Dengan tindakan membangun di sini tidak hanya terbatas pada tindakan menyusun bagian-bagian menjadi struktur lebih besar, namun juga tindakan mengubah lansekap hingga karakter dasarnya tampil. Seperti yang kita lihat pada kedua bangunan surau, yakni Surau Gadang Syech Burhanudin dan Surau Calau, bagaimana serasinya vertikalitas yang menegaskan diri di tengah horisontalitas hamparan lahan yang menopanginya. Begitulah kira-kira gambaran pada saat kedua surau ini mulai dibangun.

Dalam sejarah pendidikan Islam di Minangkabau, Surau merupakan institusi yang tidak bisa dikesampingkan. Surau memainkan peranan yang sangat signifikan dalam menyebarkan keilmuan Islam jauh sebelum pendidikan modern yang berbasis Madrasah muncul. Dalam sejarah tercatat, tokoh-tokoh besar yang mempunyai pengaruh luas banyak lahir dari Surau. Mereka dididik dan dibesarkan dalam lingkungan Surau. Sebutlah beberapa nama seumpama Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang pernah menjadi Mufti mazhab Syafi’i dan Imam di Mesjid al-Haram Mekah, Syekh Thahir Jalaluddin yang menjadi Mufti di Pulau Penang Malaysia, Syekh Janan Thaib yang menjadi guru besar pula di Mekah al-Mukarramah, dan banyak lagi lainnya. Begitu pula tokoh-tokoh nasional yang berjasa dalam masa awal pembentukan Indonesia, semisal Agus Salim, Hamka, Hatta dan lainnya. Ketokohan mereka tidak dapat dilepaskan sepenuhnya dari Surau, atau boleh dikata pernah beroleh pendidikan di Surau.

Navis dalam Alam Takambang Jadi Guru memberikan gambaran bahwa surau pada mulanya hanya berfungsi sebagai tempat tinggal laki-laki duda dan bujangan. Lambat laun fungsinya menjurus sebagai tempat pendidikan Agama Islam, menjadi tempat mukim bagi siapa saja yang datang untuk belajar agama, sehingga ulama-ulama muda yang mendapat pendidikan dari sana disebut orang surau. Surau demikian tak ubahnya pesantren di Jawa. Surau yang tetap berfungsi seperti asalnya masih ada hingga kini.

Sebelum fungsi surau sempurna, surau menjadi milik suku tertentu di Minangkabau. Adapun karakter surau di masa itu sebagai:

  • tempat tinggal bagi anak-anak yang telah berusia lebih dari 6 tahun, para bujangan, duda, pelancong dan orang-orang tua.
  • tempat berembug mencari mufakat bagi kaum atau suku.
  • tempat berkumpul, berkomunikasi dan bertemunya anak kemenakan, ipar, besan dan bako.
  • tempat mensosialisasikan adat, sopan santun dan tata pergaulan.
  • tempat belajar silat.

Setelah mendapat pengaruh Islam yang kental, maka fungsi surau bertambah dengan:

  • tempat belajar mengaji dan sembahyang.
  • tempat ibadah sehari-hari.

Pada abad-abad yang lalu, surau disebut orang Belanda sebagai Indische Scholen (sekolah orang Melayu) atau Godstientscholen (sekolah agama). Hal ini mengisyaratkan betapa surau di masa-masa itu merupakan satu lembaga yang sangat maju dan dikenal luas, sampai orang-orang kompeni ambil bagian untuk menggambarkan aktifitas surau ini. kenyataan itu makin diperkuat dengan data-data yang diberikan Belanda yang menggambarkan betapa pesat pendidikan model surau di Minangkabau di masa lampau.

Demikian gambaran sebuah surau pada abad-abad yang lalu, dan gambaran tersebut saat ini dapat dilihat pada Surau Syech Burhanudin dan Surau Tinggi Calau, sebuah contoh surau yang telah dipugar oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya(BPCB) Batusangkar, dalam rangka menghidupkan kembali fungsi surau sebagaimana asalnya melalui tindakan menghidupkan secara fisik. Dengan adanya pemugaran tersebut, kedua surau ini yang tadinya tidak lagi berfungsi secara maksimal karena kondisinya telah rusak, sekarang menjadi hidup kembali.

 

SURAU GADANG SYECH BURHANUDIN  

Dengan Atap paling atas yang berbentuk gonjong menjulang tinggi, serta ditopang dua atap lainnya begitu menonjol tampilannya walaupun dikelilingi oleh bangunan beton lainnya di masing-masing penjuru mata air. Itulah Surau Syech Burhanudin atau yang dikenal dengan nama Surau Gadang Syech Burhanuddin yang terletak di Jorong Tanjung Medan, Kenagarian Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman. Surau ini diapit oleh bangunan masjid baru di sisi kirinya dan bangunan beton yang sedianya untuk pengganti Surau Syech Burhanudin yang sebelumnya sudah dalam kondisi hampir roboh. Saat ini Surau Syech Burhanudin sudah tampil kembali begitu gagah berkat adanya pemugaran yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Batusangkar pada tahun 2014 lalu, dan fungsi-fungsi sosial keagamaan tetap dapat berlangsung di surau ini.

Dalam riwayat sejarahnya, Burhanuddin Ulakan Pariaman atau dikenal dengan sebutan Syech Burhanudin Ulakan (lahir tahun 1646 di Sintuk, Kabupaten Padang Pariaman – meninggal 20 Juni 1704 pada umur 58 tahun) adalah ulama yang berpengaruh di daerah Minangkabau sekaligus ulama yang menyebarkan Islam di Kerajaan Pagaruyung. Selain itu ia terkenal sebagai pahlawan pergerakan Islam dalam melawan penjajahan VOC. Ia juga dikenal sebagai ulama sufi pengamal (Mursyid) Tarekat Sathariyah di daerah Minangkabau, Sumatera Barat.

Syech Burhanuddin lahir dengan nama Pono. Masa kecilnya belum banyak mengenal ajaran Islam, dikarenakan orang tua serta lingkungan masyarakatnya belum banyak mengenal ajaran tersebut. Menginjak usia dewasa, Syech Burhanudin mulai merantau dan meninggalkan tempat orang tuanya. Syekh Burhanudin pernah belajar di Aceh dan berguru kepada Syekh Abdur Rauf as-Singkili, seorang Mufti Kerajaan Aceh yang berpengaruh, yang pernah menjadi murid dan penganut setia ajaran Syech Ahmad al-Qusyasyi dari Madinah. Oleh Syech Ahmad keduanya diberi wewenang untuk menyebarkan agama Islam di daerahnya masing-masing.

burhanuddinBangunan Surau Gadang Syech Burhanuddin sebelum pemugaran (Dok. BPCB Batusangkar)

Setelah tiga puluh tahun menuntut ilmu di Aceh, Syech Burhanuddin kembali ke tempat asalnya, Minangkabau, untuk menyebarkan ajaran Islam di sini. Pada tahun 1680, ia kembali ke Ulakan dan mendirikan surau di Tanjung Medan yang terletak di kompleks seluas sekitar 4 hektar. Di sana, ia menyebarkan ajaran Islam sekaligus mengembangkan Tarekat Sathariyah.

Di surau inilah beberapa aktivitas keagamaan dan sosial dilakukan, seperti shalat lima waktu, belajar ilmu agama, musyawarah, berdakwah, termasuk berkesenian dan mempelajari ilmu bela diri. Surau ini kemudian berkembang pesat dan menjadi sebuah Pondok Pesantren.

burhanuddin 1Bangunan Surau Gadang Syech Burhanuddin setelah pemugaran (Dok. BPCB Batusangkar)

 

Karena menganut paham Shyatariah, Surau Syech Burhanuddin dikenal sebagai pusat Thareqat Satharyah. Di antara ulama yang belajar di surau ini adalah Tuanku Koto di Nagari Ampek Angkek Luhak Agam yang merupakan guru dari Tuanku Imam Bonjol.

Bangunan surau berdenah persegi terbuat dari kayu dan memiliki kolong setinggi 1,2 meter. Atap surau berbentuk tumpang tiga dari bahan seng, dimana atap ketiga berbentuk gonjong. Untuk memasuki surau, terdapat pintu utama di arah timur, melalui tiga anak tangga dari beton. Pintu memiliki dua buah daun pintu yang masing-masing lebarnya 1,4 meter dan tingginya 2 meter. Lantai dan dinding utama surau terbuat dari papan kayu yang telah beberapa kali mengalami pergantian. Begitupula tiang utama bangunan yang berjumlah 16 buah dan tiang pendukung sejumlah 26 buah, semuanya terbuat dari kayu. Tiang berdiri di atas umpak batu dengan bentuk sangat sederhana. Karena belum pernah diganti, keadaan tiang sudah mulai keropos dan memprihatinkan.

Surau memiliki 16 buah jendela, yakni lima di sebelah utara, dua di sebelah barat, lima di sebelah selatan, dan empat buah di sebelah timur. Plafon di bagian pinggir ruangan terbuat dari papan kayu, sedangkan di tengah ruangan terbuat dari anyaman daun kelapa yang berfungsi sebagai penampung kotoran burung. Di bagian dalam surau, tepatnya di sisi barat terdapat mihrab surau yang menjorok keluar. Mihrab berdenah persegi panjang dan memiliki tiga buah jendela di sisi barat. Kemudian pada sisi utara dan selatan disekat membentuk kamar, masing-masing berukuran 1,75 x 1,75 meter, dan memiliki sebuah pintu yang mengarah ke ruang mihrab.

Terdapat beberapa bangunan baru yang mengelilingi Surau Gadang Syekh Burhanudin. Bangunan baru tersebut yakni bangunan adat atau aula berbentuk persegi panjang dengan atap gonjong lima dari bahan seng terletak di halaman depan. Hal ini menggambarkan bahwa ulama berada di belakang memberi dorongan kepada adat atau masyarakat yang di depan dalam menghadapi berbagai permasalahan. Bangunan lainnya di antaranya adalah surau baru dengan bangunan dua lantai, bangunan madrasah, masjid di sebelah utara, dan madarasah serta kamar mandi di sebelah barat. Adapun di sebelah selatan terdapat rumah pengurus surau dan Panti Asuhan Lanjut Usia Tanjung Medan. Pemugaran surau pernah dilakukan pada tahun 1980/1981, yakni pembongkaran rangka atap, dinding mihrab, jendela, dan pintu, serta pemasangan kembali dengan bahan yang baru untuk komponen yang sudah keropos kecuali tiang bangunan. Namun surau tersebut kembali rusak dan seluruh tiangnya miring akibat gempa yang ditimbulkan tahun 2007.

Itulah kira-kira gambaran Surau Syech Burhanudin sebelum dilakukan pemugaran oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Batusangkar pada tahun 2014. Saat ini surau tersebut sudah berdiri tegak dan gagah, dan siap berfungsi kembali sebagai media aktifitas keagamaan di Minangkabau. Pemugaran tersebut dilakukan karena dilatarbelakangi keprihatinan BPCB Batusangkar melihat kondisi surau yang sudah tidak layak lagi untuk fungsi keagamaan, seperti tiang-tiangnya yang sudah miring serta kayu-kayunya yang sudah lapuk, sementara bangunan tersebut merupakan cagar budaya yang memiliki nilai sejarah yang tinggi.

SURAU TINGGI CALAU

Secara administratif, Surau Tinggi Calau terletak di Jorong Subarang Sukam, Nagari Muaro, Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat. Untuk sampai ke lokasi (aksesibilitas) dapat ditempuh dengan kendaraan roda dua atau lebih dan dari ibukota Kabupaten Sijunjung berjarak ± 2 km.

Surau ini berada di sebuah Kompleks surau yang dinamakan “Kompleks Kampung Calau”. Memasuki gerbang berjalan ± 10 m ke arah selatan akan terlihat sebuah papan nama bertuliskan “Situs Cagar Budaya Surau Tinggi Calau”. Sekilas tidak terllihat bahwa ini adalah sebuah bangunan ibadah, karena berbeda dengan bangunan surau atau masjid pada umumnya yang memiliki atap berbentuk limas atau tumpang atau beratap kubah, bangunan ini berbentuk rumah gadang dengan atap bergonjong 4 (empat).

burhanuddin 2Bangunan Surau Calau sebelum pemugaran (Dok. BPCB Batusangkar)

Surau Tinggi Calau merupakan bangunan dengan arsitektur tradisional Minangkabau seperti halnya rumah gadang, dengan bentuk bangunan yang ditinggikan dari tanah (memiliki kolong) dan atap gonjong. Seperti pada umumnya rumah gadang, bangunan ini dibuat dengan struktur dan konstruksi yang terbuat dari kayu kecuali atap yang dibuat dari seng, sandi yang dibuat dari batu berbentuk pipih yang berfungsi sebagai pondasi bangunan, dan tangga pada bagian serambi yang dibuat dari keramik. Pembagian ruang di dalam surau terbagi atas lanjar dan ruang yang ditandai oleh tiang. Lanjar adalah bagian antara deretan tiang depan dan belakang, sedangkan ruang adalah bagian antara tiang kiri dan kanan. Surau terdiri dari 3 ruang dan 3 lanjar. Surau ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat shalat, tapi juga berfungsi sebagai tempat belajar agama Islam dan tempat tinggal.

Denah bangunan berbentuk persegi panjang dengan ukuran 537,99 m x 964 m dengan luas lahan 13.015 m2. Bangunan berupa rumah panggung dengan ketinggian ± 1,28 m dari tanah dan dilengkapi dengan tangga dari keramik pada serambi. Bagian kaki bangunan merupakan komponen bangunan dari dasar sampai lantai papan yang meliputi : sandi, tonggak bagian bawah, sigitan, rasuak, jariau, kamban-kamban, dan lantai. Sandi berupa batu berbentuk pipih yang berfungsi sebagai pondasi bangunan.

Bangunan ini memiliki 7 buah jendela yang tersebar pada keempat sisi bangunan surau. Bagian dalam tubuh bangunan pada sisi barat terdapat mihrab berukuran 2,48 x 3,43 m. Atap bangunan berupa atap gonjong dari seng gelombang. Bangunan memiliki 6 gonjong dengan rincian 4 gonjong pada bangunan utama, 1 gonjong pada mihrab, dan 1 gonjong pada serambi. Bangunan ini ditopang oleh tiang yang berjumlah 20 buah dengan susunan lebarnya 5 buah tiang dan panjangnya 4 buah tiang. Masing-masing tiang dihubungkan dengan rasuak dan palanca yang berfungsi seperti slof dan ring balok. Lantai yang terbuat dari kayu ditopang oleh jariau yang masing-masing berjarak rata-rata 44 cm. Ujung-ujung jariau bertumpu pada sigitan yang berada di atas rasuak. Konstruksi rangka atap rumah gadang tidak memakai kuda-kuda. Kayu reng bertumpu pada kasau. Kasau yang ada langsung bertumpu pada paran. Bagian bubungan atap bertumpu pada tiang deretan tengah yang memanjang horizontal. Ragam hias dekoratif terlihat dari ukiran kayu pada beberapa bagian bangunan diantaranya : pada singok, diatas kunsen pintu, di atas dan di bawah kunsen jendela, dan di atas kamban-kamban.

Ukiran kayu umumnya bermotif flora, sulur-suluran, atau geometris. sisi barat mihrab Surau Tinggi Calau terdapat jalan dan Makam Syekh Abdul Wahab, yaitu pendiri dari surau ini. Di sisi timur merupakan Surau Baru. Di sisi selatan jalan dan rumah guru. Di sisi utara terdapat jalan setapak. Lingkungan surau seperti kompleks pesantren, sekarang kebanyakan dihuni oleh oleh orang tua yang sudah berusia lanjut.

Surau Tinggi Calau berada di sebuah kompleks perkampungan yang disebut Kompleks Kampung Calau. “Calau” berarti parit atau tanah yang digali, nama ini diberikan oleh Syekh Abdul Wahab untuk membatasi tanah ulayat kampung pada sisi utara dengan komplek kampung ‘Calau’ saat ini. Semenjak itu, kompleks perkampungan ini disebut komplek Kampung Calau karena memang komplek Kampung Calau ini dikelilingi oleh parit. Menurut informasi pengurus Kompleks Kampung Calau, surau yang sekarang merupakan surau yang telah dibangun ulang setelah surau yang sebelumnya dibakar pada waktu penjajahan Jepang. Pembangunan surau ini berlangsung secara bertahap, hal ini ditandai dari tulisan yang terdapat pada dinding dan lesplang bangunan. Pada lesplang sisi timur terdapat tulisan arab jawi “7 Muharram 1374 H” yang menandakan pembangunan atap. Pada dinding sisi selatan terdapat angka bertuliskan seperti gambar di bawah yang berarti 15 Rajab 1391 H menandai pemasangan dinding sisi selatan.

Pada tahun 1992 karena semakin banyaknya jemaah yang ingin beribadah, pintu surau ini diperlebar dari ukuran semula ditandai dari ukiran yang berada di atas pintu. Dan pada tahun 1992, tangga pada bagian serambi ini juga ditembok. Pada tahun 1995/1996 dibangun rumah guru (bangunan baru) di sisi selatan surau yang posisinya sangat dekat dengan dinding surau. Kemudian pada tahun 2000an, tangga pada bagian serambi ini di keramik. Dan pada tahun 2002, dibangun tempat berwudhu permanen dari bata dan semen di sisi timur bangunan.

Surau Tinggi Calau memegang peranan penting dalam perkembangan Agama Islam di Sijunjung. Ranji susunan syekh Surau Tinggi Calau masih dapat dilihat pada dinding sisi barat mihrab. Silsilah Tharekat Sathariah Calau dan daftar guru Calau dapat dilihat di dinding sisi selatan mihrab.

 

NASKAH KUNA SEBAGAI SUMBER ILMU

Surau, bagaimanapun keadaannya telah menjadi sarana pendidikan Islam terkemuka dan berperan besar dalam Islamisasi, melahirkan ulama-ulama besar di zamannya, hingga mencetak juru-juru dakwah profesional. Di masa keemasannya, surau mampu menjadi barometer sosial-masyarakat, apakah dalam usaha perjuangan masyarakat terhadap kompeni, penentuan ekonomi petani, pengajaran adat istiadat Minangkabau dan tentunya istimewa dalam bidang agama. Fungsi surau yang bukan sekedar pusat pendidikan Islam, membuat kedudukan surau menjadi sangat penting bagi masyarakat kala itu. Sehingga tidak heran, di masa keemasannya banyak sekali meninggalkan warisan berupa naskah-naskah yang sangat tak ternilai harganya. Seperti diketahui, Minangkabau dikenal sebagai salah satu wilayah di Nusantara yang menjadi ‘lumbung’ emas kekayaan manuskrip Islam Melayu Nusantara, berkat tradisi intelektual Islam masa lalu yang pernah mengalami masa keemasannya.

Surau Calau misalnya, di sini banyak dijumpai naskah-naskah kuna yang sangat langka yang dapat memperkaya khasanah pernaskahan nusantara. Sayangnya, tidak terlaluu diurus sehingga penyimpanannyapun hanya sekedarnya saja dionggokan dalam sebuah karung. Mungkin karena ketidak tahuannya dan tidak menyadari tentang isi naskah yang terkandung di dalamnya, betapa sangat beragamnya dan bernilainya ia. Terbukti bahwa dari 99 bundel manuskrip Islam di Surau Calau, sejumlah teks penting berbahasa Melayu Minang, yang beberapa di antaranya sangat lokal dan sulit dijumpai di wilayah lain yang berbeda konteksnya, ada di surau ini, seperti Nazam Ulakan, Silsilah Syattariyah Surau Tinggi di Calau, Ajaran Tuanku Abdurrahman al-Syattari, Hikayat Sijunjung, Kaji Tubuh, Syair Johan Perkasa Syah Alam dari Paninjauan, Surat Tuanku Pamansiangan, dan beberapa lainnya, di samping tentu saja teks-teks Melayu asal wilayah lain, terutama Aceh, yang menggambarkan kuatnya jaringan keilmuan Minangkabau dengan para ulama Aceh abad sebelumnya. Beberapa teks yang dijumpai dalam kategori ini antara lain Syair Dagang karya Hamzah Fansuri, Jawhar al-Haqa’iq karya Syamsuddin al-Sumatra’i, Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Tariq al-Qusyasyi karya Abdurrauf ibn ‘Ali al-Jawi al-Fansuri, dan beberapa lainnya (Oman Fathurahman: Manuskrip dan Penguatan Kajian Islam Asia Tenggara, 2015).

Demikianlah kondisi naskah-naskah kuna yang ada di Surau Calau yang sejatinya dapat memberikan kontribusi terhadap upaya rekonstruksi sejarah sosial intelektual Islam yang pernah berkembang pada masa lalu, yang kemudian diharapkan pula dapat mengetahui karakter asal Muslim di wilayah ini, sebagai cermin untuk membangun peradaban Islam Indonesia.

 

PEMUGARAN           

Pada dasarnya pemugaran bangunan cagar budaya yang rusak dilakukan untuk mengembalikan kondisi fisik dengan cara memperbaiki, memperkuat, dan/atau mengawetkannya melalui pekerjaan rehabilitasi, dan restorasi, yakni dengan tetap mempertahankan bahan aslinya yang masih layak dipakai.

burhanuddin pugarPemugaran Surau Gadang Syech Burhanuddin (Dok. BPCB Batusangkar)

Sementara untuk bahan yang telah mengalami pelapukan dan tidak mungkin dipertahankan, diganti dengan bahan baru yang sejenis atau kualitasnya sama dengan bahan yang lama. Proses rehabilitasi hampir dilakukan pada seluruh bagian bangunan, dari mulai bagian balok-balok penyangga, lantai, dinding, dan ornamen lainnya, hingga bagian atap.

               Sebagaimana yang tertuang dalam amanat Undang-Undang Cagar Budaya, bahwa pemugaran harus memperhatikan:

  1. Keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya, dan/atau teknologi pengerjaan;
  2. Kondisi semula dengan tingkat perubahan sekecil mungkin;
  3. Penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak bersifat merusak;
  4. Kompetensi pelaksana di bidang pemugaran.

Mengacu pada amanat undang-undang tersebut, apa yang dilakukan pada pemugaran Surau Gadang Syech Burhanudin maupun pada Surau Tinggi Calau ini telah memenuhi prosedur yang telah ditentukan.

burhanuddin 3Pemugaran Surau Gadang Syech Burhanuddin (Dok. BPCB Batusangkar)

Rekomendasi pengawas tekno arkeologi yang dikomandoi oleh Teguh Hidayat telah dilaksanakan sesuai aturan yang berlaku, seperti dalam pemilihan bahan yang sejenis dan pekerjaan finishing. Secara teknis, seluruh pekerjaan pemugaran di objek bangunannya telah selesai dan sesuai dengan perencanaan, dengan mengedepankan prinsip-prinsip arkeologis. Secara arkeologis, pekerjaan pemugaran tersebut semaksimal mungkin mempertahankan bahan, bentuk, serta tata letak sebagaimana aslinya.

Kegiatan pemugaran cagar budaya merupakan pekerjaan yang bersifat spesifik, karena berkaitan dengan nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, maka pelaksanaan pemugaran harus mengikuti prosedur yang benar. Cagar budaya yang diusulkan untuk dipugar dilakukan penelitian dalam bentuk studi kelayakan dan studi teknis. Keluaran dari studi kelayakan adalah layak tidaknya cagar budaya tersebut dipugar setelah mengkaji data arkeologis, historis dan teknis. Sedangkan keluaran dari studi teknis adalah penetapan tata cara dan teknik pelaksanaan pemugaran setelah mengkaji aspek pemulihan arsitektur dan perbaikan struktur.

Tahapan kegiatan dalam rangka menetapkan detail tata cara dan teknik pelaksanaan pemugaran berdasarkan penilaian atas setiap perubahan atau kerusakan yang terjadi pada cagar budaya dan cara penanganannya melalui pendekatan sebab dan akibat. Tahapannya meliputi pengumpulan data lapangan dan data pustaka. Data yang diperoleh meliputi data arsitektural, struktural dan keterawatan dan lingkungan.

Sekarang pekerjaan pemugaran Surau Syech Burhanudin dan Surau Tinggi Calau sudah selesai dan masayarakat mulai merasakan manfaatnya, fungsi surau sebagai aktifitas keagamaan mulai berjalan normal, bahkan semakin ramai untuk solat berjamaah, tempat mengaji, serta ritual suluk yang didatangi dari penjuru nagari. Sebagai rasa syukur, masyarakat mengadakan makan bajamba bersama-sama dengan beberapa karyawan BPCB Batusangkar, sebagaimana dulu saat surau ini dibuat pertamakalinya. Drs. Teguh Hidayat,M.Hum

Diolah dari berbagai sumber

Penyusun merupakan arkeolog di Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau. Sekarang menjabat Kepala Seksi Pelindungan, Pengembangan dan Pemanfaatan