oleh: Merry Kurnia
Menginterpretasikan sebuah kampung adat, adalah membayangkan hamparan sawah, rumah rumah gadang berdiri kokoh dan jalan jalan kampuang yang biasanya disebut labuah menjadi penghubung di dalam nagari, jalan tanah dengan batu kerikil berserakan menjadi pemandangan yang dirindukan. Memasuki halaman rumah sambutan dari pagar-pagar hidup menyejukkan hati mengisi paru-paru dengan udara bersih, halaman yang dipenuhi kerikil bergerincing ketika terinjak, kecipak air di kulah menandakan ada tamu yang akan mengucap salam gadis gadis berlarian mengambil kerudung. Sungguh rindu yang begitu purna akan Minangkabau tempo dulu dengan wajah  yang masih orisinil. Rasa apatis, pesimis menndominasi, apakah mungkin masih bisa ditemukan sebuah perkampungan yang merepresentikan wajah Minangkabau tempo dulu, lengkap dengan tradisi-tradisi yang melekat di dalamnya.

Masyarakat  sekarang lebih tertarik untuk membangun rumah beton, hal ini erat kaitannya dengan Campur tangan kolonial ini menimbulkan pemecahan beberapa rumah gadang serta pembangunan berbagai rumah rumah kecil, biasanya untuk keluarga-keluarga inti di sekitar tanah milik. Rumah-rumah ini menjiplak garis atap yang stereotipikal rumah gadang itu dan memelihara keturunan matrilineal, tapi bukan lagi rumah-rumah komunal untuk sekelompok keluarga luas matrilineal.(Jefrey Hadler). Gempuran moderninasi membuat masyarakat Minangkabau tidak lagi tertarik untuk membangun rumah gadang. Mayoritas rumah yang dibangun masyarakat sekarang berbahan dasar  semen dan pasir, dengan mengadopsi berbagai macam gaya arsitektur

Selain pengaruh kolonial kelangkaan dan mahalnya bahan baku juga jadi penyebab warisan budayanya semakin dekat pada titik kepunahan.  Fenomena makin ditinggalkannya rumah gadang sebagai tempat hunian oleh masyarakat pendukung kebudayaan itu, realitasnya dapat dilihat di Nagari Limo Kaum yang dikenal sebagai pusat adat Kelarasan Bodi Caniago dan Nagari Sungai Jambu salah satu nagari besar dalam Laras Adat Koto Piliang, amat banyak rumah gadang yang ditinggal begitu saja lantas lapuk dan roboh di makan zaman, disatu sisi hampir diseluruh wilayah Minangkabau rumah gadang Minangkabau bergerak ke arah kepunahan ( syafwan :2016)

Namun  ditengah sulitnya mencari rumah gadang di Minangkabau, ada satu nagari yang mempertahankan warisan budaya nenek moyang dengan tetap melestarikan rumah gadang sebagai tempat tinggal mereka. Nagari itu merupakan salah satu daerah rantau tepatnya di Nagari Sijunjung, tepatnya di Jorong Tanah Bato dan Padang Ranah.

Perkampungan Adat Nagari Sijunjung merupakan salah satu contoh perkampungan tradisional yang dibangun atas dasar konsep pembentukan nagari yang dimiliki oleh Minangkabau. Suatu daerah dapat disebut dengan nagari apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: basosok bajurami (mempunyai daerah dan batas daerah), bapandam bapakuburan (adanya pemakaman tempat menguburkan jenazah), balabuah batapian (memiliki jaringan jalan dan sungai tempat mandi), barumah tanggo (mempunyai rumah tempat tinggal, dalam hal ini berupa rumah gadang), bakorong bakampuang (adanya ikatan antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya), basawah baladang (mempunyai sawah dan ladang), babalai bamusajik (memiliki tempat pertemuan dan tempat ibadah dalam hal ini masjid (Fauzan Amril)

Bangunan rumah gadang yang terhimpun dalam satu kawasan di nagari sijunjung ( jorong padang ranah, tanah bato) merupakan warisan budaya dengan nilai penting yang luar biasa, memasuki perkampungan adat seakan menginjakkan kaki pada waktu beberapa abad yang silam. Kampung ini mewakili wajah minangkabau yang sebenarnya, penawar rindu pelipur lara dari mulai langkanya rumah gadang dinegeri bundo kanduang ini. Menghidupkan kembali Minangkabau tempo dulu menjadikan portal masalalu terbuka lebar dan roh perkampungan masyakarakat Minangkabau hadir disini.

Perkampungan adat nagari sijunjung telah ditetapkan menjadi slaah satu cagar budaya nasional, lolosnya perkampungan adat menjadi cagar budaya nasional dikarenakan nilai-nilai penting yang dipunyainya. Rumah gadang merupakan salah satu wujud budaya materil dan menjadi kebanggaan masyarakat Minangkabau, rumah bukan hanya terbatas sebagai tempat hunian namun merupakan pencerminan sistem matrilineal yang mereka anut serta simbol rasa kebersamaan, kegotong royongan, demokrasi dan sekaligus sebagai identitas sebuah kaum serta kepenghuluan yang melekat di dalamnya. Dengan bentuk arsitektur yang indah serta mempresentasikan nilai-nilai adat dan estetika sekaligus memperlihatkan tingginya penguasaan teknologi nenek moyang orang Minangkabau  (syafwan:2016).

Selain rumah gadang tradisi-tradisi adat tetap dihidupkan dan lekat dengan aktivitas masyarakat perkampungan adat. Sebagai warisan kekayaan bangsa dan masuk kedalam kawasan cagar budaya, perkampungan adat padang ranah harus dilestarikan karena merupakan jati diri yang harus dijaga , agar nilai-nilai dalam kebudayaan tetap mengakar kuat karena peningglan budaya ini didalamnya terdapat manifestasi pemikiran dn nilai kebudayaan, pusaka tersebut tidak hanya menjadi pengingat suatu kebudayaan namun juga sebagai bentuk komunikasi visual antara generasi terdahulu dengan generasi setelahnya, sebagai penyampai pesan dengan tujuan menjadi pedoman bagi penerus kebudayaan (Nurulfatmi Azmy:2017)