Catatan Kedelapan: Ikan Depik, Kebanggan Gayo yang Dirindukan

Siapa yang tak kenal dengan Aceh, daerah yang memiliki berbagai macam-ragam kebudayaan, seperti Saman, tarian atraktif yang menggunakan anggota tubuh/badan sebagai media untuk mengeluarkan bunyi-bunyian sebagai pengiring gerak tarinya. Saman yang telah diakui sebagai Warisan Budaya Dunia di UNESCO. Selain kekayaan budaya, Aceh juga terkenal dengan keasrian alamnya, seperti hutan Leuser yang merupakan jantung dunia.

Ketika berbicara tentang Aceh, belum lengkap rasanya tanpa berbicara tentang Danau Lut Tawar. Danau yang memiliki luas hingga 5.472 hektare, dengan panjang sekitar 17 Km dan lebar 5,5 Km. Danau yang masuk ke dalam bagian wilayah Takengon, Kabupaten Aceh Tengah.

Danau Lut Tawar menjadi salah satu destinasi wisata yang sangat terkenal di Provinsi Aceh. Selain keindahannya yang menghipnotis mata, danau ini juga menyimpan sejuta cerita yang mungkin belum diketahui khalayak ramai. Seperti legenda Putri Pukes, Putri Ijo, dan Lembide.

Satu hal lagi yang membuat danau ini menjadi unik adalah keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya, seperti ikan depik (Rasbora Tawarensis), ikan khas yang hanya akan kita temukan di Danau Lut Tawar. Ikan yang juga menjadi makanan khas dari Takengon.

Berdasarkan mitologi masyarakat Gayo yang menjadi penduduk asli Takengon, dahulu ada seseorang yang memasak nasi di pinggiran danau. Namun karena nasi tersebut tak kunjung masak, akhirnya ia membuang butiran nasi tersebut ke dalam danau. Butiran nasi ini lah yang pada akhirnya dipercaya masyarakat sebagai asal mula ikan depik.

Ikan depik memiliki ukuran sebesar jari telunjuk orang dewasa. Rasanya yang manis serta teksturnya yang lunak membuat masyarakat mengolahnya menjadi masakan khas. Seperti depik masamjieng, depik dedah, depik pengat, dan depik goreng.

Salah satu nelayan ikan depik yang ada di Desa Toweren adalah ama Asnawi menjelaskan bahwa biasanya masyarakat menggunakan dua metode saat menangkap ikan depik, yakni dengan metode menggunakan jaring ikan dan menggunakan dedesen

Metode penggunakan jaring sama saja pada umumnya. Nelayan pergi ke tengah danau menggunakan sampan atau perahu, kemudian menebar jaring. Sedangkan cara dedesen ini menggunakan alat wau yang dibuat sendiri oleh masyarakat setempat. Memasang sebuah perangkap melalui arus air yang berasal dari batu gunung Danau Lut Tawar. Cara ini dilakukan agar ikan depik masuk ke dalam perangkap dengan sendirinya.

Biasanya ikan yang dihasilkan dengan metode ini lebih banyak dan kualitasnya lebih bagus daripada menggunakan metode jaring. Ini dikarenakan metode dedesen tidak menyentuh tangan. Ama Asnawi mengatakan bahwa saat musim depik dirinya mampu mendapatkan 3 kaleng ikan atau setara dengan 36 Kg.

Ama Asnawi juga menambahkan bahwa musim ikan depik ini ditentukan oleh cuaca dan bentuk awan. Ketika cuaca sedang dingin dan awan berbentuk altocomullus, maka masyarakat Gayo percaya bahwa itu adalah pertanda musim ikan depik telah tiba.

Saat ini ikan depik sudah sangat berkurang populasinya. Sebab masyarakat setempat percaya bahwa munculnya populasi lobster air tawar yang telah memakan habis ikan depik. Hingga jarang sekali dikonsumsi oleh masyarakat.

Sayangnya belum ada kebijakan ataupun solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan ini. Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat harus mulai peduli dengan permasalahan ini, harus ada perhatian bersama. Jika suatu saat ikan depik telah punah maka hal itu akan memberikan dampak negatif terhadap budaya dan tradisi masyarakat Gayo, akan ada tradisi ataupun budaya Urang Gayo, itu merupakan keniscayaan.

*Catatan Kedelapan Oleh: M. Uwais Al-Qarni, Novi Syafriani, Rachmadi, Sri Indah Ramadhani, dan Yael Stefani Sinaga.

*Sumber Foto: Komunitas @iloveaceh.