Di Aceh, khususnya Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie dan sebagian wilayah Aceh Barat, Kuah Blang (gulai sawah) merupakan menu kuah daging yang sangat khas. Kuah Blang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Aceh saat menyambut musim tanam padi tiba. Sebelum dimulainya waktu turun ke sawah, terlebih dahulu diadakan selamatan memohon kepada Yang Maha Kuasa supaya hasil padinya bagus, jauh dari gangguan hama dan memenuhi panen seperti yang diharapkan. Hajatan ini dinamakan Kenduri Blang (selamatan turun ke sawah). Masyarakat akan menyembelih seekor sapi atau kerbau sesuai dengan kemampuan masyarakatnya dan dimasak dengan bumbu khas kuah blang di dalam belanga besar. Kemudian hidangan ini akan disantap bersama-sama.
Hingga kini, kuah blang menjadi menu utama disetiap acara selamatan, hajatan, pesta perkawinan dan kegiatan-kegiatan perayaan lainnya. Bisa dikatakan, bila tidak ada menu kuah blang, maka belum dikatakan lengkap acara hajatan tersebut. Perayaan dalam bentuk apapun yang diselingi dengan makan bersama, kuah blang merupakan menu utama disamping menu-menu yang lain.
Kuah blang ini juga disebutkan dengan kuah beulangong karena proses memasaknya yang berlangsung dalam belanga atau sebuah kuali besar (beulangong), hingga menampung lebih dari 200 porsi. Membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk memasaknya. Dengan kuali yang berukuran cukup besar, kuah beulangong tak cukup dimasak oleh satu orang. Butuh beberapa tenaga untuk memasaknya. Selain lezat,masakan kuah beulangong juga mempunyai khas tersendiri dalam memasaknya. Jenis kuliner Aceh yang satu ini hanya boleh dimasak oleh kaum lelaki saja. Hal ini juga dipengaruhi oleh latar belakang dan juga filosofi kuliner tersebut yang selalu dilakukan turun temurun, bahkan dalam urusan masak sekalipun.
Masakan ini kerap ditemukan saat Maulid Nabi, hari pernikahan dan tahun baru Islam. Momen-momen yang demikian seperti menjadi sebuah kewajiban untuk menyuguhkan masakan tersebut oleh penyelenggara karena memiliki nilai budaya tersendiri di Aceh.
Cara membuat kuah beulangong khas Aceh terbilang mudah. Daging yang sudah dipotong kecil-kecil lalu dicuci bersih dan dimasukkan ke dalam kuali besar atau beulangong. Aduk dengan bumbu di atas sampai merata, dan tidak lupa di taburkan garam yang sesuai. Selanjutnya siram dengan air secukupnya, lalu aduk lagi menggunakan tangan, dan baru kemudian dibiarkan medidih di atas tungku api sampai masak, sambil sesekali diaduk kembali dengan menggunakan alat pengaduk. Di sinilah salah satu letak keunikan kuah beulangong, dimasak tanpa menggunakan santan sebagaimana masakan daging pada umumnya yang kita temui di berbagai daerah yang lain, akan tetapi rasanya tidak kalah gurih dengan masakan daging yang menggunakan santan tersebut.
Selanjutnya masukan buah nangka muda atau orang aceh sebut boh panah atau bisa juga di tambah dengan buah pisang kepok mentah yang telah di potong kecil-kecil. Lalu masukkan ke dalam kuali bersama bawang yang telah dikupas dan juga telah diiris. Tambahkan sedikit air lagi, dan biarkan masakan mendidih sempurna.
Ketika mendidih aromanya sangat lezat dan ini menandakan dagingnya hampir matang. Biasanya ketika Maulid Nabi setiap masyarakat gampong (kampung) berbondong-bondong ke masjid atau surau untuk mengambil jatah kuah beulangong yang dibagikan secara gratis. Kuah beulangong juga menjadi bentuk perwujudan silaturrahmi antara sesama muslim dan juga menjaga kebersamaan antar masyarakat Aceh.
Bukan hanya sekedar tradisi yang membedakan Aceh menjadi istimewa. Negeri syariat ini juga memiliki rahasia tersendiri dalam cara mengaduk kuah beulangong. Saat memasak kuah beulangong diaduk berlawanan dengan arah jarum jam. Seperti melakukan tawaf saat haji, itu yang membedakan Aceh dalam cara memasak. Dan jangan lupa bersalawat saat mengaduk. Terkadang kuah beulangong dimakan bersamaan dengan bu kulah (nasi yang dibungkus daun pisang berbentuk segitiga).
Daging yang digunakan dapat berupa daging sapi, kambing dan kerbau. Namun kebanyakan orang Aceh, khususnya penduduk Aceh Besar kebanyakan menggunakan leumo Aceh atau daging sapi lokal Aceh. Hal ini dikarenakan ada ciri khas tersendiri pada leumo Aceh, selain dagingnya empuk saat dimakan, aroma kuahnya mameh (nikmat), begitulah orang Aceh menyebutnya. Sehingga tak heran bila ada acara-acara hari besar Islam seperti Maulid dan Idul Adha, sapi lokal ini sangat laris terjual.
Kuah beulangong itu sendiri banyak dijual di warung-warung makan khas Aceh. Selain lezat kuah beulangong ini banyak peminatnya. Terutama orang Aceh sendiri, mereka tidak bosan untuk makan kuah beulangong. Selain lezat, mungkin juga karena sejarahnya yang khas bagi orang Aceh.
Tahun ini, 2018, kuah beulangong telah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTB Indonesia). Jika suatu saat berkunjung ke Kota Banda Aceh, kuliner yang satu ini wajib untuk dicoba, karena kunjungan ke Serambi Mekkah tanpa mencoba kuliner yang satu ini serasa ada sesuatu yang kurang. 🙂