Komunitas Cina di Medan dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960

Penulis : Nasrul Hamdani

Judul : Komunitas Cina di Medan dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960

Penerbit : LIPI Press

Halaman : 227

Peresmian monumen Perjuangan Laskar Tionghoa-Jawa Melawan VOC 1740-1743 oleh Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, 14 November silam rupanya dipelintir juga. Oleh sejumlah aktivis media sosial dari kelompok haters, berita peresmian monumen yang digagas kerabat Mangkunegaran itu dipelintir menjadi peresmian monumen Pao An Tui! Berita ini ibarat petir di siang bolong, kontan memicu kemarahan mereka yang pernah tahu apa dan siapa Pao An Tui (PAT) di masa lalu atau mereka boleh dibilang anti-Cina. PAT serta sentimen anti-Cina yang mengikuti kisah itu bukanlah masalah baru dalam hubungan sosial di Indonesia. Masalah ini berkelindan dan merasuk dalam berbagai hal dalam kehidupan kita dan -celakanya- tak pernah diselesaikan sehingga kalo ‘disentil’ sedikit saja, sentimen anti-Cina langsung membuncah. ‘Sentilan’ terbaru, tentu saja pelintiran peristiwa yang berlangsung lima bulan silam itu dan tengok saja bagaimana ‘kecepatan’ rambatannya.

Soal PAT dan sentimen anti-Cina yang mengikuti kisah itu telah direkonstruksi Nasrul Hamdani dalam buku Komunitas Cina di Medan dalam Lintasan Tiga Kekuasaan 1930-1960 yang terbit 2013, dua tahun sebelum plintar-plintir berita itu berlangsung. Peneliti BPNB Aceh ini menuliskan kiprah dan ‘kelakuan’ PAT berbeda di tiap daerah pendudukan, ada yang senyap ada pula yang bergairah seperti PAT di Medan, ibukota residensi Sumatera Timur. PAT di kawasan yang tidak pernah direbut hingga pengakuan kedaulatan merupakan yang unit terkuat di Indonesia. Jumlah personil PAT mencapai 1.000 orang dan menghabiskan uang sebanyak f. 80.000 setiap bulan untuk menghidupi organisasi kelaskaran Tionghoa ini. Belum lagi persenjataan yang dimiliki PAT di kawasan perkebunan ini, menurut Hamdani, PAT dipersenjatai lengkap bak tentara (baca juga: http://x.detik.com/detail/intermeso/20160301/Geger-Pecinan/index.php)

Namun di balik kisah tentang PAT di Medan yang ngeri itu, ada latar sosial yang membuat kita harus bertanya mengapa begitu, mengapa begini. Hamdani, yang menulis PAT atas jasa baik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie (NIOD) memastikan pembacanya tidak boleh memandang peristiwa maupun rangkaian peristiwa silam itu secara hitam-putih. Masalah turunan berkenaan dengan status kewarganegaraan orang Tionghoa (stigma, stereotip hingga sentimen) yang menjadi kelompok bufferages di Hindia Belanda ditambah euforia China yang juga merasa menjadi pemenang Perang Dunia II serta gairah mempertahankan kemerdekaan membuat permasalahan dalam hubungan sosial antara kelompok pribumi dan Timur Asing terutama Tionghoa jadi pelik. Satu sisi, Tionghoa bukanlah orang Indonesia hingga tidak perlu diperlakukan seperti orang Indonesia. Pada sisi yang lain orang Indonesia juga mengalami euforia sehingga melakukan apa saja untuk mempertahankan kemerdekaan itu.

Buku ini memberikan panorama sejarah kehidupan masyarakat Tionghoa di kawasan yang pernah menjadi The jewel in the Dutch imperial crown dari masa paling awal hingga 1960. Tahun 1960-an ini dipandang penting dalam hubungan sosial orang Tionghoa dengan pribumi Indonesia terkait dengan berakhirnya masalah kewarganegaraan Tionghoa dan Indonesia meski masalah yang kurang-lebih serupa meletus kembali tahun 1965. Terlepas dari bagaimana peristiwa selepas 1960 itu direkonstruksi atau ditafsirkan, buku Hamdani memberikan satu pandangan bahwa meskipun hubungan antara warga Tionghoa dengan warga (yang digolongkan) pribumi diwarnai tensitas di balik itu terdapat hubungan sosial lain yang menunjukkan hubungan Tionghoa dengan pribumi adalah keniscayaan.