Tentara Jepang memasuki kota Padang pada 17 Maret 1942. Masuknya Jepang ke Sumbar hampir berbarengan dengan pergerakan mereka di berbagai daerah Sumatera lainnya. Pemerintah Hindia Belanda mulai secara bertahap dievakuasi dengan kapal ke Australia. Situasi yang semakin membuat panik, orang-orang Belanda tidak peduli lagi dengan siapa kecuali masing-masing ingin menyelamatkan dirinya. Dengan cepat, mereka menyapu kantong-kantong pasukan Belanda. Di Padang sendiri, Jepang tak menemui perlawanan berarti dari Belanda. Sepuluh hari kemudian komandan militer Hindia Belanda di Sumatera menyerah tanpa syarat.[1] Setelah penyerahan daerah kekuasaan, komando militer langsung ditempatkan Kolonel Fujiyama di Bukittinggi. Awalnya masyarakat Padang sempat ikut panik, seperti halnya orang-orang Belanda. Tapi dengan propaganda 3A (Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia dan Jepang Cahaya Asia, rakyat balik menyambut Jepang.
Rumah Ema Idham pernah dipergunakan untuk penginapan Soekarno saat Ketika Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, saat itu Soekarno yang ditahan Belanda di Bengkulu diungsikan Belanda ke Kota Cane (Aceh). Namun ketika rombongan pasukan Belanda baru sampai di Painan, tentara Jepang sudah sampai di Bukittinggi. Belanda mengubah rencana semula dengan mengungsikan Soekarno ke Barus dan meninggalkan Soekarno di Painan. Saat itu, Hizbul Wathan yang bermarkas di Masjid Raya Ganting menjemput Soekarno di Painan untuk dibawa ke Padang dengan mengunakan pedati.[2] Jepang butuh peran Soekarno yang masih berada di Padang usai pengasingan oleh Belanda. Kolonel Fujiyama dan Soekarno bisa mencapai kesepakatan dengan beberapa syarat, seperti yang tertuang dalam buku “Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan”.[3]
Dalam buku yang ditulis oleh Mestika Zed, Emizal Amri dan Edmihardi tersebut, dikatakan, Bung Karno dan isterinya disuruh jalan kaki melewati hutan dari Bengkulu ke Padang, agar tak diketahui oleh pihak Jepang. Jika telah sampai di Padang, Sukarno hendak dibawa ke Australia oleh pihak Belanda. Namun, pada saat itu pertengahan bulan Februari 1942, pihak Belanda mendapat kenyataan Jepang telah menguasai Padang. Akhirnya Belanda tak jadi dibawa, karena pejabat dan tentara Belanda lebih memilih menyelamatkan diri masing-masing. “Kapal terakhir yang ada di Teluk Bayur dapat berangkat, namun tak sampai di tujuan karena dekat perairan Pulau Enggano, karam diterjang meriam Jepang,” jelas Mestika. Kegagalan Belanda membawa Sukarno ka Australia, menjadi penyebab Sukarno terdampar di Padang hingga 5 bulan berikutnya.[4]
Saat situasi chaos inilah, Soekarno dan keluarga tinggal bersama di rumah Egon Hakim.[5] Egon Hakim adalah anak Dr, Abdul Hakim (Nasution), mantan Wakil Wali Kota (Loco Burgemeester) Padang (1931-1938) dan anggota senior (Wethouder) dewan kota (Gemeenteraad) Padang (1938-1942). Soekarno dan Egon Hakim sudah lama saling kenal. Egon Hakim juga adalah menantu MH Thamrin, mantan Wakil Wali Kota (Loco Burgemeester) Batavia. Egon Hakim menempuh pendidikan sekolah menengah (SMA) di Belanda.[6] Pada jelang berakhirnya era kolonial, Dr. Abdul Hakim dan Mr. Egon Hakim (ayah dan anak) adalah dua tokoh paling berpengaruh di Kota Padang. Dr, Abdul Hakim sebagai anggota senior (Wethouder) dewan kota (gemeenteraad) dan Egon Hakim sebagai advokat. Ketika Ir. Soekarno dan keluarga dari Bengkulu di Padang (saat situasi chaos) tinggal dengan keluarga advokat (Mr. Egon Hakim). Soekarno dan keluarga hanya aman dan nyaman bersama keluarga Egon Hakim (selain Soekarno dan Egon Hakim sudah sejak lama saling kenal, posisi Egon Hakim di Padang sangat kuat, apalagi ayahnya adalah wethouder dan loco-burgemeester). Bangunan rumah tinggal ini pernah dipergunakan sebagai rumah tinggal sementara oleh Bung Karno selama tiga bulan sekitar tahun 1942. Saat itu Bung Karno dari Bengkulu akan dibuang ke luar Indonesia, ketika kapal yang akan membawa Bung Karno rusak, maka perjalanan dari Bengkulu ke Padang dilakukan melalui jalan darat. Beliau singgah di Padang selama tiga bulan dan menempati rumah ini, selama tinggal di rumah ini dipergunakan untuk meng-himpun kekuatan melawan penjajah.[7] Dalam Sejarah Perjuangan Kemerdekaan 1945-1949 di Kota Padang dan Sekitar karya Mestika Zed, Emizal Amri dan Edmihardi, dijelaskan sesampainya di Padang, Sukarno bersama Inggit, awalnya menginap di rumah Egon Hakim. Kemudian mereka pindah ke rumah kawan lama orang Manado, Waworuntu. Keberadaan Sukarno segera diketahui intel Jepang. Dikirimlah beberapa orang untuk menemui Sukarno, salah satunya, Kapten Sakaguci, perwira Sendenbu (Departemen Propaganda) Jepang.[8]
Bangunan tempat tingal soekarno tersebut sudah masuk dalam bangunan cagar budaya. Bangunan ini berupa rumah hunian dengan gaya lokal. Denah bangunan ini berbentuk persegi panjang dengan ukuran panjang dengan luas bangunan 290 m². Hampir keseluruhan bangunan ini terbuat dari cor semen, namun beberapa bagian rumah terbuat dari kayu, seperti tiang serambi, kerangka atap, jendela, pintu. Atap bangunan terbuat dari seng dengan bentuk atap limas.[9] Ukuran (luas) Situs yaitu Bangunan 290 m² dan luas Lahan 40 m x20 m (800 m²) dengan Nomor Inventaris 33/BCB-TB/A/01/2007 yang beramat di jalan Ahmad Yani No. 12 Kelurahan Padang Pasir Kecamatan Padang Barat Kota Padang.[10](AR/HI/Ed)
[1] Gusti Asnan, Pemerintahan Sumatera Barat dari VOC hingga Reformasi, (Yogyakarta: Citra Pustaka, 2006) hlm 114-115
[2] https://kumparan.com/langkanid/masjid-raya-ganting-saksi-bisu-bencana-hingga-jejak-soekarno-di-padang
[3] Slamet Muljana, “Kesadaran nasional: dari kolonialisme sampai kemerdekaan, Volume 2 (Yogyakarta: LKiS, 2008)
Lihat juga https://news.okezone.com/read/2015/03/17/340/1120129/pendudukan-jepang-di-padang-peran-soekarno
[4] http://www.news.ranahweb.com/news.php?id_news=372/Berita/view/112-Tahun-Sukarno,-Ini-Kisahnya-5-Bulan-Menetap-di-Padang&kategori=Berita#.W9lWS9IzbDc
[5] De Telegraaf, 21-03-1966
[6] De Gooi- en Eemlander: nieuws- en advertentieblad, 05-07-1924
[7] Tim Penyusun. Pendataan Ulang Bangunan Kolonial Di Kotamadya Padang Dalam Rangka Pencagarbudayaan. Laporan. Suaka peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Sumatera Barat dan Riau. 1999/2000. Hlm 48
[8] https://historia.id/politik/articles/lima-bulan-sukarno-di-padang-6kRx2
[9] Nurmatias Zakaria dan Budiyono. “Pendataan Ulang Bangunan Kolonial di Kotamadya Padang Dalam Rangka Pencagar Budayaan” Laporan. Batusangkar : Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Batusangkar, 2000. hlm. 11.
[10] Laporan “ Daftar Pemutakhiran Data Cagar Budaya Kota Padang” (Batusangkar : BPCB Sumatera Barat, 2017) hlm 62-65