Catatan Ketujuh: Hidangan Khas Urang Gayo
Kala matahari mulai meredup, akhirnya perjalanan ini berujung juga, setelah lelah melalui jalanan yang berliku-liku, meliuk-liuk mengelilingi gugusan perbukitan, lebih sepuluh jam perjalanan. Untuk pertama kalinya kami memijakkan kaki di Desa Toweren, desa dengan landscape yang indah di tepian danau yang berada tepat di kaki pegunungan. Alhamdulillah lelah itupun seketika hilang.
Desa Toweren terbagi ke dalam empat bagian, yaitu Toweren Antara, Owaq, Uken, dan Toa. Desa ini sangat indah dan sejuk, atau mungkin lebih tepatnya dingin sekali. Pemandangan di Desa ini sangat indah, kemanapun kita mengarahkan pandangan mata, akan disuguhkan dengan pemandangan pegunungan yang menjulang tinggi, melatari desa dan danau yang mengelilinginya.
Danau Lut Tawar yang mengelilingi Desa Toweren luasnya hampir menyamai Danau Toba di Parapat, Sumatera Utara. Sehari tidak cukup untuk sekedar mengelilingi danau. Airnya juga terasa sangat dingin, seperti ‘es kosong’, membuat kita tak ingin mandi.
Keasrian Desa Toweren juga masih sangat terjaga. Ketika kami melintasi sebuah jembatan, tepat di bawahnya terdapat aliran sungai kecil seukuran parit atau selokan, airnya sangat jernih! Seolah-olah tak ada ikan yang akan sanggup hidup di dalamnya, karena jernihnya!
Kami, para peserta Kemah Kerja Budaya (KKB) yang berasal dari beberapa kota seperti Banda Aceh, Medan, dan Takengon dibagi dalam beberapa kelompok dan dititipkan ke induk semang. Masing-masing kelompok terdiri dari empat dan lima orang yang dipisahkan berdasarkan jenis kelamin peserta. Disini kami memanggil induk semang dengan sebutan ama (ayah) dan ine (ibu). Ama dan ine sangat baik kepada kami, mereka menerima kami layaknya anak kandung ama dan ine. Setiap hari, selama kami tinggal seatap dengan ama dan ine, kami disuguhkan dengan berbagai hidangan khas urang Gayo yang secara tampilan dimata sangat menggugah rasa. Bagaikan magnet, hidangan khas itu mengundang luapan air liur yang tak terasa sudah penuh saja di dalam mulut ini. Rasanya? Jangan ditanya lagi kawan, tampilannya yang menggugah rasa, tak bisa digambarkan nikmatnya kawan.
Paling tidak ada tiga jenis makanan yang sebenarnya sudah familiar bagi kita, orang Indonesia. Bukan dikarenakan perbedaan penamaan saja, akan tetapi ada sedikit rasa berbeda yang timbul dari bumbu yang khas, seperti masam jing yang merupakan asam pedasnya urang Gayo yang menggunakan empan sebagai bumbu yang membedakannya dengan asam pedas pada umumnya. Empan sama dengan andaliman yang juga dipakai oleh orang Tapanuli di Sumatera Utara sebagai bumbu, bentuknya mirip seperti lada akan tetapi ukurannya lebih besar. Bahan utama yang biasa dimasak masam jing juga berbeda dengan daerah lain, urang Gayo biasa menjadikan ikan, ayam, atau bahkan telur sebagai bahan utama memasak masam jing. Adapun bumbu lainnya hampir sama dengan daerah lain.
Ada juga yang namanya pengat, masam jing dalam versi kering. Hanya saja ada penambahan irisan kecombrang sebagai bumbu tambahan. Persis seperti arsik pada masyarakat Tapanuli di Sumatera Utara.
Dari semua masakan khas itu, yang paling juara dan bisa membuat nafsu makan kita naik ke level paling atas adalah cecah agur. Cecah agur alias sambal terasi versinya urang Gayo. Bukan sembarang sambal terasi karena rasanya yang khas menjadikannya berbeda dengan sambal terasi ala manapun. Rasa yang khas ini muncul dari buah terong belanda yang dicampurkan ke dalam sambal sebagai pengganti tomat. Inilah yang menjadikan rasa dan aromanya yang khas dan membedakannya dengan sambal terasi dari daerah lain. Cecah agur bisa juga disajikan tanpa menggunakan terasi, tergantung selera masing-masing.
Malam ini akan ada rangkaian acara Mukalé Kintembuni atau Malam Rindu Pulang Kampung, kamipun disibukkan dengan persiapan demi lancarnya gelaran acara tersebut. Peserta yang laki-laki membantu warga menyiapkan panggung dan pementasan, dan yang perempuan sibuk membantu ine-ine memasak di dapur
Beraneka ragam kue dibuat dan disajikan bagi para tamu yang akan hadir pada Mukalé Kintembuni. Tidak tanggung-tanggung, kue yang dibuat sangat banyak. Karena kata ine tamu yang akan datang juga banyak. Salah satu yang akan disajikan adalah lepat, yang terbuat dari tepung ketan, kelapa, gula merah, daun pandan dan tidak lupa sedikit garam agar rasanya lebih terasa gurih. Cara pembuatannya, cairkan gula merah yang telah dicampur dengan daun pandan, lalu tuangkan ke dalam talam yang telah berisi tepung ketan, tambahkan garam dan diaduk hingga merata. Setelah merata, adonan tersebut dibubuhi inti, kelapa parut yang telah dimasak dengan gula merah, kemudian dibungkus dengan menggunakan daun pisang, setelah itu dikukus sampai matang baru dihidangkan. Selain lepat ada juga gutel, penganan yang terbuat dari kelapa, tepung beras, dan garam. Tidak lupa daun pandan untuk menggabungkan dua gutel menjadi satu.
Ada lagi makanan yang bentuknya sama dengan kue malaka, tapi diberikan nama yang berbeda, brahrom. Di Aceh disebut boh romrom dan di Aceh Selatan (Aneuk Jamee) disebut dengan ondeh-ondeh. Makanan ini terbuat dari tepung ketan, gula aren, kelapa, dan garam.
Semua penganan tersebut sudah sangat jarang sekali kita temukan di kota-kota besar. Maka jangan heran jika Mukalé Kintembuni atau Malam Rindu Pulang Kampung yang diadakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh ini terasa berkesan bagi tetamu undangan Urang Gayo yang datang dari rantau, seolah-olah menarik mereka kembali ke masa lalu, masa kanak-kanak di Dataran Tinggi Gayo.
*Catatan Ketujuh Oleh: Dwika Febrianti, M. Hafidz, Khairul Rahman, Herawati Nasution, dan Yolanda.
*Sumber Foto: Rahma Umar, Lintas Gayo.