Toge Bukan Tauge
Sahabat Budaya, pada saat mendengar kata toge apakah yang langsung tergambar di dalam pikiran kita? Batang seukuran pentol korek api, putih, memiliki ekor, dan memakai penutup kepala berwarna hijau bak serdadu. Tentu itulah yang langsung tergambar dalam pikiran kita, tauge atau yang di dalam pelafasan sehari-hari kita menyebutnya dengan toge. Namun gambaran itu akan berbeda tatkala kita mendengar kata toge panyabungan. Tidak sedikit yang akan mengalami kegagalan dalam mengilustrasikan gambaran tentang toge panyabungan ini.
Penyebabnya adalah kata Panyabungan yang mengikuti kata toge tadi. Bagi orang yang berasal dari luar Pulau Sumatera, atau pun mungkin bagi orang yang berasal dari daerah di luar Provinsi Sumatera Utara pastilah belum familiar betul dengan kata Panyabungan ini. Panyabungan merupakan salah satu kota kecil, yang terletak di ujung paling selatan Provinsi Sumatera Utara, dekat dengan perbatasan Provinsi Sumatera Barat. Panyabungan adalah ibu kota Kabupaten Mandailing Natal yang merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan.
Setelah mendapatkan gambaran tentang Panyabungan, barang kali sebagian sahabat budaya masih meraba-raba terkait gambaran toge panyabungan ini. Mungkin saja ada sebagaian dari sahabat budaya yang menggambarkan toge panyabungan itu sebagai sayur tauge yang berasal dari Kota Panyabungan, yang kemungkinan memiliki cita rasa yang khas dari kebanyakan tauge yang kita temukan selama ini di pasaran. Karena merujuk pada kata tauge dan Kota Panyabungan, sebagaimana pada kebiasaan kita menyematkan kata makanan dengan kota asal dari makanan tersebut yang memiliki cita rasa unik jika dibandingkan dengan daerah lain. Seperti misalnya Tahu Sumedang, Lontong Medan, Soto Betawi, dan sebagainya yang pada kenyataannya memang mempunyai ciri khas dan cita rasa berbeda dengan jenis makanan serupa yang terdapat di daerah lain.
Adapun pada toge panyabungan kasusnya berbeda. Toge di sini adalah nama sejenis penganan tradisional khas etnik Mandailing yang mendiami Kota Panyabungan, bukan sayuran tauge. Tidak diketahui kenapa nama Panyabungan ini disematkan pada penganan ini, padahal kita tidak akan menemukan penganan yang sejenis dengan toge ini pada masyarakat ataupun etnik lain. Akan tetapi mungkin saja penyematan kata Panyabungan ini adalah untuk menunjukkan bahwa asal dari penganan ini adalah dari Kota Panyabungan.
Tidak diketahui secara pasti apa arti kata toge, dan juga belum diketahui kenapa penganan khas ini diberi nama toge. Ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh ibu Janita Lubis (55), seorang pengrajin dan pedagang toge panyabungan di Kota Padangsidimpuan yang biasa berdagang penganan ini disetiap bulan puasa tiba. Menurut beliau, yang telah puluhan tahun berjualan toge panyabungan, tidak diketahui apa arti kata toge ini dan kenapa dinamakan demikian, padahal usaha beliau ini merupakan usaha turun temurun sejak dari zaman nenek beliau. “Yah, kita taunya dari dulu yah toge, sejak dari zaman nenek-nenek kita, ibu hanya meneruskan tradisi dan berjualannya saja.” ungkap beliau. Jadi pada masyarakat Mandailing makna toge itu adalah merujuk pada sebuah penganan tradisional, toge Panyabungan.
Toge panyabungan merupakan salah satu penganan favorit masyarakat Mandailing. Penganan ini merupakan campuran dari lupis, pulut hitam, tapai pulut putih, bulatan-bulatan kecil sebesar biji salak (candil) yang disiram dengan kuah cendol bersantan dan gula aren yang sudah dicairkan dengan campuran daun pandan. Selain namanya yang unik, pada awalnya penganan ini hanya akan muncul pada saat bulan puasa (Ramadan) saja. Ia dijajakan disore hari menjelang waktu berbuka puasa tiba, sebagai penganan khas berbuka puasa pada masyarakat Mandailing. Rasanya yang manis terasa pas untuk menghilangkan rasa dahaga setelah satu harian penuh tertahan oleh amalan ibadah puasa. Belakangan toge panyabungan lebih mudah dijumpai di pasar-pasar tradisional di Panyabungan diluar bulan puasa, akan tetapi akan lebih banyak kita jumpai pada saat bulan puasa tiba.
Selain di Kota Panyabungan toge panyabungan juga bisa kita jumpai di Kota Padangsidimpuan dan Kota Medan. Akan tetapi untuk kedua kota ini, kita hanya bisa menjumpainya pada saat bulan puasa saja, karena ia hadir sebagai sebuah bentuk tradisi yang dibawa oleh para perantau dari tanah Mandailing ke tanah rantaunya di Kota Padangsidimpuan dan Kota Medan. Kerinduan akan kampung halaman bisa terobati dengan tradisi yang tetap dilestarikan di daerah rantau.
Jadi sahabat budaya, jika suatu saat berkesempatan berkunjung atau sekedar lewat dari Kota Panyabungan singgahlah sejenak, atau mungkin pas bulan puasa begini sahabat budaya sedang berkunjung ke Kota Panyabungan atau Kota Padangsidimpuan atau mungkin Kota Medan, cocok sekali sahabat, jangan lupa mencoba penganan unik ini, toge panyabungan, agar langsung tergambarkan bentuknya sekalian tergambarkan rasanya yang adem di lidah dan di hati sahabat.
Oh iya sahabat budaya, pada tahun 2017 yang lalu toge panyabungan ini telah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Nasional (Warbudnas) milik Indonesia melalui pengajuan yang dilakukan oleh BPNB Aceh pada saat sidang penetapan Wabudnas oleh Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemdikbud. Untuk lebih jelasnya sahabat silahkan klik link berikut ini: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbaceh/sidang-penetapan-warisan-budaya-takbenda-indonesia-2017/.
Sumber foto: Sipirock Coffee (twitter).
🙂