Politik dan ekonomi, bagi masyarakat di negara-negara berkembang seperti Indonesia, merupakan dua topik yang menarik dan akan selalu hangat untuk diperbincangkan. Selalu hadir disetiap diskusi-diskusi dan perdebatan-perdebatan kalangan atas, apa lagi bagi kalangan proletar yang merasa menjadi korban pada setiap kondisi politik dan ekonomi yang tidak berpihak. Dari pentas diskusi para elit yang tersiar dari stasiun-stasiun televisi nasional dengan rating tinggi, hingga panggung ala debat kusir dari kedai-kedai kopi kaum proletar. Semua hanya urusan politik dan ekonomi.
Seolah-olah tidak ada lagi yang harus kita perbincangkan sebagai sebuah bangsa yang besar, bangsa yang bineka dengan kekayaan kebudayaan yang berlimpah, negara yang terdiri dari ribuan kepulauan, dengan 652 bahasa daerah. Tetapi pada saat salah satu dari sekian juta kekayaan kebudayaan tersebut diklaim oleh negara lain, seketika masyarakat marah bahkan tidak jarang kemarahan itu diarahkan kepada pemerintah yang dianggap lalai dalam hal ini. Bukankah ini merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat selaku pemilik kebudayaan tersebut? Lucunya, setelah ada klaim negara lain atas salah satu kekayaan kebudayaan tersebut, disitu baru kita ribut dan teralihkan dari “headline” bernama politik dan ekonomi.
PPKD Untuk Strategi Pemajuan Kebudayaan Nasional
Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) merupakan salah satu hal terpenting dalam menentukan strategi pemajuan kebudayaan nasional. Isu terpenting dari strategi pemajuan kebudayaan adalah soal kepemilikan. Untuk itu, mekanisme penyusunan strategi kebudayaan ini tidak dimulai dari pusat (top down), akan tetapi dimulai dari masyarakat/daerah (bottom up) sebagai pemilik dari kebudayaan tersebut. Inilah yang diamanatkan dalam UU No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Hal itu senada dengan apa yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Kebudayaan, Kemdikbud RI, Himar Farid, bahwa yang terpenting dalam strategi pemajuan kebudayaan adalah arah dasar pemajuan kebudayaan yang berasal dari potensi di masing-masing daerah. Karena sebagai negara adidaya di bidang kebudayaan, Indonesia berpotensi besar dalam mempengaruhi peradaban dunia.
PPKD yang telah tersusun ini nantinya akan dibawa pada Kongres Kebudayaan Indonesia pada November 2018 nanti. Dalam kegiatan siklus lima tahunan tersebut diharapkan akan memunculkan rumusan subtansial dalam menentukan langkah dan strategi kebudayaan, yang dijadikan sebagai acuan pemerintah dalam mengatasi permasalahan pada bidang kebudayaan.
Sebagaimana target awal, semestinya penyusunan PPKD ini selesai pada 31 Agustus 2018 di tingkat provinsi. Kemendikbud juga telah bekerjasama dengan Kemenko PMK, Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri untuk mendorong penyelesaian target penyusunan PPKD tingkat pemerintah provinsi. Akan tetapi pada bulan Agustus lalu baru 12 kabupaten/kota yang telah menyampaikan PPKD ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Atas dasar itu BPNB Aceh sebagai UPT dari Kemdikbud, pada tanggal 12 s/d 19 September 2018 ini menggerakkan tiga tim yang masing-masing terdiri dari tiga orang, menuju 23 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Aceh. Masing-masing tim bergerak ke Aceh bagian barat, timur, dan tengah. Tugas dari tim ini adalah sebagai pendamping bagi daerah-daerah yang belum ataupun mengalami kesulitan dalam penyusunan PPKD pada aplikasi yang telah tersedia. Melalui pendampingan ini diharapkan agar pemerintah daerah dapat segera menyelesaikan PPKD yang berisi inventarisasi obyek pemajuan kebudayaan. Sesuai dengan UU No. 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, terdapat 10 obyek pemajuan kebudayaan, yakni tradisi lisan, manuskrip, adat-istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.
PPKD Provinsi Aceh harus selesai dan dapat menyumbangkan pokok-pokok pikiran bagi strategi pemajuan kebudayaan nasional, mengingat Aceh merupakan salah satu daerah yang kaya akan budaya dan sejarah, serta memiliki pengaruh besar bagi Indonesia.
Miftah Nasution