Resensi Buku : SEJARAH PERKERETAAPIAN DI ACEH

0
2412

IMG

 

 

Sejarah Perkeretaapian di Aceh

Penulis : Rusdi Sufi, Seno, Irvan Setiawan, Indriani, Titit Lestari

Judul : Sejarah Perkeretaapian di Aceh

Penerbit : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, Juni 2001

Jumlah Halaman : 49 halaman

 

 

 

Kereta Api merupakan sebuah alat transportasi darat yang sangat efisien dan terjangkau harganya. Beberapa daerah di indonesia telah menggunakan transportasi ini sejak didirikan oleh Nederlandse Indische Spoorwegen Maatschappij (NISM) (Perusahaan Rel Kereta Api Belanda) sekitar tahun 1860 dan mulai merambah ke daerah lainnya pada tahun berikutnya. Di Aceh pendirian kereta api dititikberatkan pada kepentingan strategi perang dari pada kepentingan ekonomi dan sosial. Berkembangnya Kereta Api di Aceh berkaitan dengan keyakinan bahwa sarana transportasi ini bermafaat sebagai alat pasifikasi yang sangat penting. Melalui ide pasifikasi ini, pengangkutan alat dan barang dapat dilakukan dalam jumlah dan ukuran yang besar dan selama bertahun-tahun serta membawa keuntungan besar pula bagi pemerintah Belanda dalam bidang ekonomi ,politik maupun militer.

Pada tanggal 26 juni 1874 Gubernur Aceh memerintahkan untuk menghubungkan tempat debarkasi Ulee Lheue dan Kutaraja dengan sebuah jalan dan rel kereta api sepanjang 5 km serta sebuah alat perhubungan telegraf di antara kedua tempat tersebut. Disamping itu diputuskan pula untuk membangun suatu dermaga di Ulee Lheue yang pengerjaannya ditugaskan kepada Zeni. Rencana-rencana tersebut harus dilaksanakan secepat mungkin. Lintas kereta api Ulee Lheue-Kutaraja tidak hanya menyokong pada kecepatan pengangkutan, tetapi juga disebabkan ketika hujan turun, jalan raya yang ada di antara tempat tersebut tidak bisa digunakan oleh para kuli untuk mengangkut orang, barang seperti peralatan perang, amunisi dan bahkan konsumsi, serta tentara yang sakit.

Kereta api sebagai alat perang juga terlihat ketika pemerintah Belanda di Aceh menerapkan sistem konsentrasi lini (1884-1893). Sistem ini diterapkan karena pihak-pihak musuh (orang Aceh) sudah sering menyerang pengangkutan bahan-bahan makanan dan amunisi Belanda di sekitar ibukota Kutaraja. Lintas kereta api di Kutaraja pun semakin berkembang jaraknya seiiring pergantian tahun.

Jalan ketera api terdiri atas dua bangunan yaitu bangunan atas ( rel, bantalan, lapisan ballast(tolak bara), wissel, gunungan, alat pengaman seperti: tiang sinyal, pintu lintas jalan raya, pesawat,rumah sinyal). Sedangankan bangunan bawah meliputi : tanah asli, jembatan,viaduct, terowongan, emplasemen beserta bangunannya dll. Kebutuhan besi dan kayu untuk pembuatan dermaga didapat dari Singapura pada tahun 1874 dan proses pembuatan dermaga membutuhkan waktu hingga dua tahun yang kemudian digunakan sebagai dermaga kereta api yang bertempat di Ulee Lheue.

Pada sekitar tahun 1975-an hingga 1980 kereta api di Aceh masih beroperasi namun jalannya sudah tidak teratu,r kadang jalan dan kadang tidak. Hal ini disebabkan karena kereta api yang di operasikan sering mengalami kerusakan karena ketuaan, dan proses perbaikannya pun memakan waktu yang relatif lama, selain itu dari segi kecepatannya pun sudah mulai menurun. Beberapa masalah kereta api berikutnya muncul baik dari segi fisik maupun biaya produksi yang semakin meninggi yang menyebabkan perusahaan kereta api terus merugi, itu lah mengapa transportasi kereta api akhirnya ditutup.

Setelah berakhirnya masa kejayaan kereta api di Aceh kepopulerannya pun semakin menurun. Bahkan generasi-generasi sekarang banyak yang tidak mengetahui bahwa kereta api pernah berjaya di bumi Aceh. Hal ini sangat disayangkan mengingat sejarah perkereta apian di Aceh yang merupakan salah satu transportasi yang berperan penting membantu rakyat Aceh dari segi ekonomi, sosial dan politik.