Tari Rapa’i Geurimpheng merupakan salah satu jenis kesenian tradisional Aceh yang berkembang pada masyarakat pesisir timur Aceh. Tari ini bermula dari perkembangan alat musik yang masuk ke Aceh, yaitu Rapa’i, yang dibawa oleh Syeh Rifa’i dari Baghdad dan kemudian berkembang pesat di Aceh karena fungsinya sebagai media dakwah Islam dan hiburan. Karena kegemaran masyarakat Aceh terhadap alat musik rapa’i dan sebagai penghargaan terhadap tokoh pertamanya, maka ditalkanlah nama Rapa’i dari nama Rifa’i. sedangkan geurimpheng yang bermakna “banyak macam” diambil menjadi nama tari sebagai gambaran bahwa tari ini memiliki komposisi yang beraneka ragam mulai dari pukulan rapa’i, gerakan kepala dan badan, formasi hingga syair.
Rapa’i Geurimpheng ditarikan oleh 8-12 pemain yang disebut dengan awak rapa’I, tiga orang syeh (pemimpin pukulan rapa’i) yang terdiri dari apit wie, apiet teungoh dan apiet unenun, satu orang syahi (penyanyi) dan aneuk syahi (pendamping penyanyi). Dalam satu kali penampilan terdiri dari delapan babak yang dengan nyanyian syair; babak pertama dan kedua berisi salam penghormatan, babak ketiga berisi seulaweut (shalawat), babak keempat adalah tingkah (tidak diikuti syair) yang diisi dengan gerakan khep-khep, ketumbak dan tak lhee, babak kelima kisah yang syairnya banyak berbicara mengenai kisah Hasan dan Husein (cucu Rasulullah SAW), Kisah Nabi Nuh atau Kisah Masjid Raya, babak keenam adalah syahi panyang, babak ketujuh adalah saman yang terdiri dari Gerakan lot lee lot lahellahe, cempala kuneng, tajak u blang dan dayong dan babak kedelapan yaitu lani dengan gerakan tob pade dan jak keuno rakan serta salam penutup.
Nilai filosofis yang terkandung dalam tari ini adalah nilai-nilai keislaman, nilai dakwah, dan juga nilai sufistik yang berkembang dalam masyarakat Aceh. Tari Rapa’i Geurimpheng merupakan salah satu tari yang hampir punah sehingga pada 2017 yang lalu dilakukan usaha reviltalisasi. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat memunculkan kembali antusiasme dan apresiasi masyarakat serta perhatian dari pemerintah daerah pada tari ini. Dan Rapa’I Geurimpheng juga telah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTB Indonesia) pada tahun yang sama, tahun 2017.
Nurmila Khaira