Oleh: Cut Zahrina, Dahlia, Fariani, Muhammda Affan, Nasrulhamdani, Sudirman dan Titit Lestari
*merupakan salah satu hasil penelitian “Pemetaan Mesjid-Mesjid Bersejarah di Aceh dan Sumatera Utara” di BPNB Aceh
Berdiri di jantung kota Tanjung Balai yang semakin sesak oleh petak-petak rumah toko (ruko) membuat Mesjid Raya Sultan Ahmadsyah terhimpit dan kehilangan ‘aura magis’-nya sebagai monumen pengingat sang pendiri; Sultan Ahmadsyah dari Asahan, mesjid kerajaan sekaligus cagar budaya. Mesjid yang kubah utamanya sudah lebih rendah dari jejeran loteng ruko sarang walet yang ‘memagari’ kompleks semakin tenggelam pula ketika Maghrib menjelang. Riuh rendah rekaman suara kicau burung walet yang bising itu memenuhi udara membuat suasana di ambang petang di lingkungan mesjid berikut kompleks makam diraja Asahan yang mulai dibangun tahun 1883 itu tidak lagi pernah terasa hening.
Pengembangan kota sejak tahun 1970-an telah mengubah kedudukan Mesjid Sultan Ahmadsyah dalam tata ruang kota Tanjung Balai. Jika di masa lalu mesjid dan istana menjadi pusat orientasi maka di masa kini mesjid tidak lebih sebagai salah satu sarana peribadatan yang tertua di kota itu. Permukaan jalan protokol di depan mesjid kian meninggi membuat tanah pekarangan mesjid menjadi lebih rendah. Pergeseran paras jalan ini memaksa pengelola meninggikan paras tanah pekarangan sehingga berakibat permukaan lantai serambi yang dahulu berlantai tegel corak dari Maastricht kini hampir sejajar dengan pekarangan dan permukaan jalan yang dinamai Jalan Mesjid Raya di Kelurahan Indera Sakti Kecamatan Tanjung Balai Selatan itu sekaligus membuat mesjid itu terlihat pendek.
Mesjid yang semula dibangun di atas tanah seluas 8.455 M2 ini praktis menjadi satu-satunya peninggalan monumental Kesultanan Negeri Asahan yang masih berdiri. Istana Kota Raja Indera Sakti (KRIS) dan Istana Kota Dingin yang menjadi ‘pasangan’ mesjid telah rata dengan tanah. Sejumlah bangunan dari masa kolonial memang masih dapat dilihat sebagai bagian dari struktur tata ruang gemeente (kotapraja) Tanjung Balai di masa lalu namun sukar untuk menemukan bangunan lain milik atau peninggalan Kesultanan Negeri Asahan yang masih tegak di kota yang dijuluki Kota Kerang itu. Sebuah alun-alun yang dinamai Lapangan Pasir oleh masyarakat Tanjung Balai dengan beberapa pertimbangan dapat dijadikan pembanding.
Lapangan Pasir yang terletak kurang-lebih satu kilometer dari mesjid tidak seperti alun-alun umumnya. Pada lapangan itu dihamparkan pasir putih sebagai pengganti rumput. Lapangan yang menjadi tempat pemerintah kota menggelar pameran pembangunan dan ruang berkumpul warga Tanjung Balai untuk menikmati petang ini disebutkan sudah ada sejak lama namun kemungkinan baru ditata sebagai alun-alun utama kota ketika Asahan ditetapkan sebagai daerah langsung pemerintah kolonial Hindia Belanda (1886) disusul penetapan gemeente Tanjung Balai (1917).
Sultan Asahan IX disebutkan membangun Istana Kota Raja Indera Sakti dan mesjid pendamping istana yang dinamai Mesjid Raya Sultan Ahmadsyah. Mesjid yang didominasi warna hijau dan kuning ini rampung dalam waktu dua tahun terhitung 1883-1885 (sic). Tidak diketahui berapa banyak biaya yang dihabiskan Sultan Ahmadsyah untuk membangun mesjid beserta kompleks istana Asahan ini namun perluasan dan diversifikasi tanaman perkebunan ke daerah Selatan jadi dasar perbaikan ekonomi Sultan Ahmadsyah dari Asahan. Diperkirakan pendapatan Sultan Asahan IX pasca-pemulihan kekuasaannya dari konsesi tanah sudah lebih dari cukup untuk membangun kembali ibukota Kesultanan Negeri Asahan.
Mesjid Raya Sultan Ahmadsyah Tanjung Balai dibangun permanen dengan teknik pengerjaan Eropa. Permanentasi bangunan-bangunan untuk istana dan mesjid di Sumatera Timur menjadi penanda penting untuk menilai jangkauan pengaruh kolonialisme dan modernisasi pada visi para penguasa tradisional soal hubungan antara rural–urban yang biasanya diwujudkan dalam kebijakan tata ruang. Selain itu, sumbangan seni dan teknologi bangunan Eropa pada bangunan-bangunan di kawasan itu juga dapat memahami politik simbol atau simbolisme, mengapa istana para raja dan mesjid di pusat pemerintahan dibangun permanen sementara rumah-rumah para pembesar di pedalaman dan surau di kampung-kampung Melayu bertahan dengan ciri tradisionalnya: semi permanen!
Namun terdapat perbedaan pendapat mengenai kapan tepatnya mesjid ini dibangun meskipun masyarakat menerima apapun kisah yang berkaitan dengan pembangunan dan pemanfaatan mesjid itu. Dalam rekonstruksi pembangunan Mesjid Raya Sultan Ahmadsyah yang diterima umum, tarikh awal pembangunan (1883) dan tahun kepulangan sang sultan dari pembuangan di Bengkalis (1885/6) terpaut dua sampai tiga tahun. Jadi, jika tarikh di atas digunakan sebagai landasan merekonstruksi tahun awal pembangunan mesjid itu maka Mesjid Raya Sultan Ahmadsyah Tanjung Balai ini telah atau mulai dibangun ketika sang sultan masih berada dalam pembuangan.
Kemungkinan lain ialah, mesjid permanen itu dibangun pada masa pemerintahan dewan menggantikan mesjid lama yang dibakar ketika perang. Pemberian nama ‘Sultan Ahmadsyah’ pada mesjid yang dibangun itu mungkin saja dilakukan belakangan menjelang atau sesudah sang sultan kembali. Selain itu dalam tradisi pemberian nama pada mesjid kerajaan, sultan-sultan Melayu yang membangunnya mendapatkan kehormatan untuk menabalkan namanya sebagai nama mesjid. Penamaan ini menandakan bahwa mesjid bagi orang Melayu bukan sekedar tempat ibadah tetapi memiliki fungsi sosial dan sejarah. Mesjid pun difungsikan sebagai media commemoration atau mengingat, memetik hikmah terutama untuk memelihara dan/atau membangkitkan sense of community.
Di luar kemungkinan yang dapat dijadikan eksplanans itu, bangunan Mesjid Raya Sultan Ahmadsyah Tanjung Balai menampilkan ciri bangunan dari masa yang diperkirakan itu. Pilar-pilar ‘gendut’ berjumlah banyak yang menopang serambi mirip dengan pilar Mesjid Raya Sultan Basyaruddin di Rantau Panjang (untuk membandingkan lihat gambar 4). Mesjid lama yang diperkirakan dibakar dalam Perang 1865 itu lalu kemungkinan dibangun kembali dan dinamai dengan nama penguasa masing-masing.
Belum ditemukan keterangan tentang pembangunan itu namun dengan membandingkan langgam maupun bagian-bagian dari kedua mesjid di bawah ini merupakan salah satu cara untuk mengungkap waktu pembangunan, selain menanalisis alasan dan motivasi politik kolonial secara langsung maupun tidak langsung. Dan seperti kebanyakan mesjid lama di Sumatera Timur, pada kompleks Mesjid Raya Sultan Asahan Tanjung Balai terdapat kompleks pemakaman keluarga diraja Asahan. Makam yang ditandai beragam bentuk nisan ini dapat menjadi tolok ukur untuk menilai usia mesjid atau keberadaan pertapakannya.