Ni’owuru adalah metode pengawetan makanan berbahan dasar daging (biasanya daging babi) dengan cara pengasinan atau diberi garam dalam jumlah banyak. Daging yang telah di treatment dengan metode Ni’owuru memiliki tekstur yang sedikit keras dan agak kering. Rasanya sangat asin, tetapi aroma daging yang khas masih terasa. Metode pengawetan Ni’owuru sudah sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Nias, khususnya di Nias Barat dan Nias Utara. Selain karena cara pembuatannya relatif mudah, rasanya juga nikmat dan praktis dihidangkan sewaktu-waktu ketika tamu tak terduga datang berkunjung.

Metode pengawetan Ni’owuru dahulu acap digunakan pada daging yang berlebih. Daging yang tidak habis dimasak dalam acara-acara besar tentu akan mubazir jika dibuang, sehingga pengawetan ini menjadi alternatif terbaik. Posisi daging Ni’owuru dalam masyarakat Nias adalah sebagai makanan adat, sekaligus makanan sehari-hari. Daging Ni’owuru juga merupakan makanan ikonik, hanya ada di Nias dan merupakan resep yang sudah diturunkan dari generasi ke generasi.

Dalam sejarah, metode pengawetan dengan menggunakan garam sudah dilakukan sejak berabad lalu, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di belahan dunia lainnya. Metode pengawetan dengan menggunakan garam tidak hanya digunakan pada makanan, tetapi juga pada proses mumifikasi terhadap jasad manusia. Peradaban pertama yang menggunakan garam sebagai media pengawetan adalah peradaban Mesir Kuno. Informasi ini terungkap ketika para peneliti melakukan penelitian pada jasad Firaun Seth I yang telah meninggal selama ribuan tahun yang lalu.

Rahasia dari metode pengawetan dengan menggunakan garam adalah proses osmosis atau proses peresapan cairan. Daging yang ditaburi garam sebanyak 25% dari berat daging tersebut dapat menyebabkan berpindahnya cairan dari dalam daging menuju ke butiran garam yang ditaburkan. Sisa darah yang ada pada daging mengering karena kehilangan cairan, begitu juga dengan bakteri yang menyusut dan kehilangan kemampuan untuk melakukan proses pembusukan pada daging atau bahkan langsung mati karena dehidrasi.

Sebelum masyarakat Nias mengenal Ni’owuru, mereka melakukan proses pengawetan daging dengan cara pengasapan secara intensif selama tiga hari tiga malam. Metode ini dinamakan Ni’unage. Metode ini diterapkan di seluruh pulau Nias. Menurut salah seorang sumber, metode ni’unage digunakan jauh sebelum orang Nias mengenal garam. Selengkapnya, metode Ni’unage akan diulas pada form pencatatan tersendiri.

Pengetahuan tentang metode Ni’owuru adalah warisan budaya yang sangat tinggi nilai sejarahnya, sebab ia bisa menjawab tentang bagaimana hubungan peradaban masyarakat Nias pada masa lalu dengan peradaban dunia yang lebih luas pada masa sebelum masehi, pada abad pertengahan, hingga masa-masa sebelum kemerdekaan. Apakah masyarakat Nias di masa lalu menggunakan garam untuk proses mumifikasi atau hal lain? Kesemua hal itu masih menjadi misteri sejarah yang belum terpecahkan. Generasi yang ada saat ini hanya mengetahui metode pengawetannya, tetapi tidak tahu dari mana pengetahuan itu berasal.

Dharma Kelana Putra