Jika holat disebut maka ‘ia’ akan merujuk pada dua hal yang berlainan tetapi berhubungan. Dalam bahasa kelompok etnik Angkola di Sipirok, kawasan gunung api Sibual-buali serta Angkola di Padang Lawas, holat yang pertama merujuk pada kombinasi rasa pahit bergetah khas buah yang masih mentah. Barangkali, dari penggambaran rasa pahit bergetah khas inilah muasal kata holat yang berarti terasa kelat atau sepat.
Holat yang kedua merujuk hidangan komplet khas Padang Bolak. Penamaan holat untuk hidangan ini berhubungan dengan penggunaan ‘bumbu’ utama untuk kuah siraman ditambah potongan pakkat atau tunas rotan yang rasanya memang kelat. Namun setelah dihidangkan, rasa dan cerita tentang holat ini jadi berbeda. Rasa kelat bak buah pinang dalam sepiring holat itu dapat dinikmati bersama cerita tentang holat yang terputus lalu tersambung lagi.
Cerita holat bukanlah cerita dari tataring yang ada di belakang rumah semata. Di balik sepiring holat itu berhimpun cerita yang terjalin berkelindan dengan cerita sejarah, perkembangan kebudayaan, tradisi, politik dan tentu saja keadaan rupa bumi yang membuat orang Padang Bolak ‘menemukan’ lapisan holat berwarna hijau di antara jangat dan batang balakka yang digolongkan cendekia bermata biru dengan Phyllantus emblica L.
Balakka, nama ‘pohon’ tempat lapisan holat berada itu adalah tanaman perintis di padang rumput. Kemampuan bertahan dalam suhu tinggi dan lembab membuat balakka jadi satu-satunya ‘pohon’ berkayu yang bisa tumbuh di kawasan yang sejak lampau dinamai padang na bolak atau padang rumput luas di sepanjang aliran Batang Barumun serta anak-anak sungainya itu; Batang Pane, Sirumambe, Sangkilon, Batang Onang dan Sihapas yang membelah daratan di kabupaten Tapanuli Selatan, Padang Lawas Utara dan Padang Lawas masa kini.
Keterbatasan jenis tanaman yang dapat dimakan menjadi alasan kuat mengapa, holat yang diserut tipis-tipis dari batang bagian dalam balakka jadi ‘bumbu’. Di atas padang rumput yang jadi saksi persilangan budaya India, Islam, Tiongkok dengan Panai, hampir tak ada tanaman bumbu yang dapat hidup, apatah lagi lada (Piper nigrum), pala (Myristica fragrans), cengkeh (Syzygium aromaticum), buah keras (Aluerites molucana) atau kafura yang hanya ada di Barus.
Pengetahuan orang Angkola tentang balakka dan holat ini adalah keistimewaan sebab tak banyak kebudayaan yang menggunakan saripati dan ampas serutan batang balakka yang kelat itu sebagai ‘bumbu’ utama masakan selain buah, daun dan akar balakka berkhasiat obat yang dinamai berbeda di tempat lain. Inilah sebab mengapa holat, racikan dan teknik meracik yang tak biasa itu diklaim sepenuhnya sebagai makanan asli orang Angkola di Padang Bolak.
Klaim atas holat ini menjadi pembeda tradisi, politik kawasan, sejarah dan kebudayaan antara kelompok masyarakat Angkola di Padang Bolak dengan kelompok Angkola lain (terutama) di Sipirok lalu Padang Sidimpuan, Batang Angkola, Saipar Dolok Hole, Sosopan dan Batang Toru yang terletak di hulu Padang Bolak, bahkan dengan jiran terdekat mereka, kelompok Angkola yang mendiami Padang Lawas julu di Sibuhuan dan sekitarnya.
Berbeda dengan arsik yang jadi milik bersama, holat sepenuhnya milik orang di Padang Bolak. Perbedaan ini menunjukkan kemungkinan perkembangan kebudayaan pada suatu masa yang mengubah cerita tentang asal-usul, keaslian dan sejarah Angkola; apakah berkaitan dengan Raj-Chola dari India, kacukan di Panai atau munculnya kelompok baru yang melahirkan variasi identitas, asosiasi baru, perubahan konstelasi politik, regionalisme serta perkembangan sosial lain dalam masyarakat.
Begitulah cerita lain yang tak berkait dengan holat sebagai hidangan. Cerita holat sebagai hidangan pasti berkaitan dengan kisah tentang Pangholati; gelar sekaligus ‘nama jabatan’ untuk juru masak tradisional atau meracik holat. Dahulu tak sembarang orang boleh atau bisa meracik hidangan holat, ada konsensus yang harus diikuti jika tak ingin rasa holat terasa seperti namanya. Mereka yang didaulat sebagai Pangholati saja yang dibolehkan meracik hidangan ini
Pengkhususan membuat holat ini membuat holat terasa semakin istimewa karena pengetahuan, pengalaman dan cara pemanfaatan sumber makanan terutama tanaman balakka yang konon hanya tumbuh di sabana Padang Bolak seolah-olah terhimpun pada Pangholati. Dengan himpunan pengetahuan itu, Pangholati tahu persis bagaimana cara dan kapan memilih batang balakka yang baik untuk bumbu racikan holat agar hidangan ini lebih sedap disantap.
Di tangan Pangholati, lapisan holat yang berada di antara kulit jangat dan menyelimuti batang balakka yang berlendir tipis itu diserut perlahan untuk mendapatkan holat berwarna hijau daun muda. Dari serutan holat berwarna hijau daun muda ini kelak diperoleh saripati yang dijadikan ‘kuah’ holat. Semakin baik mutu holat dan cara memeras serutan holat semakin sedap rasa kuah siraman untuk hidangan yang diberi nama yang sama dengan ‘bumbu’ holat itu.
Holat yang ‘otentik’ atau yang nampak ‘berkuah bening-keruh’ ini tidak dimasak dengan api selain lauk yang akan disiram kuah saat hendak dihidangkan. Kuah untuk siraman ini diperoleh dengan merendam serutan holat dengan air suam lalu diperas dua-tiga kali penapisan untuk mendapatkan rasa yang diinginkan. Inilah kuah holat itu, tidak ada ‘bumbu’ atau rempah lain kecuali sekerat halia, seiris bawang, sejumput garam dan serutan holat halus ampas penapisan untuk menguatkan tekstur dan rasa.
Kuah ini siap digunakan untuk ‘merendam’ lauk berupa ikan atau ayam yang lebih dulu dipanggang. Holat yang ‘otentik’ menggunakan ikan sungai endemik yang berdaging manis dan bertekstur lembut, seperti Ikan mas (Cyprianus carpio) atau ikan jurung (Tor sp.). Jenis ikan ini biasanya ditangkap dengan luka dari bagian riam sungai di Padang Bolak yang alirannya agak deras. Rasa manis ikan ini membuat mas dan jurung selalu jadi pilihan utama untuk melengkapi sensasi rasa kelat holat itu meskipun duri ikan yang hampir mirip aksara ‘Y’ acap mengganggu kenikmatan bersantap holat.
Pakkat atau ‘sumsum’ tunas rotan (Calamus caesius) ikut melengkapi holat. Rasa pakkat yang selaras dengan holat rupanya berguna membangkitkan selera makan. Meski pakkat cenderung jadi taburan tetap tak lengkap holat tanpa pakkat. Pakkat biasanya ini diramban dari belukar di sekitar sungai yang agak lembab. Untuk mengambil ‘sumsum’ tunas rotan ini, batang-batang pakkat ukuran hasta dibakar agar kulit rotan gampang dikupas.
Beras sangrai yang ditumbuk halus jadi pelangkap yang tak boleh dilupakan. Bubuk beras yang wangi ini ditabur sesuai selera di atas holat sesaat sebelum dihidangkan. Bubuk inilah yang mengubah kuah holat yang semula bening jadi keruh oleh endapan ampas holat dan bubuk beras yang tenggelam di dasar pinggan. Pengalaman Pangholati menyebut, beras terbaik untuk ditaburkan di atas holat adalah beras dari sawah kering yang rendah kadar airnya.
Inilah wujud hidangan holat yang ‘otentik’ itu. Untuk melengkapi rasa hidangan yang dahulu hanya diracik pada waktu, tempat dan untuk orang tertentu, Pangholati menghidangkan nasi hangat dalam porsi besar bersama cabe merah kecil yang digiling sehalus mungkin, irisan bawang merah mentah, seperempat bagian asam jeruk dan kecap manis atau asin untuk digelincau dalam kuah holat itu. Kadang sepapan pete atau jengkol mentah ikut juga dihidangkan sebagai tambul tambahan
Itulah holat! rasa hidangan orang Padang Bolak itu agak sulit dituliskan. Siapapun yang ingin tahu rasa holat harus langsung mencicipi hidangan ini. Sejumlah kedai nasi di Medan, Padangsidimpuan, Rantauprapat, Kotapinang dan Aekkanopan yang diusahakan oleh orang Padang Bolak menyediakan hidangan ini sebagai menu utama. Tidak perlu ragu soal otentisitas hidangan ini, holat tetap jadi ‘bumbu’ utama meski perkembangan mulai mendorong Pangholati di kedai nasi menggunakan ayam dan ikan laut atau menggunakan santan sebagai bahan memasak ‘gulai holat’. Hal ini memang perkembangan baru tetapi holat tetaplah holat.
Perkembangan baru yang harus dikhawatirkan ialah alih guna lahan di Padang Bolak. Jika dahulu padang rumput di sana jadi padang gembalaan kerbau, sapi dan kambing, kini godaan kelapa sawit telah mendorong pemilik lahan untuk membabat rumput, belukar dan tentu saja balakka lalu diganti kelapa sawit yang rakus menyedot air itu. Kelapa sawit jelas merusak lingkungan tetapi perubahan kebudayaan akibat kerusakan lingkungan itu yang harus dikhawatirkan.
Dahulu, balakka di sabana Padang Bolak bebas dari klaim kepemilikan. Namun seiring menyusutnya areal padang rumput, populasi balakka juga berkurang. Ini membuat balakka yang dahulu dapat diambil siapa saja kini mulai dijadikan milik sendiri dan dikomersilkan. “Balakka nami dei da!” begitu teguran yang terdengar jika ada orang lain tampak meramban batang segar balakka untuk holat atau sekadar mengumpulkan ranting kering balakka untuk kayu bakar.
Nasib holat, balakka, perkembangan sejarah dan kebudayaan di Padang Bolak yang pernah menjadi titik persinggungan manusia dan peradaban di masa lampau digantungkan manusia masa kini. Bagaimana manusia di Padang Bolak kini menentukan pilihan dalam menyongsong perubahan lingkungan yang tak dapat diperkirakan lagi sekaligus menjaga kesinambungan sosial akan mempengaruhi cerita tentang holat, balakka dan nasib orang di Padang Bolak di masa depan.
Oh iya sahabat budaya, pada tahun 2017 yang lalu toge panyabungan ini telah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Nasional (Warbudnas) milik Indonesia melalui pengajuan yang dilakukan oleh BPNB Aceh pada saat sidang penetapan Wabudnas oleh Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemdikbud. Untuk lebih jelasnya sahabat silahkan klik link berikut ini: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbaceh/sidang-penetapan-warisan-budaya-takbenda-indonesia-2017/.
*NOH