Genderang Sisibah, Seperangkat Alat Musik Dari Pakpak

0
9666

Genderang Sisibah merupakan seperangkat alat musik yang terdiri dari sembilan buah  (sibah) gendang yang dimainkan oleh delapan hingga sembilan pemusik yang disebut pande (orang yang pintar dan bijaksana). Ensembel musik ini disebut merkata genderang (berbunyi genderang) oleh karena bunyi yang dihasilkan bukanlah bunyi semata, melainkan berupa kata-kata ungkapan dan permohonan pelaksana dan peserta upacara kepada Dibata (dewata) serta kekuatan lainnya dalam konteks kepercayaan masyarakatnya.

Bagi masyarakat Pakpak, kehadiran ensembel Genderang Sisibah ini adalah merupakan pengabsahan akan status upacara yang dilaksanakan, yaitu upacara sukacita (kerje mbaik) dengan tingkatan yang terbesar dan tertinggi (males bulung simbernaik). Misalnya pada upacara adat perkawinan, peresmian rumah baru, pesta mejan dan sebagainya. Tidak satu upacara pun yang dapat menghadirkan ensembel ini diluar dari ketentuan di atas. Selain itu hadirnya ensembel Genderang Sisibah berarti secara otomatis akan ada kurban (kerbo) yang akan disembelih. Dengan demikian kerje mbaik, males bulung simbernaik dan kerbo (kerbau qurban) adalah identik dengan hadirnya Genderang Sisibah.

Selain itu tidaklah semua orang diperkenankan untuk menghadirkan Genderang Sisibah pada kerja mbaik, males bulung simbernaik. Mereka yang diperkenankan hanyalah apabila sepanjang hidupnya telah melaksanakan syarat-syarat adat secara penuh terhadap kerabatnya, terutama kepada seluruh unsur Sulang Si Lima. Merkata Gendang (berbunyi genderang) juga hanya boleh dilaksanakan apabila telah mendapat persetujuan  atau pengabsahan dari Sulang Si Lima. Hal ini dapat dilihat dari kehadiran unsur kerabat ini pada saat pelaksanaan upacara. Hadirnya kerabat ini adalah merupakan penggenapan dan pengabsahan upacara adat sekaligus membayar dan menerima kewajiban adat sesuai fungsi dan kedudukannya masing-masing.

Genderang Sisibah juga telah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTB Indonesia) pada tahun 2016 yang lalu, melalui pengajuan yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh (BPNB Aceh).

M. Liyansyah