oleh: Merry Kurnia (BPCB Sumatera Barat)

Batusangkar atau Fort Vander Capellen mempunyai sejarah panjang yang sangat komplek. Menjadi  pusat kerajaan Minangkabau dengan Istano Basa (Pagaruyung) sebagai sisa kejayaannya, yang konon kabarnya kekuasaannya hampir menguasai Asia Tenggara.  Kejayaan kerajaan Minangkabau kemudian berangsur padam namun kerajaan masih bertahan dengan Rajo Alam sebagai pimpinannya hingga gerakan paderi akhirnya menghancurkan kerajaan hingga membuat rajanya melarikan diri. Perang saudara ini menjadi sejarah kelam bagi masyarakat Minangkabau dan perang ini jugalah yang melemahkan pertahanan Minangkabau hingga kolonial berhasil melakukan eksapansi ke Minangkabau. Politik  devide it impera (adu domba) semakin merobek dan menyulut pertikaian kaum adat dan agama, ibarat memancing di air keruh kolonial mengambil keuntungan dari pertikaian ini yang akhirnya menjadikan Minangkabau pemuas nafsu imprealismenya.

Setelah melewati masa kesakitan yang panjang  perang saudara dan penjajahan menyadarkan kaum adat dan agama akhirnya berdamai dan kembali bersatu berjuang mengusir bangsa penjajah dari tanah bundo kanduang ini. Namun, kekuatan kolonial sudah mencengkaram kuat susah untuk menggoyahkan, namun perjuangan yang dilakukan masyarakat Minangkabau dapat membuat Belanda kewalahan dan menguras kasnya untuk berperang.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda Batusangkar dinamai dengan nama Fort Vander Capellen, sekarang nama itu tidak lagi dipakai untuk pusat pemerintahan namun masih melekat kuat pada benteng peninggalan kolonial benteng Vander Capellen . Kota ini menjadi salah satu kota penting bagi Belanda, Fort Vander Capellen  mempunyai peran ganda yaitu menjadi  ibu kota Afdelling dan ibu kota District. Sebagai ibu kota Afdeling  Tanah Datar Vander Capellen menjadi pusat pemerintahan sipil tempat pemerintahan kolonial mengatur birokrasi pemerintahan pribumi sekaligus mengawasi pelaksanaan sistem tanam paksa kopi (Zulgayim). Sebagai kota yang penting bagi kolonial, maka didirkanlah benteng yang kuat dan kokoh untuk pertahanan.

Puluhan tahun kemudian, menjelang  perang dunia ke dua meletus politik dunia mulai memanas. Hal ini berdampak ke Indonesia, pada tahun 1942 muncul bangsa baru dari benua yang sama Asia menunjukkan nafsu imprealisme untuk menguasai dunia. Bangsa Matahari terbit dikenal dengan Nippon (jepang), datang ke indonesia dengan propoganda III A. Kedatangan Nippon mengakhiri kekuasaan Belanda di Indonesia, Namun ppropoganda III A nya hanya tipuan yang membawa bangsa Indonesia pada masa penjajahan baru, kolonialisme Jepang dan itu sangat menyengsarakan. Banyak orang-orang mati kelaparan kurus kering bergelimpangan di jalan namun perjuangan tidak pernah terhenti.

Perjuangan pergerakan bangsa indonesia berakhir indah dengan pernyataan kekalahan jepang pada sekutu tanggal tanggal 14 Agustus 1945, setelah sekutu menjatuhkan bom atom di kota Hirosima dan Nagasaki meluluh-lantakkannya jadi abu. Tidak berselang lama pemuda mengetahui kekalahan jepang, kabar itu dengan cepat disebarkan dan pada tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan indonesia diproklamirkan meskipun jepang belum menyatakan kekalahannya pada bangsa Indonesia. Eforia menjalar ke daerah daerah termasuk ke Sumatera barat, namun mengingat situasi yang belum kondusif bentuk dukungan dari Sumatera Barat tertunda beberapa hari karena menghindari rahazia Kampetai yang masif. Pada tanggal 24 Agustus 1945 dengan keberanian di bawah tekanan militer Jepang yang hampir putus asa, para pemuda menyebarkan ke seluruh pelosok Sumatera Barat berita kemerdekaan Indonesia, berupa selebaran permakluman kemerdekaan Indonesia yang dicetak di Kantor padang, berita itu menyebar dengan cepat begitu juga di Batusangkar.

Mengenang perjuangan dan kemerdekaan Indoensia, maka hampir diseluruh kota dan kabupaten di Indonesia di bangun tugu-tugu perjuangan.  Batusangkar juga membangun tugu perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak lama setelah proklamasi diproklamirkan untuk mengenang perjuangan bangsa yang mengorbankan jiwa dan raga demi melepaskan negeri dari penjajahan yang menyakitkan.  Tugu ini dikenal dengan nama Tugu Kemerdekaan Cindua Mato, mempunyai nilai historis yang sangat tinggi, karena merupakan salah satu monumen peringatan atas peristiwa pengibaran bendera merah putih pertama kalinya di Batusangkar yang dilakukan di lapangan Cindua Mato dan menjadi saksi perjuangan masyarakat Batusangkar mempertahankan kemerdekaan dari kolonial Belanda yang ingin kembali menjajah  Indonesia dengan membonceng pada sekutu. Pada masa pertahanan kemerdekaan Belanda melakukan dua kali Agresi militer yang banyak memakan korban baik jiwa dan harta. Perjuangan yang tiada henti berakhir manis dengan tidak tergoyahkannya kemerdekaan Indonesia.

Tugu Kemerdekaan Cindua Mato Tahun 1948 (dalam lingkaran), Sumber KITLV Leiden, Dokumen BPCB Sumbar. Keterangan foto Dua Tentara di di tangkap oleh Tentara KNIL. Lokasi di Batusangkar

Dari foto nampak keberadaan tugu kemerdekaan cindua mato, foto diambil tahun   1948-1949. Tugu ini menyimpan sejarah yang purna akan perjuangan masyarakat Indonesia kususnya Tanah datar.  Dengan nilai yang dipunyainya maka tugu ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya yang wajib untuk dilindungi dan dilestarikan. Benda- benda peninggalana sejarah merupakan salah satu saksi  yang bisa menjadi informasi  mengenai peristiwa,  karena sangat berkaitan dengan aktifitas manusia pada masa lalu, tugu Kemerdekaan Cindua Mato  menyimpan sejarah  penting masyarakat tanah datar yang bisa diwariskan ke generasi selanjutnya, yang bertujuan meningkatkan jiwa nasionalisme, sebab manusia tanpa sejarah ibarat pohon tanpa akar dan negara yang besar adalah negara yang tidak melupakan sejarahnya (Bung Karno).

Tentara KNIL di Gedung Indo Jalito Tahun 1949 dan Tugu Kemerdekaan Cindua Mato (dalam lingkaran), Sumber KITLV Leiden Dokumen BPCB Sumbar