Sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan bahwa Jurnal Suwa akan diterbitkan dua kali dalam setiap tahun. Namun, karena satu dan lain hal pada tahun ini hanya dapat diterbitkan satu kali. Sejalan dengan tujuan penerbitan Jurnal Suwa, yaitu untuk memberikan pencerahan, pengetahuan, dan wawasan kebudayaan kepada masyarakat. Jurnal Suwa kali ini menerbitkan 7 artikel hasil penelitian sejarah dan nilai budaya di wilayah kerja BPNB Aceh, yaitu Aceh dan Sumatera Utara.
Jurnal Suwa Volume 22, No. 1 ini diawali artikel yang ditulis oleh Diyah Hidayati yang berjudul “Hilo, Keranjang Tradisional Masyarakat Kepulauan Batu, Nias Selatan”. Hilo merupakan sejenis keranjang yang dikenal di wilayah Kepulauan Batu, Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Namun, seiring perkembangan waktu, hilo mengalami tantangan penggunaannya. Oleh karena itu, penulis mengkaji cara masyarakat Kepulauan Batu menyikapi keberadaan warisan leluhur tersebut dalam konteks kekinian. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan informasi mengenai sebuah alat tradisional yang hingga kini masih digunakan. Penulis melakukan kajian tersebut melalui pendekatan antropologis dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, demonstrasi, serta didukung oleh studi komparatif dan studi pustaka. Disebutkan bahwa hilo tetap dapat bertahan antara lain karena peralatan ini sangat diperlukan dalam kegiatan berkebun masyarakat Kepulauan Batu, serta karena dilakukannya inovasi-inovasi yang mampu memberikan warna modern sehingga hilo dapat bertahan dalam konteks kekinian.
Artikel berikutnya tentang “Kajian Nilai Budaya Reuncong” yang ditulis oleh Sudirman. Artikel ini mengkaji berbagai nilai budaya yang terkandung pada Reuncong. Reuncong merupakan senjata khas masyarakat Aceh. Penulis mengkaji berbagai nilai budaya yang dikandung pada reuncong dengan menggunakan metode kualitatif dan teknik pengumpulan data melalui wawancara dan studi pustaka. Dalam artikel ini dijelaskan bahwa nilai budaya masyarakat Aceh lebih didominasi oleh muatan makna yang berdasar pada ajaran Islam yang kemudian menjadi adat Aceh. Hal itu, seperti terungkap dalam hadih maja, yaitu hukom ngon adat lagee zat ngon sifeut (’hukum (Islam) dengan adat seperti zat dengan sifatnya’). Hadih maja itu menggambarkan begitu menyatunya nilai budaya Islam ke dalam nilai budaya Aceh. Oleh karena itu, nilai-nilai budaya Islam merupakan isi budaya Aceh. Hal itu juga tercermin pada satu di antara hasil budaya masyarakat Aceh, yaitu reuncong. Reuncong mengandung sarat nilai-nilai yang dipengaruhi oleh ajaran Islam. Oleh karena itu, Reuncong mempunyai nilai dan arti penting dalam sejarah dan budaya masyarakat Aceh. Reuncong mengandung nilai yang sarat makna sehingga mnjadi identitas Aceh yang memiliki daya tarik.
Hasbullah menulis artikel yang berjudul “Sejarah Kenegerian Lembah Gunung Singgah Mata: Nagan Raya dari Kesultanan Aceh hingga menjadi Kabupaten (1588-2012)”. Sebuah penelitian yang mengisahkan lahirnya sebuah kabupaten dalam urutan waktu yang panjang. Dijelaskan bahwa negeri yang dijuluki ’Negeri Rameune’ini awalnya tumbuh dan dibangun oleh kedatangan orang Pidie dan Aceh Besar yang kemudian membentuk keberagaman dengan kedatangan pekerja kontrak ’Jawa Deli’ sejak berkembangnya onderneming di Sumatera Timur hingga ke Aceh Barat yang dirintis sejak tahun 1930-an, yaitu di Seunagan dan Seumayam. Dalam artikel ini juga dijelaskan bahwa Nagan Raya terbentuk dari keberagaman, yaitu kolaborasi antara penduduk lokal dengan pendatang hingga menciptakan harmoni di antara mereka. Program transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah pada masa Orde Baru ke daerah ini semakin memperkuat pondasi asimilasi dan ekonomi masyarakatnya yang berbasis pertanian sawah (blang) dan perkebunan ’keubon’dengan segala budaya agrarisnya. Selain itu, dengan adanya program transmigrasi, Nagan Raya semakin ramai, tetapi dapat mempertahankan harmonisasi. Migrasi dan harmonisasi tersebut di antara faktor kuatnya pondasi ekonomi masyarakatnya.
“Buaya dan Pawang dalam Dimensi Sosial Budaya Masyarakat di Sekitar Aliran Sungai Singkil” sebuah artikel hasil penelitian yang dilakukan oleh Cut Zahrina. Penelitian ini mengungkap sejarah perkembangbiakan buaya muara di Kabupaten Singkil dan profesi pawang buaya sebagai tokoh terpenting yang menjaga keamanan dan kenyamanan warga dalam mencari nafkah di aliran muara Sungai Singkil. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan teknik wawancara dan studi pustaka. Sungai Singkil merupakan sungai yang istimewa bagi masyarakat Singkil, karena di aliran sungai tersebut masyarakat mengantungkan kehidupan perekonomian, baik sebagai pencari nipah, pencari lokan, maupun pencari ikan. Dalam artikel ini dijelaskan juga bahwa buaya muara merupakan salah satu satwa yang dapat berkembang biak di muara Sungai Singkil. Buaya muara masih hidup liar dan bebas di muara Sungai Singkil. Penulis mengemukakan bahwa buaya muara dapat dijadikan sebagai mata pencaharian baru bagi masyarakat Singkil melalui penangkaran. Buaya muara seringkali menjadi ancaman bagi masyarakat Singkil yang mencari nafkah pada muara sungai tersebut. Masyarakat sangat bergantung pada pawang buaya yang dianggap dapat mengatasi keganasan buaya.
Essi Hermaliza penulis artikel yang berjudul “Likok Pulo Aceh”. Artikel ini hasil kajian mengenai jenis tarian tangan seribu Likok Pulo pada masyarakat Aceh, terutama di daerah asalnya, Pulo Breueh. Dalam penelitian ini dijelaskan sejarah dan perkembangan Likok Pulo, pola, dan bentuk sajiannya dalam bentuk yang alami. Dalam kajian tersebut, penulis menggunkan metode kualitatif dengan melakukan studi lapangan, wawancara, dan pendokumentasian. Likok Pulo telah ada di tengah-tengah masyarakat Pulo Aceh sejak lama dan telah menjadi bentuk aktivitas berkesenian di pulau tersebut. Likok Pulo merupakan seni tari tradisi dari Pulo Aceh yang diciptakan oleh seorang ulama dari tanah Arab sebagai media dakwah Islam di tempat tersebut. Penulis menjelaskan panjang lebar dalam artikelnya bagaimana seorang ulama yang bernama Ahmad Badron memanfaatkan kesenian sebagai media dakwah. Namun, dalam artikel ini disebutkan bahwa keberadaan tarian ini terancam punah, penari saat ini adalah generasi terakhir yang manguasai tarian tradisi tersebut. Selain berfungsi sebagai media hiburan, Likok Pulo dapat menjadi media pembelajaran sejarah perjuangan Aceh serta syiar Islam yang disampaikan lewat syair-syairnya. Dalam artikel ini juga dijelaskan strategi penyelamatan warisan budaya tersebut, di antaranya melalui pencatatan warisan budaya tak benda dan layak diusulkan menjadi warisan budaya nasional serta diikuti dengan tindakan nyata penyelamatan dari kepunahan.
Sebuah artikel yang berjudul “Peran Perempuan dalam Mengolah Daun Nipah di Sekitar Aliran Sungai Singkil” ditulis oleh Harvina. Dalam artikel ini dibahas peran perempuan di sekitar aliran sungai Singkil dalam menopang ekonomi keluarga. Untuk menopang ekonomi keluarga, para perampuan atau ibu rumah tangga berperan sebagai pengolah daun nipah. Dalam menjelaskan permasalahan tersebut, penulis menggunakan metode kualitatif. Penggunaan metode kualitatif dimaksudkan untuk mendapatkan data yang akurat dan bersifat alamiah dengan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan studi pustaka. Tanaman nipah banyak tumbuh di sekitar aliran sungai Singkil. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Peran perempuan dalam mendukung kegiatan ekonomi rumah tangga sangat besar, meskipun peranan utama mereka sebagai ibu rumah tangga, tetapi mereka juga mempunyai peranan penting dalam rangka meningkatkan pendapatan rumah tangga untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga. Para perempuan yang tinggal di sekitar aliran sungai Singkil mengolah daun nipah untuk dijadikan pembungkus rokok. Pekerjaan mengolah daun nipah dilakukan oleh perempuan, para lelaki hanya membantu dalam pekerjaan yang berat seperti mengambil daun nipah di muara sungai. Salah satu hal yang menarik dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa harga daun nipah sangat tergantung pada pihak pengepul. Para pengepullah yang menentukan harga daun nipah.
*Sudirman (Peneliti Madya pada BPNB Aceh)