Peristiwa 11 September 1926; Perlawanan Teungku Peukan terhadap Belanda di Aceh (Bagian III)

0
2103

Peristiwa 11 September OLEH :HASBULLAH. SS

 Editor : Prof. Drs. Zakaria Ahmad

Booklet diterbitkan oleh

Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Banda Aceh

 

 

 

 

 

Peristiwa 11 September 1926

             Serangan fajar secaa sporadis dan dahsyat dilakukan oleh pasukan Teungku Peukan menjelang subuh bertepatan masuknya hari Jum’at tanggal 11 September 1926. Serangan dari pejuang pengikut Teungku Peukan pada Subuh itu membuat serdadu Belanda di dalam tangsi kucar-kacir. Sebagian marsose yang sedang tertidur pulas ditewaskan dengan serangan kelewang dan rencong pejuang Aceh Barat Daya. Sebagian lainnya terluka dan hanya tiga marsose yang selamat dalam serangan fajar itu.

                Dikisahkan dalam serangan itu beberapa kali senapan marsose Belanda tidak dapat meletus ketika akan menembaki para pejuang di pihak Teungku Peukan. Para pejuang dari “Bumo Breueh Sigeupai” terus maju menggempur dan memporak-porandakan marsose dan isi tangsi Belanda. Serangan di pagi itu ke dalam tangsi Belanda membuat “banjir darah” di Blangpidie, baik di pihak pejuang maupun marsose. Sebagai wujud rasa syukur, Teungku Peukan kemudian mengumandangkan azan.

                Saat mengumandangkan azan, seorang marsose Belanda melepaskan tembakan yang membuat Teungku Peukan “syahid” ke pangkuan “Bumo Persada”. Dalam situasi dan kondisi yang sangat genting, Teungku Muhammad Kasim (putra Teungku Peukan) menjadi emasional dan dengan serta-merta menyerang dengan semangat “trueng bila”. Ia meraih potongan pecahan kaca yang bertaburan di dalam tangsi untuk menghantam tubuh salah seoang marsose. Sebelum kaca mengenai tubuh lawan, hantaman peluru dari marsose lainnya menembusi tubuhnya yang membuat beliau ikut gugur di dalam serangan itu.

                Teungku Peukan kemudian dimakamkan tidak jauh dari lokasi tertembak dan gugur, yaitu di sekitar Mesjid Jamik Blangpidie dekat tangsi Belanda. Beliau meninggal pada hari Jum’at tanggal 11 September 1926. Dalam serangan itu, bersama Teungku Peukan, gugur lima orang pejuang lainnya. Beberapa panglima dan pejuang yang selamat melarikan diri dan kembali bergerilya di hutan-hutan di daerah pedalaman Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan, di antaranya Pang Pancuk dan Sidi Rajab. Sistem lini konsetrasi yang dilakukan Belanda semakin ketat, membuat para pejuang Aceh Barat Daya banyak yang gugur dan tertangkap. Mereka diinterniran ke Pulau Jawa, seperti Waki Ali dan Nyak Walad, sedangkan Said Umar “dibuang” ke Makassar Sulawesi Selatan.

                Pada bulan Maret 1927, saat pasukan marsose melakukan sweeping ke markas gerilyawan di Gunong Sabi, mereka kembali disergap oleh pejuang Aceh Barat Daya. Dalam penyergapan itu, beberapa korban jatuh di pihak marsose Belanda. Teuku Nana sebagai uleebalang Manggeng yang dituduh menutup-nutupi laporan tentang aktivitas para gerilyawan kepana Belanda mengakibatkan ia dicopot dari jabatan sebagai uleebalang Manggeng. Setelah itu uleebalang Manggeng dipegang oleh beberapa pengganti, di antaranya Cut Mamat. Baru pada 1933 Belanda mengangkat Teuku Raja Iskandar menjadi uleebalang di Manggeng.

Daftar Pustaka:

Abubakar. H. Said., 1995, Berjuang untuk Daerah: Otonomi Hak Azazi Insani, Banda Aceh” yayasan Nagasakti.

Ahmad, Zakaria, (ed)., 2007, Negeri dan Rakyat Aceh Barat Daya dalam Lintasan Sejarah menuju Daerah Otonom, Blangpidie: Pemda ABDYA.

Tarmizi, Ismail., Agustus 2004, Gambaran Umum Perintis Kemerdekaan RI Pejuangan Daerah dan Cita-Cita Bangsa Saat Ini, Makalah Seminar Sehari untuk Siswa SD, SMP dan SMA se-Kabupaten ABDYA, Blangpidie: dinas Sosial Kabupaten ABDYA.