Sebutan penutup kepala pria bagi masyarakat Simalungun, di bagi dalam 3 (tiga) penyebutan yaitu: gotong, porsa dan takkuluk. Konsep yang disebut pertama yaitu gotong adalah penutup kepala adat suka cita (malas ni uhur) yang dikenakan pada setiap upacara adat suka cita. Sedangkan konsep yang disebut kedua yakni porsa merupakan penutup kepala adat pria dalam upacara duka cita khususnya yang meninggal sayur matua dan konsep takkuluk adalah penutup kepala pria yang dikenakan sehari-hari dan sama sekali tidak berhubungan dengan adat istiadat.
Gotong merupakan aksesoris penutup kepala yang khusus digunakan oleh kaum pria di Simalungun sebagai keelengkapan pakaian adat. Gotong akan selalu hadir dalam setiap perayaan adat Simalungun. Pemakaian gotong dalam perayaan adat Simalungun merupakan bagian dari simbol budaya etnik Simalungun. Walaupun gotong hanya bagian dari aksesoris pelengkap dalam pakaian adat Simalungun, akan tetapi gotong menyimpan berbagai kisah didalamnya, mulai dari sejarah hingga makna yang terkandung didalamnya.
Kain yang digunakan sebagai bahan pembuat gotong adalah kain batik/bermotif batik dari Jawa. Tentu ini menjadi sesuatu hal yang menarik, kenapa harus kain batik? Berdasarkan pengakuan dari salah seorang narasumber menyebutkan bahwa dahulu pada masa zaman Majapahit, leluhur masyarakat Simalungun yang merupakan Raja Simalungun telah melakukan hubungan perdagangan dengan Kerajaan Majapahit yang pada masa itu masuk ke kawasan Simalungun. Saat itu dibuatlah sebuah perjanjian antara Majapahit dengan Raja Simalungun tadi, perjanjian kerjasama perdagangan. Sebagai simbol ikatan kerja sama tersebut utusan Majapahit menyerahkan beberapa helai kain batik kepada Raja di Simalungun. Sebagai bentuk penghargaan atas pemberian utusan Majapahit tersebut kemudian Raja Simalungun menggunakan kain batik tersebut sebagai penutup kepala, gotong.
Ada juga sumber yang menyebutkan bahwa penggunaan bahan kain batik ini dimulai sejak masuknya wilayah Simalungun ke dalam wilayah kolonial Hindia Belanda di Simalungun. Pada mulanya penutup kepala milik laki-laki Simalungun ini hanya berupa Hiou Ragi Panei yang dililitkan di kepala laki-laki Simalungun. Namun, pada tahun 1907, ketika pemerintah kolonial Belanda menduduki Simalungun dan bangkitnya industri tekstile, maka kain-kain produksi pulau Jawa ini pun dipasarkan ke masyarakat Simalungun.
Seiring dengan perjalanan waktu, gotong yang mulanya dari Hiou Ragi Panei menjadi kain batik berwarna gelap dengan liris yang lebih gelap dari warna dasarnya yang dilengkapi dengan tambahan aksesoris berupa rudang hapias, doramani, rantei gotong, dan taring harimau.
Gotong dapat dibedakan menjadi dua, yaitu gotong partongah (penutup kepala bangsawan) dan gotong paruma (penutup kepala kaum paruma). Pada masa kerajaan, pemakaian gotong tidak boleh secara sembarangan atau memiliki tatanan tersendiri dalam pemakaiannya, seperti tidak diperbolehkan memakai gotong partongah bagi rakyat paruma maupun jabolon, lalu gotong partongah maupun paruma hanya dapat digunakan pada saat upacara-upacara kerajaan/adat maupun perkawinan dan pada saat menyambut tamu kerajaan atau tamu daerah.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa gotong partongah hanya dapat dikenakan oleh raja, sedangkan gotong paruma dipakai oleh aparatur kerajaan, akan tetapi tidak mengenakan akseroris berupa rudang hapias, doramani, rantei gotong dan taring harimau. Namun, akibat adanya transformasi pakaian di Simalungun dan kejadian tanggal 3 Maret 1946 berupa Revolusi Sosial yang menghancurkan berbagai tatanan masyarakat Simalungun berupa lenyapnya rumah bolon (Istana Simalungun), terbunuhnya keluarga istana (bangsawan dan raja), perampokan harta bangsawan, maupun memudarnya wibawa Simalungun, serta hilangnya generasi orang terdidik di Simalungun.
Maka, sejak saat itu konsep gotong partongah dan gotong paruma dalam stratifikasi masyarakat Simalungun menghilang. Raja yang menjadi panutan serta menjadi sumber tatanan hukum, sosial, ekonomi dan kultur bagi masyarakat Simalungun juga hilang.
Melalui seminar Kebudayaan Simalungun tahun 1964 disepakati bahwa penutup kepala adat Simalungun adalah gotong tikkal (berbentuk destar dengan sisi tengah yang agak tegak lurus) dan dalam pemakaian gotong tersebut memiliki hiasan di dalamnya, seperti rudang hapias, doramani (tujuh tingkat), rantei gotong, dan taring harimau. Semenjak seminar tahun 1964 itu maka diputuskan bahwa sesama masyarakat Simalungun tidak ada lagi stratifikasi sosial, sehingga tidak ada lagi yang disebut dengan gotong partongah maupun gotong paruma tetapi sudah menjadi gotong tradisional milik masyarakat Simalungun.
Gotong ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia (WBTB Indonesia) pada tahun 2018 ini.
Artikel: Harvina
Sumber Foto: internet/www.neosimalungunjaya.com