Prasasti Ombilin
Ole Nurmatias
Pernah kita mendengar bait sebuah lagu qosidah yang populer waktu kita belajar mengaji, Belajar diwaktu kecil ibarat mengukir di atas batu, sedangkan belajar diwaktu besar bagaikan penulis di atas air. Dalam peninggalan cagar budaya ini terbukti berapa banyak tinggalan zaman prasejarah dan Hindu Budha yang dipahatkan diatas batu bisa kita temui sampai sekarang. Menhir (batu Tegak) dan Prasasti yang dibuat dengan media batu masih bisa kita temukan secara utuh saat ini. Berbeda dengan temuan Arkeologi yang terbuat dari kertas, pelepah pohon atau kulit kayu cepat rusak dan hilang dibandingkan dengan cagar budaya terbuat dari batu. Dalam sejarah peradapan masyarakat kita tidak menemukan aksara Minangkabau secara lengkap, meskipun ada yang mempunyai hipotesa bahwa aksara Minangkabau pernah ditemukan di Sulit Aie dan data tersebut bisa dilihat di Museum Adityawarman. Berdasarkan kajian dan penelitian di Balai Pelestarian Nilai Budaya Sumatera Barat dalam pengusulan aksara Ka Ga Nga menjadi Warisan Budaya Nasional ditemukan aksara tersebut di perbatasan Sumatera Barat dan Bengkulu sebagai bentuk aksara Minangkabau. Melihat data dan fakta yang ada hanya tiga daerah di Pulau Sumatera ini yang tidak punya aksara yaitu Riau, Aceh dan Minangkabau. Apakah karena kita sudah mampan dengan aksara arab gundul yang dipakai dalam penulisan naskah di tiga daerah tersebut. Daerah Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Jambi (Kerinci) dan Batak punya aksara dengan nama-nama yang berbeda. Melihat data dan fakta bahwa daerah Minangkabau punyai aksara sendiri ini bisa kita lihat dalam prasasti dan naskah kuno Tanjung Tanah Kerinci yang secara budaya lebih dekat dengan Minangkabau memuat aksara yang berbeda dengan aksara Jawa Kuno dan bahasa Sansekerta.
Daerah Minangkabau mengenal tulisan pada awal abad ke 12 Masehi dengan tinggalan Prasasti Amoghapasa, dan Prasasti Rambahan. Ada 20 prasasti yang ditemukan di daerah Minangkabau (Sumatera Barat). Salah satu prasasti tersebut adalah Prasasti Ombilin. Prasasti Ombilin terbuat dari batuan andesit warna coklat kehitaman. Sayangnya batu tersebut telah pecah dan bagian atasnya telah hilang. Prasasti Ombilin dipahat dengan menggunakan huruf Jawa Kuna dan berbahasa Sansekerta bercampur Melayu Kuna. Prasasti Ombilin terdiri dari 19 baris tulisan yang tersisa dengan menggunakan huruf Jawa Kuna dan bahasa Sanskrta bercampur Melayu Kuna. Menurut Casparis, prasasti ini merupakan 4 buah sloka, 2 sloka ( sebuah bait yang aslinya terdapat dalam bahasa Sanskerta). Bait ini khususnya terdiri dari 2 baris berbentuk sardula (inti) dan 2 sloka lainnya berbentuk malini (sampiran). Isi prasasti antara lain berupa penghormatan kepada Adityawarman yang pandai membedakan dharma dan adharma, ia punya sifat sebagai matahari yang membakar orang jahat, tetapi menolong orang baik. Salah satu bait prasastinya mencantumkan kalimat : nahi nahi nrpa wangsa wangsa widya narendra : ia bukan keturunan bangsawan, tetapi dapat berlaku atau mengetahui tingkah laku seorang raja. Pada sisi samping prasasti terdapat tulisan swahasta likhitam yang berarti ditulis oleh tangan sendiri. Maksud kalimat tersebut tentu saja bukan Adityawarman yang menulis prasasti tersebut, tetapi dia hanya menuliskan draft, sedangkan yang memahat tulisan Adityawarman pada sebuah batu dilakukan oleh orang lain, yaitu citralekha (penulis/tukang pahat prasasti). Adapun Casparis dengan hasil pembacaannya mengatakan bahwa dengan tulisan tersebut Raja Adityawarman berarti pandai dalam bahasa Sansekrta. Prasasti ombilin ditulis olah Adityawarman sendiri, yang pada waktu itu belum menjadi raja, melainkan sebagai wreddhamantri (dari kerajaan Majapahit). Jika penulisnya bukan Adityawarman, maka tentu seseorang dari pariwara atau pengiringnya. Isi prasasti antara lain berupa penghormatan kepada Adityawarman yang pandai membedakan dharma dan adharma, ia punya sifat sebagai matahari yang membakar orang jahat, tetapi menolong orang baik.
Berdasarkan interprestasi penulis dan kajian budaya kita bisa melihat dinamika dan harmonisasi masyarakat zaman dahulu lewat temuan prasasti atau bahasa yang dalam prasasti. Tidak serta merta masyarakat menerima semua anasir budaya yang masuk kedalam masayarakat tapi mereka,memakai satu instrumen yang dipakai dalam menyaring budaya yang masuk tersebut. Dalam Prasasti Ombilin ini kita bisa melihat ada perbedaan bahasanya, dalam prasasti ini ada perpaduan bahasa Sansekerta dan Melayu Kuno. Melihat perpaduan bahasa dalam prasasti ini dapat ditarik kesimpulan bahwa prasasti yang ada sudah terjadi percampuran budaya (akulturasi) dengan budaya setempat. Local wisdom atau lokal genius (kearifan lokal) sudah terjadi pada masyarakat Minangkabau pada masa Hindu –Budha. Dari aspek budaya tidak semua kebudayaan baru ini ditiru atau dipakai secara utuh oleh masyarakat Minangkabau ini terbukti dengan ada campuran bahasa Sansekerta dengan Melayu Kuno. Mereka menyaringan atau memfilter semua budaya yang masuk sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakatnya. Ini bisa kita buktikan dalam aspek aksara dan bahasa yang dipakai masyarakat zaman Adityawarman berdasarkan kajian prasasti dan bahasa yang tertulis dalam batu basurek (prasasti). Proses perpindahan Raja Adityawarman dari Damasraya ke perdalaman Sumatera Barat atau Tanah Datar melihat temuan arkeologi ada dua rute. Rute pertama melalui daerah Damasraya ke Padang Sibusuk terus ke Solok, Ombilin terus ke Rambatan dan berakhir di Pagaruyung atau Batusangkar. Jalur kedua dari Damasraya ke Tanjung Ampalu, terus ke Saruaso dan berakhir ke Pagaruyung (Batu Sangkar). Analisa ini berasal dari temuan arkeologi dan prasasti yang ditemui disepanjang rute yang disebutkan dalam kalimat sebelumnya. Dengan temuan prasasti bahwa masyarakat sudah memuliai zaman sejarah karena perbeda masa prasejarah dan sejarah adlah ditemukan tulisan. Dengan temuan Batu Basurek (Prasasti) terbuka cakrawala baru dalam masyarakat Minangkabau. Wassalam