Warisan Perkotaan (Urban Heritage) Kota Bukittinggi

Oleh: Harry Iskandar Wijaya
Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat
Wilayah Kerja Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau

Warisan Perkotaan (Urban Heritage) yang merupakan tinggalan budaya masa lalu berupa bangunan-bangunan gedung maupun kawasan peninggalan sejarah dan purbakala adalah aset daerah yang dapat diandalkan sebagai identitas daerah. Kurangnya perhatian dalam upaya pelestarian, disamping dipengaruhi oleh faktor alam, menyebabkan aset-aset tersebut mengalami kemerosotan kualitas secara fisik. Di sisi lain, perkembangan kota sering mengancam upaya-upaya pelestarian terhadap benda cagar budaya dan situs.

Salah satu kemerosotan yang paling dirasakan akibat dampak tersebut adalah hancurnya bangunan tua bersejarah akibat kurangnya apresiasi dan kepedulian masyarakat, serta munculnya tuntutan baru akibat perkembangan kota. Keberadaan otonomi daerah banyak memberikan tantanagn dan peluang bagi pengelolaan benda cagar budaya dan situs di setiap daerah otonom. Tantangan yang secara langsung dihadapi adalah berkaitan dengan pegeloaan Benda Cagar Budaya disetiap daerah otonom yang belum menampakan arah yang jelas bagaimana bentuk penanganan pelestarian, pemanfaatan, dan pengambangan Benda Cagar Budaya sebagai aset budaya yang memiliki beragam nilai pemanfaatan menjadi salah satu harapan bagi Daerah Otonom untuk peningkatan sumber pendapatan asli daerah (PAD) melalui sektor kebudayaan dan pariwisata. Oleh karena itu, agar penanganan cagar budaya dapat berjlan secara optimal perlu adanya pengelolaan secara terpadu dan bekesinambungan pada setiap daerah otonom.

Pengelolaan (pelestarian, pemanfaatan, dan pengembangan) Benda Cagar Budaya di perkotaan (Urban Heritage) sebagai aset yang bernilai sejarah, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun demikian, partisipasi pmerintah daerah, masyarakat luas, dan swasta (stake holders) tetap diperlukan dalam pengelolaan benda cagar budaya dengan pengelolaan yang terpadu dan berkesinambungan agar diperoleh manfaat yang lebih optimal.

Benda cagar budaya dan situs cagar budaya sebagai sumberdaya budaya daerah khusunya di kawasan perkotaan di satu sisi memngkinkan untuk diberdayakan sebagai aset pariwisata sehingga diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi daerah otonom. Namun jika upaya penanganannya tidak dikelola secara baik dan benar, maka akan menimbulkan berbagai permasalahan. Sesuai dengan pemikiran tersebut, diperlukan adanya arah kebijakan pengelolaan cagar budaya dan situs yang dapat dijadikan sebagai acuan dasar dalam pelaksanaannya di setiap daerah otonom.

Kota bukittinggi memiliki cagar budaya yang sangat potensial sebagai wilayah yang memiliki cagar budaya yang dapat menjadi identitas kota. Cagar Budaya di Kota Bukittinggi sebagian besar merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda. Peninggalan tersebut tersebar di Kota Bukittinggi yaitu di Kecamatan Aur Birugo XIII Belas, Guguk Panjang, dan Mandiangin Kota Selayan.

Oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata sebagian bangunan cagar budaya sudah ditetapkan sebagai  cagar budaya melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : PM.05/PW.007/MKP/2010 tanggal 8 Januari 2010 tentang Penetapan Gedung sekolah rajo (SMU 2), Gedung Kandepdikbud, Kompleks Kantor Polres Agam, Kompleks Kantor Kodim Agam, Tugu Manggopoh, Gedung SMP 1, Gereja Katholik, Rumah Bekas Kepala Stasiun Kereta Api, Gereja Protestan, Villa Oepang-oepang, Hotel Centrum (Pos dan Giro), Istana Bung Hatta, Jam Gadang, Rumah Kelahiran Bung Hatta, Wisma Anggrek, Villa Merdeka, Makam Tuanku Syechk Imam Jirek, Benteng Fort de Kock, Eks BNI 46 Bukit Tinggi, Cerobong Asap No. 101 B, Rumah gadang Engku Palo (Suku Tanjung), Rumah Tinggal di Jalan DR. A. Rivai No. 38, Pasar Lorong saudagar, Lembaga Pemasyarakatan Bukittinggi.

Masuknya penjajahan Belanda ke Sumatera Barat khususnya wilayah pedalaman untuk mengatasi gerakan Kaum Paderi, menyebabkan Belanda menguasai  Bukittinggi  sejak  tahun  1837. Berhasilnya Belanda  mengalahkan kaum Paderi yang berperang sejak tahun 1821 menyebabkan Bukittinggi jatuh ke tangan Belanda. Dikuasainya   Bukittinggi oleh Belanda, menyebabkan Belanda mulai menata administrasi dengan menjadikan Bukittinggi sebagai ibukota residensi Padangche Bovenlande (Padang Dataran Tinggi).

Sejak dikuasainya Bukittinggi oleh Belanda yang kemudian menjadikan Bukittinggi sebagai salah satu pusat pemerintahan, Belanda membangun infrastruktur untuk kelancaran pemerintahan. Infrastruktur tersebut mencakup bidang pemerintahan, pendidikan, militer dan lain sebagainya seperti Benteng Fort De Kock, Sekolah Raja yang dibangun tahun 1873, bangunan Kodim 0304 Agam,  Kompleks  Polresta  Bukittinggi,  Hotel  Centrum,  gereja,  Istana  Bung Hatta.

Selain Bangunan  tersebut, terdapat salah satu peninggalan Belanda di Kota Bukittinggi yang sampai sekarang menjadi monumental dan menjadi ikon dari Kota Bukititnggi yaitu Jam Gadang. Pasca Kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi kembali memainkan perannya yang sangat penting bagi bangsa Indonesia yaitu sebagai Ibukota Pemerintahaan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Pembentukan Provinsi Sumatera Barat sebagai pemekaran dari Provinsi Sumatera Tengah, maka Bukittinggi ditunjuk sebagai ibukota provinsi Sumatera Barat. Semenjak tahun 1958, secara  de facto Ibu kota  Sumatera  Barat  dipindahkan  ke Padang,  namun secara  de jure baru  pada  tahun  1979.  sejak  tahun  1979,  Bukittinggi  tidak  lagi menjadi ibukota Provinsi Sumatera Barat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1979, namun demikian hingga saat ini Bukittinggi masih begitu melekatdi pikiran kita sebagai kota yang penuh sejarah dan budaya Indonesia dan layak menjadi salah satu warisan perkotaan Indonesia.