Jakarta-Bertempat di Aula Millennium Hotel Sirih Jakarta, empat karya budaya dari Provinsi Aceh dan satu karya budaya dari Provinsi Sumatera Utara (Sumut) akhirnya ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTB Indonesia), melalui Sidang Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia tahun 2019 yang digelar oleh Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya (Direktorat WDB), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI sejak hari Selasa (13/8) sampai dengan Jumat (16/8).
Adapun empat karya budaya dari Aceh yang telah ditetapkan sebagai WBTB Indonesia, yakni: Memek (kuliner khas dari Pulau Simeulue); Gutel (kuliner khas dari etnis Gayo di Kabupaten Aceh Tengah); Tari Sining (etnis Gayo di Kabupaten Aceh Tengah); dan Silat Pelintau (Aceh Tamiang). Sedangkan satu karya budaya dari Sumut yang ditetapkan sebagai WBTB Indonesia adalah Tortor Sombah (Simalungun).
Dari 11 karya budaya yang diajukan dari Aceh dan 8 karya budaya dari Sumut pada bulan Februari 2019 yang lalu, hanya menyisakan empat karya budaya dari Aceh dan satu karya budaya dari Sumut untuk disidang sebagai akhir dari proses penetapan WBTB Indonesia. Sebagaimana laporan yang disampaikan oleh Binsar Simanullang, Kasubdit. Warisan Budaya Takbenda, Direktorat WDB, pada saat pembukaan sidang, beliau menyampaikan dari 698 usulan yang masuk ke meja panitia penetapan, yang lolos untuk mengikuti tahapan seleksi berikutnya hanya 399 karya budaya saja, dan dari karya budaya yang lolos tersebut pada akhirnya hanya menyisakan 272 karya budaya yang layak untuk mengikuti sidang penetapan.
Ada beberapa faktor penyebab ketidaklolosan ratusan karya budaya tersebut, pertama adalah faktor data pendukung yang dianggap belum lengkap dan belum memenuhi standar kwalitas yang telah ditetapkan oleh panitia, seperti belum terlampirnya video maupun foto dari karya budaya yang diajukan, ataupun kwalitas/resolusi dari video dan foto yang masih minim. Kedua, nilai ataupun filosofi dari karya budaya yang diajukan belum terpapar jelas pada formulir pencatatan dan pengajuan, padahal kedua hal ini merupakan inti ataupun hal terpenting dari karya budaya yang diajukan untuk dapat ditetapkan sebagai WBTB Indonesia.
Ketiga, belum adanya kepedulian dari pihak dinas di provinsi yang mengampu bidang kebudayaan, sebagaimana yang terjadi pada Aceh dan Sumut. Sejak tahun 2016, seluruh proses pengajuan WBTB Indonesia ini merupakan tanggung jawab penuh dari dinas di provinsi, akan tetapi untuk Aceh dan Sumut, 100% masih dikerjakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh (BPNB Aceh). Sejak proses pengusulan karya budaya, pengisian formulir pengajuan, mempersiapkan data-data pendukung, hingga mengirimkan ke Direktorat WDB, masih dikerjakan oleh BPNB Aceh. Mulai tahun 2019 ini ternyata pihak panitia dari Direktorat WDB lebih ketat dengan hal ini, dan untuk tahun 2020 tidak akan ada lagi kelonggaran terkait hal ini.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Aceh telah menyatakan sikap dan siap untuk mengerjakan seluruh proses pengajuan tersebut pada tahun 2020 nanti, dengan terus berkoordinasi dengan pihak BPNB Aceh. BPNB Aceh pun menyampaikan dorongan kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Utara agar dapat berperan lebih aktif karena ribuan karya budaya dari Sumut menunggu untuk ditetapkan sebagai WBTB Indonesia.
Kita tunggu dan lihat aksi kedua provinsi ini pada tahun 2020 nanti, apakah bisa mengejar ketertinggalan dari provinsi lainnya yang telah dapat menetapkan puluhan karya budayanya menjadi WBTB Indonesia?
Miftah Nasution