Jakarta– Bertempat di Hotel Millennium Sirih, Jl. Fachruddin No. 3, Jakarta Pusat, telah digelar Sidang Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia tahun 2017, sejak hari Senin tanggal 21 s/d Kamis tanggal 24 Agustus 2017. Sidang penetapan ini merupakan kegiatan tahunan Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya (Direktorat WDB), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemdikbud, dalam rangka perlindungan atas kekayaan warisan budaya milik bangsa kita, Indonesia, dari klaim kepemilikan oleh bangsa lain.

Suasana Sidang Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2017.
Suasana pada saat Sidang Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2017. Serius dan diuji oleh tim yang terdiri dari para ahli pada bidang budaya dan sejarah.

Sejak bergulir dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2016 yang lalu, telah tercatat secara resmi 34 mata budaya milik Aceh dan Sumatera Utara dalam Warisan Budaya Nasional (Warbudnas). Dari ke-34 mata budaya tersebut terdiri dari 20 mata budaya dari Provinsi Aceh dan 14 sisanya berasal dari Provinsi Sumatera Utara.

Pada awal program ini, yang melaksanakan pengusulan ke Direktorat WDB adalah 11 UPT Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) yang tersebar di seluruh Indonesia. Sejak tahun 2016 tugas ini dibebankan kepada Dinas Kebudayaan di tingkat provinsi. Adapun tugas dari BPNB hanya sebatas membantu menyediakan kekurangan data pada saat pengajuan, itupun jikalau diminta oleh pihak dinas tersebut. Akan tetapi karena sesuatu kendala pada dinas terkait, pekerjaan ini masih 100% dijalankan oleh beberapa BPNB. Sebagaimana yang terjadi pada BPNB Aceh, disaat pengajuan tahun 2016 dan pada tahun 2017, BPNB Aceh masih harus melaksanakan proses pengajuan dari awal hingga akhir. Mulai dari pemilihan mata budaya yang akan diajukan, pengisian formulir pengajuan, pengumpulan data pendukung dalam bentuk foto, video, serta tulisan ilmiah tentang mata budaya tersebut.

Serangkaian kegiatan sosialisasi terkait mekanisme serta syarat-prasyarat pengajuan Warbudnas telah dilaksanakan oleh BPNB Aceh ke dinas-dinas terkait kebudayaan di daerah tingkat I dan II di Aceh dan Sumatera Utara. BPNB Aceh juga telah menyebar formulir pencatatan dan pengajuan Warbudnas, bukan hanya terbatas pada lembaga resmi seperti dinas akan tetapi juga kepada para pelaku budaya di daerah (Aceh dan Sumut), akan tetapi tetap saja tidak bisa berjalan sebagaimana semestinya, entah di mana letak kendala dari dinas-dinas di daerah.

Tahun ini BPNB Aceh mengajukan enam mata budaya dari Aceh dan enam mata budaya dari Sumatera Utara. Adapun ke-6 mata budaya dari Aceh tersebut: keumamah (Aceh); landoq sampot (Kluet); payung mesekhat (Alas); pesenatken (Alas); rapai geurimpheng (Aceh); dan rapai pasee (Aceh). Sedangkan enam mata budaya dari Sumatera Utara adalah tari gubang (Melayu); toge panyabungan (Mandailing); pelleng (Pakpak); genderang sisibah (Pakpak); holat (Angkola); dan babae (Nias).

Kepala BPNB Aceh dan perwakilan dari Disbudpar. Provinsi Sumatera Utara saat sidang penetapan Warbudnas Sumut.
Kepala BPNB Aceh, Irini Dewi Wanti, SS., MSP., dan bapak Humala Pardede dari Disbudpar. Provinsi Sumut pada saat sidang penetapan enam mata budaya dari Sumatera Utara untuk ditetapkan sebagai Warisan Budaya Nasional. Proses persidangan alot yang diuji oleh para pakar pada bidangnya masing-masing.

Dari ke-12 mata budaya yang diajukan oleh BPNB Aceh, setelah melalui proses persidangan yang sangat alot pada tanggal 22 dan tanggal 23 Agustus 2017, 10 mata budaya telah masuk dan ditetapkan sebagai Warisan Budaya Nasional 2017, satu mata budaya ditunda, dan satu lagi ditolak sementara.

Mata budaya yang tertunda tersebut adalah pelleng yang merupakan makanan tradisional dari etnis Pakpak. Penundaan ini hanya terkait kuota mata budaya yang akan ditetapkan sebagai Warisan Budaya Nasional. Insyaallah pelleng akan masuk sebagai Warbudnas pada tahun 2018 yang akan datang.

Adapun yang ditolak sementara adalah keumamah atau ikan kayu berbahan dasar ikan tongkol yang dikeringkan milik etnis Aceh. Alasan dari tim penguji dikarenakan kelemahan pada substansi dari keumamah sebagai sebuah karya budaya. Hal ini terjadi hanya karena kurang kuatnya data pendukung pada tulisan ilmiah terkait keumamah. Insyaallah tahun depan BPNB Aceh akan kembali mengajukan keumamah dengan memperkuat substansi yang dimaksud oleh tim penguji.

Selamat untuk Aceh dan Sumatera Utara atas penetapan ini.

🙂