasil manenung tersebut akan dipilih 7 orang.
[5]Ketujuh orang dengan senjata dan kain merah ini dirasuki oleh patahu sehingga rasa takut tidak ada lagi diganti dengan rasa berani
[6]Peletakan buah kelapa di Sangkaraya bertujuan agar Kanarihing datang.
[7]Mengenakan kostum dari daun-daunan menirukan gambaran Kanarihing.Tiga orang ini merupakan sukarelawan (tidak dipilih melalui manenung) dan biasanya dipilih orang yang lucu-lucu.