Panglima Laot adalah suatu lembaga yang memimpin adat istiadat, kebisaaan-kebisaaan yang berlaku dibidang penangkapan ikan, dan penyelesaian sengketa di Provinsi Aceh. Secara umum Panglima Laot memiliki kewenangan yaitu bidang pengembangan dan penegakan adat laut, peraturan-peraturan di laut, dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan peradilan adat laut. Lembaga ini memang sudah ada sejak lama, dalam catatan sejarah adat laut disebutkan sudah ada sejak abad ke-14, masa Sultan Iskandar Muda. Pada masa itu, Panglima Laot memiliki dua tugas yaitu memobilisasi peperangan dalam rangka melawan penjajahan dan memungut cukai (pajak) dari kapal-kapal yang singgah pada tiap-tiap pelabuhan di Aceh.
Dalam perjalanan selama 400 tahun itu, Panglima Laot yang merupakan warisan endatu masih selalu hidup dalam pergaulan masyarakat nelayan di Aceh, tetapi seiring dengan perubahan perpolitikan pada masa penjajahan, kemerdekaan, pasca kemerdekaan, dan pasca MoU Helsinki yang terjadi pergeseran peran, fungsi dan tugas, serta wewenang Panglima Laot. Karena faktor itu, maka setelah kemerdekaan Republik Indonesia, tugas dan wewenang Panglima Laot mulai bergeser menjadi, pertama sebagai pengatur tata cara penangkapan ikan dilaut dalam istilah hukum adat laut disebut meupayang dan menyelesaikan sengketa yang terjadi antar nelayan di laut.
Pasca tsunami 24 Desember 2004, Panglima Laot mendapatkan pengakuan undang-undang No. 11 tahun 2006, tentang Pemerintah Aceh (pasal 9899 dan pasal 164 ayat (2) huruf e), kemudian undang-undang tersebut dijabarkan kedalam Qanun Aceh No. 9, tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Itiadat dan Qanun Aceh No. 10, tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Pada tahun yang sama Panglima Laot diterima sebagai anggota World Fisher Forum People/WFFP (lembaga masyarakat nelayan dunia) pada tahun 2008.
Panglima Laot juga memiliki wewenang dalam mengatur para nelayan, diantaranya adalah: a. Menentukan tata tertib penangkapan ikan atau meupayang, termasuk menentukan hasil bagi dan hari-hari pantang melaut; b. Menyelesaikan sengketa adat dan perselisihan yang terjadi di kalangan nelayan; c. Mengkoordinasikan pelaksanaan hukum adat laut, peningkatan sumberdaya dan advokasi kebijakan bidang kelautan dan perikanan untuk peningkatan kesejahteraan nelayan.
Kewenangan-kewenangan tersebut diatas telah terpatri dalam ketentuan adat yang sudah berlaku sejak dahulu kala, dibidang pengembangan dan penegakan adat laut, Panglima Laot memiliki kewenangan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian adat, sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi tanpa mengenyampingkan adat sebagai pedoman.
Jadi, Panglima Laot memiliki wewenang dalam mengatur tata cara penangkapan ikan di laut serta menjadi pemimpin yang dapat menyelesaikan sengketa yang terjadi antar nelayan di laut. Namun pada kenyataannya, walaupun peraturan sudah ditetapkan oleh Panglima Laot, kekacauan dan kesalah pahaman tetap terjadi di TPI. Adapun di antara persoalan yang kerap terjadi di TPI dapat berupa sengketa antar nelayan, perebutan wilayah penangkapan ikan di laut, serta kelalaian nelayan dalam mentaati aturan penangkapan ikan sebagaimana yang telah ditetapkan sehingga menimbulkan sengketa antar nelayan dengan Panglima Laot sendiri.
Lembaga adat, Panglima Laot, juga telah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTB Indonesia) pada tahun 2018 ini.