PERDAMAIAN DAN KONFLIK ACEH DALAM PERSPEKTIF SEJARAH

0
1586

Banda Aceh-Kamis, 08 Desember 2016, Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) bekerja sama dengan BPNB Aceh kembali menggelar Dialog Kesejarahan. Perdamaian dan Penyelesaian Konflik Dalam Persfektif Sejarah merupakan tema yang diangkat dalam dialog kesejarahan tahun ini, mengingat masih tingginya potensi akan munculnya kembali konflik di Aceh pasca penandatanganan MoU Helsinski pada tahun 2005 yang lalu. Sebagaimana data yang diungkapkan oleh Saifuddin Bantasyam, S.H., M.A., salah satu narasumber, untuk saat ini Aceh berada pada peringkat kedua daerah paling rawan konflik seIndonesia setelah Papua. Kondisi ini diperparah lagi dengan suhu politik lokal di Aceh yang sedang dan akan menggelar hajatan pemilukada serentak di beberapa daerah tingkat dua di Aceh dan juga termasuk pilgub Aceh sendiri.

Narasumber pada Dialog Kesejarahan yang bererita tentang konflik, perdamaian, dan penyelesaian konflik di Aceh pada masa lalu. Tampak dari kiri ke kanan, bapak Prof. Dr. Misri A. Muchsin, M.A. (Ketua MSI Aceh) sebagai narasumber, Dr. Husaini Ibrahim, M.A. sebagai moderator, dan bapak Saifuddin Bantasyam, S.H., M.A. sebagai pemateri.

Jika melihat pada skala nasional, Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi konflik yang sangat luar biasa sekali. Banyak faktor yang menyebabkan potensi konflik ini, beberapa diantaranya adalah populasi penduduk Indonesia yang telah mencapai lebih dari 250 juta jiwa, keadaan geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan kepulauan yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, serta ratusan etnis dan subetnis yang mendiami wilayah kepulauan tersebut. Belum lagi jika kita berbicara pada masalah pemikiran dan ideologi yang belakangan ini mulai berkembang di tengah-tengah masyarakat kita. Dan potensi inipun semakin diperparah dengan sikap pemerintah yang tidak bisa tegas dan tidak bisa menghadirkan rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat.

Kepala BPNB Aceh, ibu Irini Dewi Wanti, pada saat menyampaikan sepatah dua patah kata dan sekaligus menutup kegiatan Dialog Kesejarahan.

Harapan satu-satunya hanya tertumpu pada Agama. Peran Agama sangat besar sekali dalam meredam atau menghilangkan potensi konflik ini. Islam yang merupakan Agama terbesar di Indonesia, dengan komposisi 85%, seharusnya bisa menjawab tantangan ini. Jika kita merujuk pada sejarah kemunculan Islam pertama kali hingga ke masa keemasannya, Islam bisa mempersatukan serta menghilangkan sekat-sekat perbedaan yang bukan saja di Jazirah Arab akan tetapi juga di dunia. Sudah saatnya ummat Islam yang mayoritas di negeri ini kembali kepada Allah dan RasulNya, kembali menapak tilasi Islam dengan bersungguh-sungguh, kembali mempelajari nilai-nilai yang telah diajarkan oleh Allah melalui RasulNya, sudah saatnya urusan ummat Islam itu bukan saja berhenti pada urusan ibadah shalat, haji, puasa, dan zakat saja. Ummat Islam Indonesia harus memahami bahwa ia tidak diperbolehkan berkonflik dengan saudaranya sesama muslim, ummat Islam harus mendengar dan taat kepada RasulNya yang telah menyampaikan tiga larangan kepada saudaranya sesama muslim yakni haram baginya menginjak-injak kehormatan saudaranya, haram baginya mengambil harta sudaranya, dan haram baginya menumpahkan darah saudaranya. Hancurnya Ka’bah itu lebih ringan di sisi Allah jika dibandingkan dengan tertumpahnya darah kaum muslimin. Jika saja 85% ummat Islam di Indonesia mematuhi ketiga larangan ini maka tidak akan ada konflik di Indonesia, begitupun terhadap kelompok minoritas di Negeri ini.

Semoga Indonesia selalu dalam keadaan damai.