Banda Aceh-Selasa pagi (24/9), kegiatan Seminar Nasional Budaya Saman 2019 yang dibuka secara resmi oleh Ir. Ananto Kusuma Seta, M.Sc., Ph.D (Staf Ahli Mendikbud RI Bidang Inovasi dan Daya Saing) pada Senin malam sebelumnya, dilanjutkan dengan pemaparan makalah dari delapan orang pemateri yang berasal dari akademisi dan praktisi seni. Pada kesempatan ini, kedelapan pemateri menyampaikan pandangan masing-masing terkait Saman dan masa depannya, berdasarkan kengalaman serta kepakaran masing-masing.

Dari kedelapan pemateri tersebut, salah satu pandangan yang menarik adalah apa yang telah disampaikan oleh Murtala, seorang seniman kelahiran Aceh Utara yang sukses berkarier di Negeri Kanguru, Australia. Pandangan yang didasarkan atas realitas di lapangan yang beliau rasakan selama ini. Fakta-fakta yang beliau sampaikan tidak satupun yang dapat kita bantah, bahwa salah satu penghambat perkembangan Saman sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda Dunia adalah masalah yang terjadi baik di internal kita sebagai etnis Gayo (pemilik Saman), di internal kita sebagai orang Aceh, dan di internal kita sebagai sebuah negara. Jika persoalan ini tidak pernah terselesaikan dengan baik, maka Saman yang telah ditetapkan oleh Unesco sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda Dunia pada tahun 2011 yang lalu akan tetap berjalan di tempat.

Orang Gayo sebagai pewaris dan pemilik yang sah atas Saman harus bisa merubah persepsinya terhadap “kepemilikan” Saman sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia. Bahwa siapapun yang bukan Gayo bisa belajar dan boleh membawakan Tarian Saman. Orang Gayo juga harus bisa menghilangkan kekhawatiran atas klaim Saman oleh orang lain karena penetapan yang dilakukan oleh Unesco merupakan salah satu garansi bahwa ini (Saman) adalah murni berasal dari Gayo. Bab seputar persoalan apa itu Saman dan dari mana asal-muasal Saman sudahlah selesai oleh penetapan tersebut, tidak terbuka lagi ruang perdebatan.

Persoalan kedua yang harus segera diselesaikan adalah persoalan internal di Aceh, pertentangan-pertentangan antara Aceh (sebagai salah satu etnis terbesar di Provinsi Aceh) dan Gayo harus berhenti, egosentris yang berujung klaim-mengklaim harus dihentikan saat ini juga. Hal-hal seperti ini hanya akan menghambat perkembangan Saman karena hanya akan sibuk pada pembahasan “ini milik saya, bukan milik anda”, dan pada ujungnya justru akan memperparah persoalan pertama, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya.

Ketiga, persoalan yang beliau sorot adalah persoalan di internal kita sebagai sebuah negara. Beliau melihat belum ada upaya maksimal dari pemerintah, baik di daerah maupun di pusat, dalam hal mengkampanyekan/memperkenalkan Saman sebagai Warisan Budaya Tak Benda Dunia. Bahkan hal ini diperparah lagi dengan pemahaman pemerintah yang salah atas Saman, pemerintah tidak bisa membedakan mana Tari Saman yang berasal dari Gayo dan mana Tari Ratoeh Jaroe yang berasal dari Aceh. Beliau memberi contoh nyata kejadian pada saat seremoni pembukaan Asian Games yang lalu. Riuh media memberitakan penampilan Tari Saman saat pembukaan ajang Asian Games, padahal tarian massal tersebut bukanlah Saman. Ini merupakan persoalan serius, pemerintah saja tidak bisa memahami dan membedakan mana Tari Saman dan mana Tari Ratoeh Jaroe, padahal pemerintahlah yang mengusulkan agar Tari Saman dapat ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda Dunia ke Unesco pada tahun 2011 yang lalu. Jika pemerintah saja tidak tahu (atau tidak mau tahu) bahwa Tarian Saman “haram” dibawakan oleh kaum hawa? Konon lagi masyarakat awam! Padahal ini adalah salah satu hal yang paling mendasar, yang membedakan Saman dengan Tari Ratoeh Jaroe. Saman hanya boleh dimainkan oleh lelaki, haram dimainkan oleh wanita!

Kesalahan pemahaman ini terjadi merata di mana-mana, sebagaimana beliau mengungkapkan bahwa pada saat kita mengetik Tari Saman pada pencarian di youtube, justru 90% yang keluar adalah Tarian Ratoeh Jaroe, Ratoeh Duek, dan Likok Pulo. Dan ini merupakan tugas berat yang harus kita selesaikan secara bersama. Mengkampanyekan mana Tari Saman yang sebenarnya. Beliau berharap agar pemerintah dapat memulai kampanye sederhana, mungkin melalui selebaran-selebaran (leaflet) infografis yang memuat tentang info apa itu Saman, sederhana namun gampang untuk dipahami oleh siapapun.

Dan pada penutup beliau menyampaikan bahwa jika ketiga persoalan ini dapat kita selesaikan, baru kita bisa berbicara mengenai komersialisasi Saman, walau pada saat menyampaikan penutup tersebut, beliau kurang bersepakat dengan kata “komersialisasi” seni.

Miftah Nasution