Pemangku Kepentingan dalam Pelestarian Cagar Budaya
Kesadaran akan pentingnya pengelolaan dan pelestarian warisan budaya kini sudah semakin tinggi. Bahkan, banyak di antara pecinta dan pemerhati warisan budaya yang berkeyakinan bahwa sumber daya budaya itu tidak saja merupakan warisan, tetapi lebih dari itu yakni sebagai pusaka bagi bangsa Indonesia. Artinya, sumber daya budaya itu mempunyai kekuatan yang dapat dimanfaatkan untuk membantu dan melindungi bangsa ini dalam menapaki jalan ke masa depan. Sebagai pusaka, warisan budaya itu harus tetap di jaga agar kekuatannya tidak hilang dan dapat diwariskan kepada generasi penerus tanpa berkurang nilainya.
Pentingnya pengelolaan dan pelestarian warisan budaya ini tidak terlepas dari keberadaan pemangku kepentingan (stakeholder). Pemangku kepentingan itu sendiri merupakan pihak-pihak dari dalam dan luar yang berkepentingan dan berpengaruh terhadap kinerja, keberadaan dan keberlangsungan pengelolaan dan pelestarian warisan budaya tersebut. Pada prakteknya, hal ini bisa menjadi perdebatan bagi masing-masing stakeholder karena latar belakang pengetahuan dan kepentingan yang berbeda. Misalnya, kendala apabila si pemilik atau pemerintah akan melakukan upaya perbaikan, pengembangan, dan kepentingan lainnya. Perbedaan sudut pandang di antara para stakeholder justru akan menjauhkan masing-masing pemangku kepentingan dari tujuan sebenarnya yaitu pelestarian warisan budaya. Hal ini akan berdampak buruk bagi warisan budaya bangsa ke depan. Berkurangnya jumlah warisan budaya perlahan-lahan tentu akan berdampak tidak baik bagi bangsa terutama dalam rangka membentuk karakter dan menguatkan jati diri bangsa. Setidaknya, dua modal penting yang harus dimiliki oleh masing-masing stakeholder dalam pelestarian warisan budaya bangsa, yaitu tanggung jawab dan komitmen yang melekat pada hak dan kewajiban setiap stakeholder. Disinilah letak permasalahan terbesar dalam pelestarian warisan budaya.
Keterlibatan masyarakat dalam pelestarian warian budaya sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya menjadi keharusan dan diharapkan menjadi energi baru dalam pelestarian warisan budaya yang selama ini ‘didominasi’ oleh pemerintah. Hal ini menjadi tantangan bagi pegiat pelestarian warisan budaya maupun pemerintah untuk memperjelas pengaturannya.
Salah-satu warisan budaya yang ada yakni di Kota Sawahlunto Provinsi Sumatera Barat. Sejak dibangun akhir abad 19 hingga sekarang Kota Sawahlunto tetap mempertahankan identitasnya sebagai Kota Tambang dengan berbagai sarana dan prasarana yang masih menunjukkan keasliannya. Kota Sawahlunto memiliki berbagai sarana dan prasarana yang sangat lengkap dan luar biasa mulai dari terowongan tambang, drainase kota, pabrik pengolahan, jalur kereta api, gedung dan kantor perusahaan tambang batubara. Sejak masa Belanda Kota Lama Sawahlunto terbagi menjadi 5 (lima) kawasan, yaitu; Kawasan industri perusahaan tambang, kawasan komersial, kawasan permukiman tambang, kawasan administrasi pemerintahan, dan kawasan rumah sakit. Semua itu masih tertata dengan baik dan masih bertahan hingga saat ini.
Kota lama tambang batubara Sawahlunto dibangun dalam rangka memenuhi kebutuhan aktivitas pertambangan dengan berbagai fasilitas pendukung seperti terowongan tambang, tempat penyaringan batubara, jalur kereta api, gedung pemerintahan dan perusahaan tambang batubara.
Penanganan yang telah dilakukan seperti di pasar remaja (salah satu area komersil) yang semula ada beberapa perubahan pada fasade/ tampak depan pertokoan. Pemerintah kota Sawahlunto melakukan pendekatan sosial dengan memberi bantuan dana dan perencanaan untuk mengembalikan ke bentuk aslinya.
Kondisi kota yang berada di dasar lembah dan di kelilingi perbukitan, dengan lahan yang sempit dan pertumbuhan penduduk sehingga membutuhkan ruang yang lebih untuk perumahan dan kebutuhan ruang publik. Dengan keadaan ini terjadi penambahan ruang pada bangunan yang ada dan pemanfataan beberapa kawasan sebagai ruang publik. Pemerintah kota merencanakan akan membuatkan perencanaan penambahan ruang pada perumahan dengan memanfaatkan ruang dibawah atap (meizanin) sebagai ruang tambahan pada rumah masyarakat.
Secara umum bangunan yang berada dalam kawasan Kota Lama Sawahlunto ini berada dipusat Kota Lama Sawahlunto, di koridor Kota Lama Sawahlunto dan di pinggiran pusat Kota Lama Sawahlunto. Secara umum bangunan-bangunan tersebut masih terpelihara dengan baik. Selain bangunan warisan, Kota Sawahlunto juga masih mempunyai jalan-jalan, sungai, lapangan dan taman bersejarah yang masih bertahan hingga saat ini.
Banyak yang tidak menyadari bahwa antara kebudayaan dan lingkungan fisik yang menjadi tempat tinggalnya membentuk sebuah hubungan simbiosis yang saling mempengaruhi. Bentuk rumah, bahan-bahan yang dipakai, lapangan bola voli, atau lokasi masjid merupakan cara masyarakat membagi ruang dalam pemukiman mereka. Pembagian ini bukan sekedar dibuat berdasarkan atas hak pemilikan tanah, melainkan juga nilai-nilai budaya yang mereka anut. Misalnya lokasi-lokasi yang dianggap sakral seperti makam atau rumah ibadat, lokasi-lokasi yang dianggap kurang baik atau sebaliknya yang dianggap baik. Nilai-nilai ini melekat dalam ingatan kolektif masyarakat yang diperoleh secara turun temurun melalui tradisi lisan (cerita, mitos, legenda), tertulis (naskah keluarga), atau nama-nama tempat (toponimi). Dengan kata lain, masyarakat yang dipengaruhi oleh tradisi tersebut akan memiliki peta virtual wilayah tempat tringgalnya sebagai bagian dari sistem pengetahuan mereka. Dengan demikian memang para pemangku kepentingan memiliki peran vital dalam melestarikan cagar budaya, seperti halnya yang telah dilakukan dalam kawasan cagar budaya Kota Sawahlunto.