Mukalé Kintembuni

Dalam bahasa Gayo, mukalé kintembuni” berarti rindu pulang kampung. Sebuah ungkapan rasa rindu akan kampung halaman Urang Gayo di dataran tinggi Gayo atau yang biasa dikenal dengan Gayo Highland.

Mukalé Kintembuni adalah tema yang diangkat oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh (BPNB Aceh) pada kegiatan Kemah Kerja Budaya (KKB) yang telah dilaksanakan pada 31 Juli – 04 Agustus 2018 yang lalu. Kegiatan yang diikuti oleh 60 orang partisipan dari berbagai komunitas dan kampus yang ada di Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara, telah memunculkan 10 catatan menarik tentang Tanoh Gayo (Tanah Gayo).

Catatan-catatan ini akan dimuat selama 10 hari kedepan. Secara berurutan kita akan memulainya dengan catatan pertama dari kelompok pertama.

Catatan Pertama: Si Putih Depik dari Dataran Tinggi Gayo

Takengon yang berada di dataran tinggi Aceh Tengah memiliki desa-desa yang sangat indah, salah satunya adalah Desa Toweren. Desa Toweren yang penduduknya adalah suku gayo masih identik dengan kubudayaannya yang kuat. Tidak hanya kebudayaan juga adat, istiadat, mata pencaharian, dan alamnya yang sangat indah.

Kopi menjadi salah satu identitas Desa Toweren yang berada di dataran tinggi Aceh Tengah. Keindahan dan kekayaan alam Desa Toweren membuatnya dijuluki dengan desa surganya kopi.

Desa Toweren tidak saja identik dengan kopi, ia juga memiliki ikan khas yang hanya terdapat di Danau Laut Tawar yang mengelilingi Desa Toweren. Ikan yang juga termasuk sangat langka dan sangat mahal, ialah si putih depik dari dataran tinggi Gayo dengan mitos tentang asal-usulnya yang sarat cerita mistis, cerita yang sampai saat ini masih hidup di tengah-tengah masyarakat Desa Toweren.

Berawal dari enam orang pemburu pada sekitar tahun 1942-an Danau Laut Tawar belum ada. Sewaktu buyut Urang Gayo di Aceh Tengah ini tidak ada laut. Datanglah unek, ada pohon besar di bintang dan unek menarik kayu besar dari bintang ke sarel dan jadilah laut. Setelah itu manusia heran ketika danau terbentuk dan pergilah enam orang tua ke atas gunung untuk memburu rusa. Ketika tengah hari sekitar pukul satu siang mereka lapar dan mereka menemukan dua buah kolam yang satu berukuran satu kecil dan satunya lagi berukuran besar. Pada saat kelaparan itu mereka memasak, dan ternyata nasi yang mereka masak tidak matang dan diambillah batang geluni untuk mengaduk nasi dan daunnya diseduh untuk diminum oleh mereka. Setelah meminum air rebusan geluni itu mereka tampak muda dan gagah, dan yang anehnya setelah bercerita pada warga air rebusan itu tidak berfungsi bagi orang lain.

Nasi yang tidak matang yang telah diaduk dengan batang geluni itu jadi di tumpahkan ke dalam kolam besar tersebut. Mereka memasak nasi akan tetapi sebanyak 3 kali mereka memasak, nasi tersebut tidak pernah matang dan akhirnya mereka tidak jadi makan dan pulangnlah mereka ke rumah. Beberapa hari kemudian mereka kembali lagi ke gunung dan gubuk tempat mereka sebelumnya dan mereka melihat nasi yang mereka buang telah menjadi ikan. Kejadian ini membuat mereka terheran-heran melihat ada ikan di kolam tersebut, padahal sebelumnya ikan ini tidak ada. Sejak saat itu mereka menamakan ikan itu dengan depik. Kemudian mereka mencoba menangkap ikan tersebut dengan menggunakan tangguk ikan, akan tetapi tidak berhasil.

Dari kolam tersebut terbentuklah alur yang menembus ke Danau Laut Tawar. Mengalirlah semua ikan tersebut ke lumbung di tepi Gunung Kelieten di seputaran danau. Segerombolan ikan tersebut berkumpul di dalam danau. Ketika datang hujan dan angin, maka dipercayai oleh masyarakat setempat bahwasanya pada saat itulah kemunculan ikan depik di Danau Laut Tawar dan momen yang tepat untuk menangkap ikan depik yang dapat dijadikan sebagai bahan komsumsi oleh masyarakat setempat.

Pada saat ini dalam penangkapan ikan depik ada cara yang di sebut dengan dedesen. Dedesen di buat genangan air di sekitar danau dan diletakkanlah wau (sejenis luka/perangkap ikan) untuk  ikan depik yang berukuran besar.

*Catatan Pertama Oleh: Rizki Okta Jaya, Fadhallah Seri, Rahman Dani, Septa A. Turnip, dan Emil Salim Harahap.

*Sumber Foto: ANTARA FOTO/Regina Safri/pd/15.