Pengaruh bangsa Belanda mulai masuk ke daerah Sumatera Barat sekitar akhir abad ke-17. Belanda pada masa itu hanya menguasai beberapa pelabuhan pantai terutama di masa VOC. Bangsa Belanda mulai benar-benar menguasai Sumatera Barat pada tahun 1830-an. Tujuan Bangsa Belanda ke Daerah Sumatera Barat karena daerah Sumatera Barat pada masa itu merupakan penghasil kopi, karet, kopra dan juga rempah-rempah.

Pada masa pemerintahan Belanda, Pelabuhan Pariaman merupakan pintu masuk kapal-kapal asing untuk mendapatkan emas dan rempah-rempah yang dikumpulkan di daerah-daerah pedalaman Pariaman.

Bangsa Belanda tidak hanya mengeruk kekayaan yang ada di daerah Sumatera Barat pada saat itu tetapi Belanda juga membangun sarana perkeretaapian. Tujuan pembangunan sarana perkeretaapian pada awalnya berfungsi sebagai alat transportasi untuk mengangkut Batubara dari daerah Ombilin. Di Kota Padangpariaman juga dibangun jalur kereta api Lubuk Alung Pariaman-Naras-Sungai Limau dengan panjang sekitar 34,9 KM.

Ketika Jepang mulai berkuasa di Sumatera Barat tahun 1942, pada awal pendudukannya kekuatan mereka masih sangat lemah. Namun, dalam  rentang waktu sekitar tiga tahun yaitu dari tahun 1942 sampai 1945 sangat dirasakan oleh masyarakat Sumatera Barat pemerintahan Jepang yang sangat keras.

Di Kota Priaman, bukti bangsa Belanda dan Jepang pernah menduduki Kota Pariaman dapat dilihat dari peninggalan-peninggalan kedua bangsa ini yang masih terdapat di Kota Pariaman. Bangsa Belanda meninggalkan bangunan-bangunan, baik bangunan perkantoran maupun bangunan rumah. Bangunan-bangunan kolonial Bangsa Belanda terletak di pusat kota di jalan M. Syafei. Adapun Jepang meninggalkan bangunan berupa benteng-benteng pertahanan yang dipergunakan sebagai tempat menyimpan amunisi, tempat pertahanan, dan pengintaian. Benteng pertahanan ini tersebar di seluruh kecamatan bahkan sampai ke pelosok desa.

Sebagai kota pelabuhan, di Pariaman berdomisili beberapa etnis yang mempengaruhi perkembangan Kota Pariaman pada masa lalu, yaitu etnis Cina, keling dan pribumi/Minang. Etnis Cina dan Keling menguasai perdagangan pada masa pemerintahan Belanda. Sampai sekarang masih terdapat perkampungan Cina dan Keling. Pemberian nama Kampung Cina tersebut, karena dulu di daerah  ini didominasi oleh warga keturunan Cina. Adapun Kampung Keling dulunya merupakan kampung warga keturunan keling. Namun di Kota Pariaman semenjk terjadinya pergolakan antara warga keturunan Cina dan warga pribumi sekitar tahun 1944.

Kota Pariaman sangat kaya akan peninggalan cagar budaya seperti peninggalan masa kolonial yang terdiri dari bengunan perkantoran dan rumah pribadi, bangunan benteng jepang yang tersebar hampir di setiap kecamatan, bangunan masjid kuno, dan makam tokoh Islam.

Bangunan-bangunan yang berarsitek kolonial di Kota Pariaman sebagian besar sudah berubah dari segi arsiteknya. Hal ini karena sebagian besar bangunan ini terletak di pusat kota, yang mana saat itu Kota Pariaman sedang mengalami perkembangan akibat dari perubahan.

Peninggalan casgar budaya yang sangat beragam ini dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota setempat sebagai tujuan wisata. Di Kota Pariaman sendiri terdapat beberapa lokasi yang bisa dimanfaatkan dan dikembangkan sebagai tujuan wisata seperti: sepanjang Jalan St. Alamsyah terdapat bangunan-bangunan tua yang arsiteknya merupakan perpaduan antara arsitektur tradisional dan Cina yang terbuat dari bahan kayu. Bangunan ini merupakan peninggalan keturunan cina. Lokasi tersebut bisa dikembangkan sebagai daerah wisata dengan mengembalikan ke fungsi semula sebagai daerah Pecinan masa lalu. Bangunan-bangunan yang masih asli bisa difungsikan sebagai penginapan (home stay).

Ada juga Bekas Stasiun Kereta Api bisa dimanfaatkan untuk kepentingan kereta wisata dengan mengaktifkan kembali Stasiun Kereta Api Naras dan Stasiun Kereta Api kota, karena letak stasiun kereta api kota sangat strategis, yaitu berada di depan pantai.

Tak hanya itu, benteng-benteng jepang yang cukup banyak terdapat di Kota Pariaman bisa dijadikan objek Wisata. Apalagi banyak Benteng Jepang yang terletak di daerah Kampung Keling berambung dengan benteng yang terletak di depan Pantai Cermin sampai ke benteng di daerah Karan Aur. Hal ini ditandai dengan tembok dinding pembatas yang bersambung. Lokasi ini dapat direvitalisasi dengan cara memperbaiki dan menyambung kembali termbok pembatas yang sudah hancur. Kemudian sepanjang lokasi ini dapat dibuat jalan setapak yang menghubungkan antara ketiga lokasi tersebut. Adapun Pantai Cermin dapat ditanami pohon-pohon pelindung yang bisa berfungsi sebagai tempat berteduh para pengunjung