TUENG BILA PADA MASYARAKAT ACEH

0
1465

Tueng bila merupakan tradisi yang muncul dari prototipe watak orang Aceh yang tampak pada pikiran, perilaku, tindakan dan tutur kata. Tueng bila secara harfiah berarti mengambil atau menuntut bela. Dalam pengertian ini, tueng bila adalah cara masyarakat Aceh menuntut atas kerugian yang dideritanya. Dipermalukan secara terbuka di muka umum berupa provokasi tertentu pada hal-hal khusus sampai batas derajat tertentu pasti membuat luka yang dalam dan menganggu keseimbangang emosi. Hal ini dapat menjadi awal dari perilaku tueng bila bagi ureung Aceh.

Malu (malee dalam Bahasa Aceh) bagi ureung Aceh adalah sesuatu yang harus ditutupi, “ditelan” dan tidak boleh diketahui orang lain. Kehilangan harga diri bagi orang Aceh adalah kehilangan segala-galanya karena tidak hanya membuat malu diri sendiri, tapi juga malu kawom. Untuk itu, provokasi yang membuat malu harus dihindari atau dianggap tabu. Bahkan untuk mencoba-coba atau bergurau sekaliipun. Konsep tueng bila merupakan salah sati prinisp hidup yang berkaitan dengan harkat dan martabat diri sebagai makhluk pribadi dan sosial.

Ada lima perilaku yang tidak boleh dilakukan agar tidak mendorong tueng bila bagi ureung Aceh; 1) menyangkut penghinaan terhadap agama Allah, Rasul-Rasul Allah, para Rasul Anbiya, kitab suci al-Qur’an dan segala simbol yang dianggap suci dalam agama Allah; 2) mempermalukan kedua orang tua di depan umum lebih-lebih jika anak-anaknya melihat dan mendengar langsung; 3) mempecundangi, menggoda atau berselingkuh dengan istrinya. Istri merupakan lambang kesucian dan kehormatan diri, keluarga dan keturunannya kelak. Bagi laki-laki Aceh hal ini tidak ada toleransi sedikit pun; 4) menganggu anak gadisnya yang mana sama kedudukannya dengan istrinya sebagai lambang kesucian keturunannya; 5) tanah (lahan) dan air sawah saat segera akan bertanam padi. Membuat provokasi berupa menggeser sempadan atau garis batas lahan walau sejengkal sekali pun.

Jika tueng bila dilakukan seseorang pada orang lain, maka ada beberapa cara penyelenggaraan damai adat yang dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga adat, diantaranya (1) prosesi hukum adat melalui forum adat musapat dengan menggunakan asas luka tasipat, darah ta sukat (ganti rugi), (2) Prosesi seremonial adat di depan publik dengan peusijuk, bermaafan, sayam (penyerahan kompensasi), nasehat dan doa, (3) kompilasi hukum adat (Adat Meukuta Alam tentang kejahatan dan pelanggaran), yaitu dengan memberi kompensasi 100 unta (setaranya dan nilainya dikonversikan ke dalam emas) untuk diberikan kepada ahli waris yang mati jika kasusnya adalah kematian seseorang akibat kelalaian atau kesengajaan. (4) kebiasaan lain dalam masyarakat. 

Makna dalam tradisi ini adalah sebagai sebuah bagian dari sistem komunikasi budaya. Bagi pelaku tueng bila dan masyarakat, tueng bila dianggap sebagai simbol sikap dan terhadap pelecehan harga diri keluarga, kawom dan masyarakat dimana ia tianggal. Mereka yang telah melakukan tueng bila dianggap telah melaksanakan kewajiban sosialnya sehingga tradisi ini dianggap wajar dan perlu dilakukan.

Artikel: Nurmila Khaira

Foto: Miftah Nasution