Catatan Kedua: Sepenggal Cerite Dari Toweren
Aceh merupakan salah satu bagian wilayah Indonesia yang terletak di ujung Pulau Sumatra. Aceh dikenal sebagai daerah yang masih kental akan adat istiadat serta keanekaragaman budayanya yang khas mulai dari suku, bahasa, kesenian, kuliner, dan sebagainya, namun tetap memegang teguh Syariat Islam sebagai dasar hukumnya.
Aceh terbagi kedalam beberapa wilayah, salah satu diantaranya adalah Aceh tengah. Aceh Tengah atau dikenal juga dengan Dataran Tinggi Gayo, satu-satunya wilayah bersuhu dingin di Aceh, dengan suhu mencapai 14°C. Didiami oleh Suku Gayo, mayoritas penganut Agama Islam yang taat sebagaimana suku-suku lain yang ada di Aceh. Dalam keseharian masyarakatnya berkomunikasi dengan menggunakan bahasa setempat, Bahasa Gayo.
Kehidupan sosial masyarakat gayo juga sama halnya dengan kehidupan sosial masyarakat Aceh pada umumnya, akan tetapi dalam sistem pemerintahan, meraka menggunakan sistem tradisional yang disebut sarak opat. Sarak opat itu sendiri terdiri dari reje (raja), petue (petua), imem (imam), dan rayat (rakyat).
Ketika berbicara tentang Aceh Tengah, tidak bisa dilepaskan dari alamnya yang indah maka tidak heran jika di sini banyak terdapat destinasi wisata alam, salah satunya adalah Danau Laut Tawar. Terasa ada sesuatu yang kurang saat berkunjung ke Takengon (Ibu Kota Kabupaten Aceh Tengah), jika belum berkunjung ke danau yang satu ini. Danau Laut Tawar merupakan salah satu destinasi wisata alam unggulan dari Aceh Tengah yang pasti akan dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun luar dikarenakan latar pemandangan alamnya yang begitu indah mengelilingi luasnya Danau Laut Tawar. Ditambah dengan keramahan dan kesantunan masyarakatnya yang masih menjunjung tinggi adat memuliakan tamu yang berasal dari ajaran Islam.
Ada beberapa perkampungan yang mengelilingi tepian Danau Laut Tawar, salah satunya adalah Desa Toweren. Desa Toweren terletak di sisi sebelah selatan Danau Laut Tawar. Terdiri dari lima belah atau lima pembatas: belah pertama adalah belah waq (waq Toweren); belah lot (Toweren toa); belah bukit (Toweren uken); dan Toweren antara yang memiliki dua belah yaitu belah suku dan belah gunung.
Dataran Tinggi Gayo tidak terlepas dari cerita Gajah putih, begitu juga hal nya dengan desa Toweren ini. Konon Toweren berasal dari kata taweren yang berarti ditawari atau pesijuk (ritual pesejuk). Dikisahkan pada masa kerajaan Sultan Iskandar Muda ada seekor gajah putih yang dibawa dari daerah Serule menuju Kute Reje (Kota Raja, Banda Aceh sekarang) yang akan di persembahkan untuk Sultan Iskandar Muda. Gajah tersebut dibawa melalui jalan setapak sebelah selatan pinggir Danau Laut Tawar. Ketika sampai di kawasan Toweren, rombongan beristirahat, akan tetapi pada saat akan melanjutka perjalanan kembali sang gajah tidak mau bangun, ia hanya menunduk dan merajuk. Berbagai macam cara sudah dilakukan agar sang gajah mau melanjutka perjalanan, akan tetapi hal tersebut tetap tidak membuahkan hasil. Pada akhirnya salah satu orang tua yang juga ikut dalam rombongan tersebut memberikan nasehat agar gajah tersebut ditawari sambil diberi tarian guel. Nasehat itu pun dilakukan hingga pada akhirnya sang gajah pun secara perlahan bangun dan rombongan kembali melanjutkan perjalanan menuju Kota Raja.
Desa Toweren merupakan sebuah desa yang asri, sejuk dan tentunya bebas dari segala macam bentuk polusi. Desa ini diapit oleh dua mahakarya yang begitu sempurna yaitu Danau Laut Tawar dan pegunungan yang diciptakan oleh yang Maha Sempurna dan dihuni oleh penduduk yang ramah tamah juga dengan adat budaya yang masih dipegang teguh masyarakatnya, tua maupun muda.
Masyarakat Toweren sangat menghargai dan menjaga warisan adat dan budayanya, salah satunya adalah seni tradisi yang mereka miliki yaitu didong. Didong tidak hanya disukai oleh kalangan orang tua saja akan tetapi juga disukai oleh kalangan remaja. Anak-anak pun dituntun untuk mencintai seni tradisi ini.
Disaat anak-anak generasi millenial diperdaya dengan kecanggihan teknologi (gadget), pada saat bersamaan anak-anak Desa Toweren lebih memilih melestarikan seni tradisi mereka dengan cara menyibukkan diri belajar dan berlatih kesenian didong di selang waktu luang mereka. Mereka begitu menikmati waktu tersebut tanpa terpikir jika sewaktu-waktu mereka kehabisan kuota sebagaimana yang mungkin dirasakan oleh anak-anak millenial seusia mereka yang lebih asik menghabiskan waktu menikmati kecanggihan teknologi yang merupakan budaya ciptaan asing. Anak-anak Desa Toweren secara tidak langsung telah menyadari betapa pentingnya untuk mempertahankan seni tradisi mereka, sehingga lahir kesadaran dibenak mereka, jika bukan mereka siapa lagi yang akan mempertahankan dan melestarikan budaya dan kesenian tersebut. Begitu mulianya hati dan pemikiran anak-anak Toweren. Hal ini tak lepas dari didikan dari para ama (ayah) dan ine (ibu) yang senantiasa menanamkan perilaku cinta budaya dan adat kepada anak-anak mereka.
*Catatan Kedua Oleh: Birrul Walidaini, Risky Faturrahman, M. Taufik, Nana Saftirana, dan Heni Jatriani.
*Foto: Koleksi BPNB Aceh