Kata laweut adalah suatu ungkapan yang berasal dari kata seulaweut (salawat), yaitu berupa kata-kata untuk memuji Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasalam. Tari ini dahulunya dimainkan oleh kalangan perempuan di pesantren-pesantren sebagai suatu bentuk hiburan ketika malam hari. Selain itu, tari Laweut juga biasa dimainkan istri-istri para pejuang untuk mengisi waktu luang pada masa-masa perang dahulu.

Tari Laweut berasal dari Sigli, Kabupaten Pidie. Kemudian tarian ini menyebar ke seluruh wilayah Aceh hingga ke pesisir. Di Aceh, tarian ini juga dikenal dengan sebutan tari Seudati Inong atau Akoom.

Berdasarkan catatan sejarah, keberadaan tari Laweut sudah ada sejak zaman Hindia Belanda, tidak diketahui siapa penciptanya. Pada masa itu, tari Laweut merupakan salah satu seni pertunjukan yang mendapatkan perhatian khusus dari Hulubalang. Tarian ini sering dipertunjukkan di hadapan para petinggi kerajaan.

Tari Laweut hampir memiliki kesamaan dengan tari Seudati. Letak perbedaannya adalah pada para pemain dan tepukan saat menari. Tari Laweut dibawakan oleh perempuan sedangkan tari Seudati adalah tarian yang dibawakan oleh kaum pria. Gerakan menepuk tangan pada tari Seudati ditepukkan tepat pada bagian dada dan perut dengan keras, adapun pada tari Laweut tidak demikian karena dibawakan oleh perempuan, maka gerakan menepuk ditepukkan pada paha dan telapak tangan (bertepuk tangan) saja.

Tari Laweut juga bisa dan biasa dilaga atau dilombakan, dua kelompok penari saling berhadapan dan beradu gerak. Sisi yang dinilai dari perlombaan ini adalah kekompakan gerak para penari masing-masing kelompok, ragam gerak, penampilan, dan syair yang mengiringi tarian yang berupa kisah-kisah, kiasan-kiasan, sindiran, ataupun teka-teki.

Syair-syair pengiring pada tari Laweut umumnya mengandung pujia-pujian kepada Allah dan salawat kepada rasul, pesan-pesan tentang kehidupan manusia, pendidikan, dan sebagainya.

Tari Laweut dimainkan oleh delapan orang penari muda berusia 20-30 tahun. Dipimpin oleh seorang syeh dan dibantu oleh dua orang apet syeh. Tarian yang dipersembahkan kedelapan orang penari ini akan diiringi dengan syair-syair yang dilantunkan oleh satu atau dua orang aneuk laweut yang berdiri di salah satu sudut pentas. Jadi tari Lawuet ini tidak dimainkan dengan iringan alat musik, hanya diiringi oleh syair-syair yang dilantunkan oleh aneuk laweut saja. Inilah yang menjadi salah satu ciri khas dari tarian ini.

Perubahan gerak dan komposisi tari sangat tergantung pada syair yang dilantunkan oleh aneuk laweut. Setiap satu syair, maka ia memiliki satu jenis gerak. Dengan kententuan gerak tari akan dilakukan dalam bentuk babakan, dengan pola gerak berhenti pada setiap syair, lalu berlanjut pada gerak dan syair yang lainnya. Disertai pula dengan perubahan komposisi ragam gerak tariannya.

Pola-pola pada tari Laweut sama persis dengan pola-pola pada tari Seudati, yaitu: bersaaf (berbanjar), pha-rangkang (segi empat), dan glong (Melingkar). Adapun tahapan-tahapan pada tari Laweut adalah:

Saleum yaitu lantunan syair berisi salam dan sapaan yang dimulai oleh syeh dan kemudian dilantunkan secara bersama dan kemudian disambut lagi oleh syeh dan aneuk laweut.

Saman yaitu syair yang dimulai oleh syeh lalu diikuti oleh penari lainnya, kemudian disambut oleh aneuk laweut sambil berpantun.

Likok yaitu lantunan syair-syair yang berisikan tentang kisah-kisah ataupun peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada masa lampau.

Kisah yaitu syair yang berisikan tentang hikmah-hikmah yang dapat dipelajari dari kisah-kisah maupun peristiwa-peristiwa yang disyairkan pada likok, kadangkala juga disisipi dengan pesan-pesan pemerintah.

Lanie (ekstra) yaitu syair bebas yang sifatnya lebih pada hiburan. Lanie ini juga memegang peranan penting, lebih-lebih dalam suatu pertandingan (tunang).

Pada tahun 2016, melalui program Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud, tari Laweut telah mendapatkan upaya revitalisasi, dan pada tahun 2018 ini juga telah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTB Indonesia) oleh Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud melalui pengajuan yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh (BPNB Aceh).