Mangarontas adalah ritual yang dilakukan petani kemenyan (haminjon) sebelum menggarap pohon kemenyan. Aktifitas yang dilakukan ketika menggarap dari mulai membersihkan areal pepopohonan dari tumbuhan-tumbuhan pengganggu, menoreh batang pohon untuk mengeluarkan getah kemenyan hingga memanen hasil.

Ritual mangarontas dilakukan sebagai bentuk doa pada yang maha kuasa agar diberi keberkahan dalam mengolah hasil hutan dan perlindungan selama melakukan aktifitas tersebut di dalam hutan.

Ritual ini dilengkapi dengan masakan-masakan khas batak dengan masing-masing nilainya seperti Manuk Napinadar agar sehat jasmani saat bekerja menggarap kemenyan, selain itu untuk mendapat berkat dari yang maha kuasa agar dilindungi dari roh-roh yang ada di dalam hutan, Itak Gurgur agar hasil getah kemenyan keluar melimpah dan terakhir adalah Sagu-sagu. Semua makanan ini harus di santap pada saat ritual berdoa selesai dilakukan.

Kemenyan yang dalam bahasa lokal sering disebut haminjon (Styrax Paralleloneurum), adalah komoditi yang sangat dibanggakan oleh masyarakat Batak terutama yang berdomisili di kawasan Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, Barus, dan wilayah sekitarnya. Dahulu sekitar abad ke-5 (bahkan jauh sebelumnya), kemenyan pernah menjadi komoditi yang nilainya setara bahkan lebih bernilai dari emas. Dapat dibayangkan pada masa itu petani dan penduduk setempat adalah masyarakat yang makmur dan sejahtera.

Proses menyadap pohon kemenyan.
Batang pohon kemenyan (haminjon) saat diambil getahnya. Dari getah pohon inilah kemenyan dihasilkan sebagai bahan baku pembuatan kapur barus, serta sebagai bahan utama campuran minyak wangi terbaik dengan bahan kemenyan kwalitas nomor satu.

Kemenyan menjadi komoditi paling diminati di Nusantara bahkan di Dunia. Pada masa itu para saudagar dari China, Timur Tengah dan Eropa telah berkunjung ke wilayah Nusantara untuk membeli

kemenyan dari penduduk lokal. Wilayah tersebut dikenal dengan nama Barus yang memiliki pelabuhan besar di pantai barat pulau Sumatera. Catatan sejarah menceritakan bahwa Barus menjadi tempat para saudagar untuk membeli kapur barus dan kemenyan yang digunakan untuk pengawet mumi para raja di Romawi dan Fira’un di Mesir. Kemenyan dan kapur barus menjadi komoditi yang paling dicari pada masa itu, bahkan nilainya lebih tinggi daripada emas.

Melalui pelabuhan Barus, kemenyan di ekspor ke Timur Tengah hingga Betlehem. Disebutkan dalam sejarah agama Nasrani jika pada masa kelahiran Jesus Kristus datang orang-orang Majusi yang membawa tiga macam hadiah yaitu emas, mur dan kemenyan. Dipercaya jika kemenyan tersebut berasal dari wilayah Nusantara yaitu Barus. Hal ini diyakini oleh penduduk lokal karena kemenyan yang dihasilkan di wilayah Barus ini merupakan komoditi yang paling dicari pada masa itu sebagai salah satu atribut pada ritual agama dan upacara-upacara adat. Selain kapur barus, kemenyan adalah komoditi yang sangat berharga.

Pasca Kemerdekaan RI, wilayah penghasil kemenyan terbesar di Indonesia ini dikenal dengan nama Humbang Hasundutan, 284 km dari Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara, Medan. Kemenyan telah menjadi identitas geografis bagi masyarkat Humbang Hasundutan.

Turun temurun keahlian serta ritual terkait dengan pemanfaatan tumbuhan kemenyan melekat pada masyarkat (petani) sekitar. Legenda terkait kemenyan pun diceritakan ke anak cucu dari generasi ke generasi, legenda tersebut bercerita tentang seorang gadis yang berparas jelita. Ayah gadis tersebut memiliki hutang yang besar pada seorang raja dati desa tetangga. Karena tidak sanggup melunasi hutang, sebagai gantinya ia menjodohkan paksa anak gadisnya pada raja tersebut. Tidak terima dengan perjodohan itu, sang anak melarikan diri masuk ke hutan. Ditengah hutan ia berdoa kepada debata (tuhan) agar mengubah dirinya menjadi tumbuhan yang kelak darinya akan menghasilkan sesuatu yang dapat digunakan sang Ayah untuk membayar hutang-hutangnya. Gadis itupun berubah menjadi sebuah pohon yang dari batangnya jika di toreh akan keluar getah berbau harum, getah itulah yang ketika mengeras disebut dengan kemenyan. Inilah sebabnya mengapa para petani selalu bernyanyi ketika hendak menggarap pohon kemenyan, dipercaya itu adaah bentuk hiburan kepada sang gadis agar mengeluarkan banyak getah kemenyan.

Pada masa sekarang ini, petani kemenyan masih tetap mengumpulkan getah kemenyan dari pohonnya untuk kemudian dikumpulkan pada pengepul. Kemenyan diekspor ke Jawa untuk diolah lagi menjadi bahan produksi untuk pasar dunia. Sebagai satu-satunya penghasil kemenyan di Indonesia, maka sudah sepatutya jika pemerintah ikut membantu masyarakat melestarikan tumbuhan endemik ini. Pelestarian perlu dilakukan mengingat tingginya penebangan hutan kemenyan di wilayah sekitar yang menggantinya dengan tanaman industri kertas.

Walau tidak setenar dulu, kemenyan masih merupakan komoditi yang dibutuhkan untuk industri farmasi, sebagai ekspektoran pada obat batuk, disinfektan untuk luka dan obat mata pada penyakit katarak. Harum kemenyan pun digunakan untuk industri parfum karena sifat fiksatifnya dapat mengikat minyak atsiri agar tidak cepat menguap. Walau dibutuhkan untuk berbagai industri, harga kemenyan pada masa sekarang tidaklah sebaik masa dahulu. Jika sekarang harga kemenyan hanya berkisar Rp. 120.000 – 150.000 per Kilogram, dahulu kemenyan setara bahkan lebih bernilai dari harga emas.

Ritual Mangarontas masyarakat Batak Toba di Kabupaten Humbang Hasundutan telah tercatat dan ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTB Indonesia) pada tahun 2018 ini.

Angga