Senin, 17 Juli 2017, yang lalu BPNB Aceh turut serta dalam gelaran Seminar Nasional Hasil Penelitian BPNB Se-Indonesia, bertempat di Hotel Pesonna Yogyakarta. Pada seminar kali ini BPNB Aceh mengirim dua orang peneliti pada bidang sejarah dan antropologi untuk berbicara tentang kebinekaan dari perspektif sejarah dan antropologi.
Sesuai dengan tema besar kegiatan, Merajut Kebinekaan, Membangun Indonesia: Perspektif Sejarah dan Budaya, kedua peneliti BPNB Aceh mempresentasikan dua makalah dengan judul Negeri di Bawah Angin: Titik Nol Peradaban Islam di Nusantara yang dibawakan oleh Miftah Roma Uli Tua, SS. Makalah ini merupakan sebuah bentuk respon atas ditetapkannya Barus sebagai titik nol peradaban Islam di Nusantara. BPNB Aceh merasa perlu berbicara tentang permasalahan ini mengingat Aceh dan Barus (yang merupakan bagian wilayah dari Sumatera Utara) merupakan dua wilayah yang masuk ke dalam wilayah kerja BPNB Aceh. Bagaimana tidak, penetapan Barus sebagai titik nol peradaban Islam di Nusantara oleh pemerintah (diresmikan langsung oleh Presiden Republik Indonesia) telah “melepas” sebagian simpul kebinekaan bangsa kita yang saat ini sedang diterpa dengan berbagai macam persolan pada segala sisi kehidupan berbangsa.
Pada saat berbicara tentang kebinekaan tentu tidak saja sebatas berbicara agama mayoritas dan agama minoritas. Islam sebagai agama mayoritas juga berbineka, minimal hal ini terpancarkan pada kebinekaan pendapat tentang persoalan di mana pertama kali Islam masuk ke Nusantara dan di mana letak titik nol peradaban Islam di Nusantara. Juga pada kekisruhan yang muncul dari penetapan Barus sebagai titik nol peradaban Islam di Nusantara, yang telah “melepas” simpul kebinekaan, ternyata tidak saja berasal dari pihak-pihak yang mayoritas dan minoritas atau yang berbineka, akan tetapi juga bisa datang dari pihak pemerintah atau lambang Negara.
Sebenarnya langkah pemerintah ini tidak akan salah jika telah ditempuh melalui jalur yang tepat, jalur ilmiah dan perdebatan historis. Sebenarnya pemerintah punya “perkakas” dalam persoalan ini. Pemerintah melalui Direktorat Kebudayaan, Kemdikbud, mempunyai UPT yang fokus pekerjaannya pada bidang ini, diantaranya Balai Arkeologi Sumut (Balar Sumut), Balai Pelestarian Cagar Budaya Aceh (BPCB Aceh), dan Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh (BPNB Aceh). Aceh dan Barus adalah bagian dari wilayah kerja ketiga UPT yang berada di bawah Direktorat Kebudayaan. Sudah seharusnya kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah didasarkan pada rekomendasi dari ketiga UPT tersebut. Ketiga UPT ini telah banyak melakukan pencatatan-pencatatan, penelitian, serta konservasi terkait Aceh dan Barus. Data-data tersebut bisa dijadikan sebagai landasan pada kebijakan pemerintah, dalam hal ini adalah penetapan di mana titik nol peradaban Islam di Nusantara.
Pemerintah punya hak juga untuk tidak memakai ketiga “perkakas” tersebut. Pemerintah ingin memakai jasa peneliti dari luar, akan tetapi harus tetap memperhatikan cara-cara ilmiah. Bagaimana mungkin kita merekonstruksi masa lalu dan menyajikannya tanpa memperhatikan aspek-aspek historis, tanpa melalui perdebatan historis.
Makalah kedua dari BPNB Aceh dibawakan oleh Angga, S.Sos. Berbicara tentang kebinekaan dari perspektif budaya dengan judul makalah: Rukun Sampai Mati: Dalihan Na Tolu Sebagai Wadah Relasi Antar Umat Beragama yang Toleran.
Makalah ini di dasarkan pada hasil penelitian tentang Relasi Islam-Kristen di Sipirok pada tahun 2017 ini. Keberagaman selain menjadi modal pembangunan juga menyimpan potensi konflik yang mengatasnamakan perbedaan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat model-model relasi antar umat beragama yang toleran. Relasi antara Islam dan Kristen pada masyarakat di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara dapat dijadikan sebagai model kerukunan antar umat beragama.
Makalah tersebut mendeskripsikan bagaimana sistem kekerabatan Dalihan na Tolu pada masyarakat Batak di Sipirok mewadahi relasi antar kelompok-kelompok keluarga yang berbeda marga dan agama dalam satu jaringan kekerabatan. Model relasi tersebut tergambarkan melalui penelitian ini yang didapat dari proses wawancara mendalam dan berbagai metode kualitatif lainnya. Kesimpulan penelitian ini menjelaskan bahwa Dalihan na Tolu sebagai modal sosial telah memfasilitasi terciptanya relasi antar umat beragama, tidak hanya terjadi dalam upacara-upacara adat namun juga terjalin dalam relasi sosial sehari-hari, bahkan ketika mereka meninggal dunia.
Selain seminar, kegiatan ini juga diisi dengan pagelaran kesenian multikultur dari seluruh Indonesia, serta pameran warisan budaya nasional sejak tanggal 17 Juli s/d 20 Juli 2017. Pada kegiatan pagelaran kesenian multikultur, BPNB Aceh menyajikan tarian kreasi Piasan Lam Nanggroe. Tarian ini memukau ratusan penonton yang duduk manis di Monumen Serangan Oemoem Satu Maret yang merupakan lokasi dilaksanakannya gelaran tersebut. Ini merupakan sebuah kesuksesan bagi BPNB Aceh karena yang membawakan tarian ini bukanlah dari kalangan profesional, akan tetapi oleh para pegawai (ibu-ibu balai) BPNB Aceh yang basisnya bukanlah penari. Selama tiga bulan ibu-ibu balai ini berlatih dan mempersiapkan diri untuk pagelaran besar ini.
Pagelaran tersebut diadakan pada setiap malam selama kegiatan, disiang harinya tim pameran dari ke-11 BPNB yang tersebar di seluruh Indonesia mengaddakan kegiatan pameran warisan budaya nasional. Pada pameran ini BPNB Aceh memamerkan beberapa mata budaya yang berasal dari Acceh dan Sumatera Utara yang telah masuk ke dalam Warisan Budaya Nasional (Warbudnas). Selain itu BPNB Aceh juga memamerkan hasil penelitian dalam bentuk cetakan buku, jurnal, buletin, booklet, dan juga leaflet.
🙂
Foto by: Miftah Nasution & Angga