Pacu Kude, Cerita Para Kuda Pacu Melintas Zaman

0
3816

Masyarakat Kabupaten Aceh Tengah, memiliki tradisi unik menyambut hari kemerdekaan, yakni lomba pacuan kuda tradisional dengan joki tanpa menggunakan pelana. Tradisi yang oleh masyarakat setempat disebut Pacu Kude, menjadi atraksi yang mampu menyedot puluhan ribu penonton. Saat ini pergelaran pacu kude dijalankan rutin sebagai agenda pariwisata di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah.

Dalam beberapa catatan sejarah serta dari cerita mulut ke mulut, Pacu Kude di Gayo dimulai dari Bintang, kemukiman paling timur danau Lut Tawar Aceh Tengah. Mengutip dari buku Pacu Kude; Permainan Tradisional di Dataran Tinggi Gayo yang di tulis Piet Rusydi dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh tahun 2011, Pacu Kude pertama-tama digelar sekitar tahun 1850 dengan arena pacuan melintasi Wekef hingga Menye berjarak lebih kurang 1,5 kilometer, rutenya memanjang, bukan memutar seperti saat ini. Saat itu, Pacu Kude diselenggarakan saat luah berume atau lues belang (setelah panen padi-red).

Sebelum urang Gayo mengenal sarana transportasi modern, kuda memiliki peran penting dalam banyak hal di Gayo terutama sebagai sarana transportasi barang dan manusia serta kegiatan olah tanah di sawah.

Selanjutnya menurut AR. Hakim Aman Pinan dalam bukunya Pesona Tanoh Gayo, menyatakan pacu kude di Pante Menye Bintang diselenggarakan saat pagi dan sore hari, setelah ashar. Satu sisi line pacuan dibatasi dengan air danau Lut Tawar dan sisi lainnya (timur) dengan pagar Geluni. Saat itu joki tidak dibenarkan memakai baju alias telanjang dada.

Saat itu tidak ada disediakan hadiah, para pemenang hanya memperoleh “Gah” atau nama besar (marwah-red). Biasanya, Pacu Kude dilanjutkan dengan perayaan atau syukuran luah munoling (paska panen padi) yang biayanya diperoleh dengan berpegenapen (saling menyumbang biaya dan perlengkapan lainnya).

Versi lainnya, menurut Piet Rusydi, Pacu Kude adalah kegiatan iseng para pemuda setelah munoling (panen padi) khususnya di Bintang. Kuda-kuda yang berkeliaran saat Lues Belang ditangkap dengan opoh kerung (kain sarung-red) dan di pacu. Tradisi ini tanpa disadari dijadikan even tetap mulai tahun 1930 yang melibatkan kuda-kuda serta joki dari beberapa kampung.

Pada tahun 1912 penjajah Belanda menggelar Pacu Kude di Takengon dengan lintasan lurus sepanjang jalan depan rumah sakit lama (kampus STAIN Gajah Putih sekarang) hingga Tan Saril. Namun karena membahayakan warga, Pacu Kude kemudian dipindahkan ke lapangan Belang Kolak yang kemudian bernama Gelengang Musara Alun, lintasan Pacu Kude berubah menjadi oval, diberi pagar pembatas berupa tersik (tonggak kayu) serta radang (sejenis rotan).

Menurut Almarhum Tgk. H. M. Ali Salwani yang dinyatakan kepada salah seorang mahasiswa Universitas Abulyatama Aceh Besar, Muhammad (1996) dalam laporan penelitian yang berjudul Eksistensi Olahraga Pacuan Kuda Tradisional di Kabupaten Aceh Tengah Tahun 1995, even ini di gelar Belanda untuk memeriahkan ulang tahun Ratu Belanda, Wilhelmina pada setiap tanggal 31 Agustus.

Dari sumber lain, saat itu mulai disediakan hadiah berupa piagam dan jam beker (weker). Karena hadiahnya beker sebutan kuda pemenang hingga saat ini masih disebut dengan kuda Beker alias kuda juara. Uniknya, jika kuda betina yang memperoleh juara maka dinamakan sebagai Kude Dompet, tidak jelas kapan istilah ini muncul.

Saat penjajahan Jepang, satu versi menyatakan tetap ada even Pacu Kude seperti dituturkan  mantan Juru Penerang (Jupen) Kabupaten Aceh Tengah, Abd. Majid. Tapi versi lain menyatakan tidak pernah diselenggarakan karena saat itu tentara Jepang mengambil alih kepemilikan kuda sebagai sarana transportasi mereka. Saat itu masyarakat Gayo juga sangat menderita, bahkan pakaian yang dikenakanpun terbuat dari kulit kayu dan goni.

Pada masa pra kemerdekaan, kelas atau kategori perlombaan hanya dikenal tiga kelas yakni kelas kuda muda (usia 2-4 tahun), kuda dewasa (4-6 tahun) dan kelas kuda tua (berusia diatas 6 tahun), jantan dan betina. Lintasan pacu bagi kuda muda berjarak satu  keliling (putaran) lapangan Musara Alun (lebih kurang 1 kilometer), kuda dewasa 2 keliling dan kuda tua sejauh 3 kali keliling.

Dulu, menentukan kategori pacu untuk seekor kuda tidak terlalu rumit dan langka terjadi percekcokan, selain jumlah kuda peserta masih terbilang sedikit juga faktor kejujuran dan kebersamaan para pemilik kuda lebih dikedepankan ketimbang menjadi juara.

Pasca kemerdekaan RI, mulai tahun 1950 Pacu Kude juga sempat digelar oleh masyarakat, saat itu kuda-kuda dari Bintang, Kenawat, Pegasing dan Kebayakan yang paling aktif ikut serta. Bahkan saking antusiasnya warga dan peserta Pacu Kude dari Kenawat, di Gelengang Musara Alun sempat ada nama tempat yang agak tinggi dibanding bagian lapangan lainnya dinamakan “Buntul Kenawat”, di lokasi ini berkumpul kuda-kuda, joki dan pendukung dari Kenawat.

Seiring dengan terbentuknya kabupaten Aceh Tengah tahun 1956, penyalenggaraan even Pacu Kude diambil alih oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah.

Penyelengaraan Pacu Kude terus berlanjut yang digelar dalam memeriahkan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam sejarahnya, Pacu Kude Gayo sempat di gelar selain memperingati HUT RI, yakni pada bulan Maret tahun 1992 yang digagas oleh Dandim. 0106 Aceh Tengah.

Pacu Kude juga sempat diselenggarakan di Banda Aceh pada tahun 1994, persisnya di lapangan Jeulingke Banda Aceh. Saat itu, tokoh masyarakat Gayo, Husni Darma menjabat sebagai Pimpinan Proyek (Pimpro) di Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Aceh.

Saat bupati Kabupaten Aceh Tengah di jabat oleh Drs. Buchari Ishaq, persisnya di tahun 1995 melalui Dinas Peternakan menggulirkan program peningkatan kualitas kuda pacu dengan mendatangkan bibit kuda pejantan dari Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat, serta kuda-kuda pejantan dari Australia. Kuda keturunan dari hasil perkawinan silang ini kemudian dikenal dengan nama kuda Astaga atau kuda blasteran Australia-Gayo yang ciri-ciri posturnya lebih tinggi dan larinya lebih kencang.

Karena pengunjung Pacu Kude semakin banyak, Gelengang Musara Alun dinilai tidak cocok lagi sebagai tempat penyelenggaraannya. Dan saat Bupati Kabupaten Aceh Tengah dijabat Drs. H. Mustafa M. Tamy, dengan persetujuan masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), di tahun 2002 penyelenggaraan Pacu Kude dipindahkan ke Pegasing, persisnya di Lapangan H. Muhammad Hasan Gayo Belang Bebangka.

Seiring dengan pemindahan arena Pacu Kude ini, kuda peserta juga semakin meluas, sebelumnya hanya seputar Kabupaten Aceh Tengah, termasuk Kabupaten Bener Meriah dan dari kabupaten Gayo Lues yang dalam sejarahnya telah mengenal Pacu Kude sejak tahun 1936.

Penyelenggaraan Pacu Kude di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, semakin diminati, bukan saja oleh warga setempat namun juga dari pesisir Aceh, Provinsi Sumatera Utara bahkan mancanegara. Even ini menjadi salah satu even di Aceh yang paling diminati wisatawan. Dan setelah ditetapkannya Hari Jadi Kota Takengon pada 17 Februari 1577 oleh DPRK Aceh Tengah dengan Qanun Kabupaten Aceh Tengah nomor 10 tahun 2010, penyelenggaraan Pacu Kude menjadi 2 kali dalam setahun, yakni saat memperingati HUT Kemerdekaan RI di bulan Agustus dan saat memperingati HUT Kota Takengon di bulan Februari.

Kabupaten Bener Meriah yang dimekarkan dari Kabupaten Aceh Tengah pada tahun 2005 juga mulai menggelar even ini sejak tahun 2006 di lapangan Sengeda yang berlokasi di kaki Burni Telong, berdekatan dengan Bandar Udara (Bandara) Rembele. Di Bener Meriah, Pacu Kude digelar dalam memperingati Hari Jadi Kabupaten yang diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 7 Januari 2004.

Sementara di Kabupaten Gayo Lues yang dimekarkan dari Kabupaten Aceh Tenggara dengan Dasar Hukum UU No.4 Tahun 2002 pada tanggal 10 April 2002 juga menggelar Pacu Kude dalam memperingati Hari Jadi kabupaten tersebut atau memperingati HUT Kemerdekaan RI sejak tahun 2009 yang pertama digelar di Buntul Tajuk dan sejak tahun 2010 Pacu Kude mulai digelar di lapangan Buntul Nege setelah dipandang layak digunakan.

Ada satu yang selalu terngiang di telinga warga Gayo saat digelarnya Pacu Kude, yakni teriakan panjang saat kuda dilepas oleh pembawa acara, “wasaluaaaaaleeeeeeeee!!!” Itulah pekikan khas jika kuda sedang berlari berpacu menuju garis finish. Pekikan ini, tanpa disadari juga sebagai aba-aba bagi pengunjung untuk tidak lalu lalang di arena Pacu Kude.

Aturan teknis Pacu Kude juga tak lepas dari dinamika zaman. Dulu cara start Pacu Kude hanya dengan selembar bendera yang diikuti dengan aba-aba “lepas”. Kuda yang akan berpacu dipegang oleh satu orang dan satu orang lainnya masing-masing berada di belakang kuda untuk menghalau atau memecut kuda agar berlari. Metode start ini kerap menjadi biang keributan antar pemilik dan joki sehingga pada tahun 2012 Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah melalui Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga, mulai memakai Starting Gate sebagai alat melepas kuda pacu. Sejak dipakainya alat ini, nyaris tidak terdengar lagi keributan.

Seiring dengan makin berkualitasnya kuda pacuan, para joki juga mulai memakai pelana dan alat keamanan lainnya saat memacu kuda. Pelana ini umumnya dipakai pada kuda-kuda yang bertanding di kelas A, bukan di kuda lokal.

Pada tahun 2016, melalui pengajuan Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh (BPNB Aceh) pada sidang penetapan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTB Indonesia) yang dilaksanakan oleh Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud, Pacu Kude telah ditetapkan sebagai salah satu WBTB Indonesia.