Pelestarian Cagar Budaya di Daerah Otonom

Oleh: Teguh Hidayat *)

 

Pengantar

Cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sehingga perlu dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Cagar budaya berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan perlu dikelola oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan meningkatkan peran serta masyarakat untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya. Mengingat adanya perubahan paradigma pelestarian cagar budaya, diperlukan keseimbangan aspek ideologis, akademis, ekologis, dan ekonomis guna meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dalam kaitannya dengan otonomi daerah, pengelolaan cagar budaya menempati paradigma baru karena memberi peluang sebesar besarnya kepada daerah untuk mengelola potensi budaya daerahnya sendiri. Namun demikian tidak mudah melakukan hal tersebut bagi daerah karena kurangnya acuan teknis dan lemahnya sumber daya manusia sebagai pengelola.

 

Pengertian Cagar Budaya

Beberapa istilah yang berhubungan dengan Cagar Budaya berdasarkan UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya :

  1. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria :
  2. Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
  3. Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;
  4. Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan,pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan
  5. Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa
  6. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.
  7. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.
  8. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.
  9. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.
  10. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

 

Dasar Hukum dan Paradigma

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budayatelah berhasil disempurnakan dengan Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Di dalam undang-undang ini terdapat banyak hal yang baru dan berbeda dengan undang-undang lama, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Secara filosofis, tidak hanya terbatas pada benda tetapi juga meliputi bangunan, struktur, situs, dan kawasan cagar budaya yang di darat dan/atau di air. Satuan atau gugusan cagar budaya itu perlu dilestarikan karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Secara sosiologis, undang-undang ini mencakup kepemilikan, penguasaan, pengalihan, kompensasi, dan insentif. Secara yuridis, undang-undang ini mengatur hal-hal yang terkait dengan pelestarian yang meliputi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Di dalamnya juga tercantum tugas dan wewenang para pemangku kepentingan serta ketentuan pidana.

Di dalam praktik hukum, tentu undang-undang ini belum cukup operasional di lapangan karena masih diperlukan petunjuk pelaksanaan dan/atau petunjuk teknis untuk pelaksanaannya. Regulasi yang berada di bawah undang-undang, baik peraturan pemerintah maupun keputusan presiden hingga keputusan menteri sangat diperlukan segera mengingat dinamika perubahan cagar budaya di kalangan masyarakat sangat cepat.

Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Sifat ini menyebabkan jumlahnya cenderung berkurang sebagai akibat dari pemanfaatan yang tidak memperhatikan upaya pelindungannya, walaupun batas usia 50 tahun sebagai titik tolak penetapan status “kepurbakalaan” objek secara bertahap menempatkan benda, bangunan, atau struktur lama menjadi cagar budaya baru. Warisan yang lebih tua, karena tidak bisa digantikan dengan yang baru, akan terus berukurang tanpa dapat dicegah.

Dalam konteks ini kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah adalah untuk memperlambat hilangnya warisan budaya dari wilayah Indonesia. Presepsi bawha cagar budaya memiliki nilai ekonomi yang menguntungkan apabila diperjual belikan, secara bertahap dapat digantikan dengan pemanfaatan bersifat berkelanjutan (sustainable) agar dapat dinikmati kehadirannya oleh generasi mendatang. Peran Pemerintah Daerah menjadi tantangan yang patut dipertimbangkan untuk mencapai maksud ini. Hanya melalui pendekatan pelestarian yang bersifat menyeluruh (holistik) harapan masyarakat yang dirumuskan menjadi undang-undang ini dapat direalisasikan oleh semua pemangku kepentingan. Masyarakat daerah mampu menjadi garda terdepan menjaga kekayaan budaya miliknya sebagai kekayaan bangsa yang dibanggakan oleh generasi mendatang.

Pengaturan cagar budaya dapat ditarik dasar hukumnnya pada Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”

Kutipan ini memiliki beberapa unsur yang penting sebagai pedoman kehidupan bernegara. Pertama, adalah pengertian tentang kebudayaan nasional, yaitu kebudayaan yang hidup dan dianut oleh penduduk Indonesia; Kedua, menempatkan kebudayaan itu dalam konstelasi peradaban manusia di dunia; dan Ketiga, negara menjamin kebebasan penduduknya untuk memelihara dan mengembangkan kebudayaan miliknya.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar ini, dirumuskan bahwa pemerintah Indonesia berkewajiban “melaksanakan kebijakan memajukan kebudayaan secara utuh untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Rumusan ini mejadi pedoman dalam menyusun pasal-pasal berisi perintah, larangan, anjuran, pengaturan, dan hukuman yang menguntungkan masyarakat. Isu tentang adaptive reuse, good governance, desentraliasi kewenangan, atau hak-hak publik selalu mewarnai kalimat dan susunan pasal Undang-Undang Cagar Budaya.

Fokus pengaturan untuk kepentingan ilmu (arkeologi) dan seni yang selama puluhan tahun menjadi perhatian, yaitu sejak keluarnya Monumenten Ordonnatie tahun 1938 yang disusun Pemerintah Kolonial Belanda, mulai tahun 2010 perhatian itu lebih terfokus kepada persoalan upaya kongkret meningkatkan kesejahteraan rakyat sekaligus mengangkat peradaban bangsa menggunakan tinggalan purbakala. Ini adalah misi sebenarnya dari penyusunan UU-CB.

 

Pengertian Pelestarian

Upaya pelestarian yang telah dilakukan dahulu dan sekarang pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu pelestarian demi kepentingan penggalian nilai-nilai budaya dan proses-proses yang pernah terjadi pada masa lalu dan perkembangannya hingga kini serta pelestarian benda cagar budaya karena nilainya terhadap suatu peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada masa lalu. Namun seiring dengan usaha pembangunan yang terus berlangsung di negara kita, maka memberi tantangan tersendiri terhadap upaya pelestarian. Pembangunan sering kali berdampak negatif terhadap kelestarian benda cagar budaya. Problem semacam ini muncul dimana-mana terutama di daerah perkotaan. Kegiatan pembangunan tanpa menghiraukan keberadaan benda cagar budaya hingga saat ini masih terus berlangsung. Hal ini tampak dari semakin menurunnya kualitas dan kuantitas benda cagar budaya.

Perubahan paradigma ini masih diikuti oleh berubahnya arti “pelestarian”. Kalau semula diartikan sempit sebagai tugas pelindungan semata, kali ini dilihat sebagai sebuah sistem yang menghubungkan unsur pelindungan, pemanfaatan, dan pengembangan. Ketiganya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk seterusnya kata “pelestraian” dilihat sebagai unsur yang dinamis bukannya statis, dimana setiap unsur berperan memberikan fungsi kepada unsur lain, sebagaimana dapat dilihat pada skema di bawah ini .

Keterangan:
Pl = pelindungan

Pb = pengembangan

Pf = pemanfaatan

 

Di bagian atas telah disinggung sebelumnya bahwa definisi pelestarian menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Pelindungan adalah unsur terpenting dalam sistem pelestarian cagar budaya, unsur ini mempengaruhi unsur-unsur lain yang pada akhirnya diharapkan menghasilkan umpan balik (feedback) pada upaya pelindungan. Unsur ini langsung berhubungan langsung dengan fisik (tangible) cagar budaya yang menjadi bukti masa lalu. Sebaliknya unsur pengembangan lebih banyak berhubungan dengan potensi-potensi (intangible) yang menyatu dengan benda, bangunan, struktur, atau situs yang dipertahankan. Kegiatannya bukan dalam bentuk konservasi, restorasi, atau pemeliharaan objek misalnya, melainkan upaya pengembangan informasi, penyusunan bahan edukasi, atau sebagai objek wista. Hal ini berbeda dengan kegiatan pada unsur pemanfaatan yang juga menyentuh fisik dari cagar budaya seperti halnya pelindungan, bedanya ialah pada unsur ini kegiatannya terbatas pada upaya revitalisasi atau adaptasi untuk menyesuaikan kebutuhan baru dengan tetap mempertahankan keaslian objek.

 

Kewenangan Pemerintah Daerah

Pemberian kewenangan yang cukup besar kepada Pemerintah Daerah dapat kita lihat pada Pasal 96 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Benda Cagar Budaya. Disitu disebutkan 16 kewenangan sebagai berikut:

  1. menetapkan etika Pelestarian Cagar Budaya;
  2. mengoordinasikan Pelestarian Cagar Budaya secara lintas sektor dan wilayah;
  3. menghimpun data Cagar Budaya;
  4. menetapkan peringkat Cagar Budaya;
  5. menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya;
  6. membuat peraturan Pengelolaan Cagar Budaya;
  7. menyelenggarakan kerja sama Pelestarian Cagar Budaya;
  8. melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum;
  9. mengelola Kawasan Cagar Budaya;
  10. mendirikan dan membubarkan unit pelak-sana teknis bidang pelestarian, penelitian, dan museum;
  11. mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang kepurbakalaan;
  12. memberikan penghargaan kepada setiap orang yang telah melakukan Pelestarian Cagar Budaya;
  13. memindahkan dan/atau menyimpan Cagar Budaya untuk kepentingan pengamanan;
  14. melakukan pengelompokan Cagar Budaya berdasarkan kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat provinsi, dan peringkat kabupaten/kota;
  15. menetapkan batas situs dan kawasan; dan
  16. menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau musnahnya Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya.

Kewenangan yang sama juga diberikan kepada Pemerintah Pusat, kecuali 5 kewenangan yang bersifat pengaturan di tingkat nasional, yaitu:

  1. menyusun dan menetapkan Rencana Induk Pelestarian Cagar Budaya;
  2. melakukan pelestarian Cagar Budaya yang ada di daerah perbatasan dengan negara tetangga atau yang berada di luar negeri;
  3. menetapkan Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Bu-daya, dan/atau Kawasan Cagar Budaya sebagai Cagar Budaya Nasional;
  4. mengusulkan Cagar Budaya Nasional sebagai warisan dunia atau Cagar Budaya bersifat internasional; dan
  5. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Pelestarian Cagar Budaya.

Selain itu, Unit Pelaksana Teknis yang merupakan kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat seperti Balai Pelestraian Peninggalan Purbakala (BP3), Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, atau Balai Arkeologi tidak termasuk yang diserahkan kewenangannya kepada Pemerintah Daerah. Namun Undang-Undang Cagar Budaya memberi peluang bagi Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mendirikan atau membubarkan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) menurut kebutuhan. Daerah bahkan diberi tugas untuk menetapkan, menghapus, atau melakukan peringkat kepentingan terhadap ca-gar budaya yang berada di wilayah administrasinya masing-masing.

 

Tim Ahli Cagar Budaya

Akan tetapi sebelum kewenangan tersebut dapat dilakukan, tugas pertama adalah menetapkan objek yang didaftarkan sebagai cagar budaya atau bukan cagar budaya. Objek-objek yang ditetapkan sebagai cagar budaya dengan sendirinya menjadi subjek pengaturan undang-undang, sebaliknya yang bukan cagar bu-daya tidak diatur lebih jauh oleh undang-undang. Gubernur, Bupati, atau Wali Kota menjadi pejabat yang menandatangani penetapan itu, oleh karena itu mulai tahun 2010 status objek sebagai cagar budaya mem-punyai kekuatan hukum karena pemiliknya akan menerima dua jenis surat: 1) Surat Keterangan Status Cagar Budaya, dan 2) Surat Keterangan Kepemilikan. Kedua surat ini dapat dikeluarkan setelah penetapan dilakukan kepala daerah berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya yang dibentuk di lingkungan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota untuk menangani pendaftaran cagar budaya. Anggota Tim Ahli dididik dan diberi sertifikat oleh Pemerintah Pusat sebelum “dipekerjakan” oleh Pemerintah Daerah. Komposisi anggota Tim Ahli diharapkan 60% dari unsur masyarakat dan 40% dari unsur pemerintah. Jadi, menurut undang-undang, koleksi milik seseorang, hasil penemuan, atau hasil pencarian baru dapat dinyatakan sebagai cagar budaya setelah melalui kajian Tim Ahli Cagar Budaya.

Dalam menjalankan tugas, tim ini dibantu oleh sebuah tim lagi yang disebut sebagai Tim Pengolah Data. Nama tim ini muncul dalam Rancangan Peraruran Pemerintah yang kini tengah dipersiapkan untuk dikeluarkan oleh Presiden RI, diharapkan pada tahun 2014 sudah keluar. Tugas tim yang bekerja di bawah koordinasi instansi bidang kebudayaan ini adalah mengumpulkan dan melakukan verifikasi atas data, sebelum diserahkan kepada Tim Ahli Cagar Budaya.

Untuk objek yang belum dinyatakan sebagai cagar budaya, undang-undang juga melindungi “Objek Yang Diduga Sebagai Cagar Budaya” dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan layaknya cagar budaya. Pendugaan ini dilakukan oleh Tenaga Ahli, bukan oleh Tim Ahli. Tenaga Ahli adalah orang-orang tertentu seperti arkeologi, antropologi, geologi, sejarah, atau kesenian yang diberi sertifikat oleh negara menjadi ahli setelah melalui pegujian. Pengaturannya akan dilakukan dalam Peraturan Pemerintah yang tengah dipersiapkan. Maksud dari pelindungan terhadap “Objek Yang Diduga Sebagai Cagar Budaya” ini adalah supaya kemungkinan untuk menjadi cagar budaya dapat dipertahankan sampai dengan keluarnya penetapan oleh kepala daerah.

Undang-undang juga mengisyaratkan bahwa pelestarian hanya dapat dilakukan atau dikoordinasikan oleh Tenaga Ahli, setelah objek yang akan dilestarikan dibuat dokumentasinya dan studi kelayakannya. Posisi Tenaga Ahli di kemudian hari akan memegang peranan strategis dalam upaya pelestarian cagar budaya yang dimotori masyarakat. Oleh karena itu pendidikan mereka menjadi prioritas Pemerintah Pusat. De-ngan demikian peran Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam 10 tahun ke depan diharapkan akan mampu melakukan sendiri pelestarian cagar budaya. Hal ini menarik untuk disimak mengingat Tenaga Ahli yang dimaksudkan dalam undang-undang dapat bekerja di lilungkungan pemerintahan, perorangan, lembaga swasta, LSM, atau unsur masyarakat hukum adat. Sinergi para ahli ini diharapkan mampu mempertahankan warisan budaya di seluruh Indonesia sebagai bagian dari upaya mempertahankan dan membangun karakter bangsa.

 

Pengelolaan Cagar Budaya di Era Otonomi

Dari pengalaman yang selama ini kita alami, sering kita dengar melalui berbagai media antara lain adalah konflik antara pemerintah pusat dan daerah khususnya mengenai pengelolaan cagar budaya. Di satu sisi, pemerintah daerah merasa mempunyai kewenangan yang sangat besar untuk membuat kebijakan daerah khususnya untuk memberi pelayanan, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga kadang mereka begitu “berani” melakukan pengelolaan cagar budaya. Di sisi lain, pemerintah pusat merasa “ditinggalkan” dalam pengelolaan tersebut sehingga hasil darinya tidak sesuai dengan harapan bersama. Banyak contoh kasus yang terjadi di Indonesia terhadap penghilangan suatu cagar budaya yang justru dilakukan oleh kebijakan pemerintah daerah itu sendiri, dengan alasan faktor ekonomi dan kebutuhan ruang. Pelanggaran atau konflik itu muncul, pada hakekatnya adalah tidak terlepas dari dampak adanya sistem otonomi daerah yang diberlakukan selama ini.

Seperti sudah disinggung di muka bahwa azas dari pemerintahan daerah adalah desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam Perundangan Tentang Otonomi Daerah Ketentuan Umum Pasal 1 dijelaskan mengenai definisi kata desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Adapun tugas pemabantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Selanjutnya di dalam Perundangan Tentang Otonomi Daerah tersebut khusunya pasal 2 ayat (4) dan (5) dijelaskan sebagai berikut. Ayat (4) Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintah daerah lainnya. Adapun ayat (5) menyebutkan bahwa Hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya.

Dalam konteks pemanfaatan sumberdaya lainnya, seperti sumberdaya budaya inilah pemerintah daerah melaksanakan kebijakan pengelolaan sumberdaya budaya. Namun demikian, mengingat bahwa sistem pemerintahan otonomi daerah itu sendiri belum jelas maknanya, maka sudah dapat kita bayangkan bahwa pelaksanaan pengelolaan cagar budaya di daerah juga tidak dapat ideal sesuai prosedur. Dalam hal ini pemerintah pusat dalam rangka menyesuaikan kebijakan otonomi daerah tersebut telah menerapkan dua langkah yaitu dekonsentrasi dan tugas pembantuan (dekontp). Dekonsentrasi adalah kebijakan pemberian dana dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah untuk tujuan pelestarian cagar budaya non fisik misalnya untuk sosialisasi undang-undang, pelatihan ketrampilan teknis pengelolaan cagar budaya, pameran dan lainnya. Sedangkan tugas pembantuan adalah kebijakan pemberian dana Pemerintah kepada Pemerintah Daerah untuk tujuan pelestarian cagar budaya yang bersifat fisik seperti pemugaran bangunan, konservasi, dan lainnya.

Kebijakan dekonsentrasi dan tugas pembantuan tersebut secara teknis diberikan kepada Guberrnur dan oleh Gubernur kemudian diserahkan kepada Dinas teknis yang membidangi urusan kebudayaan, yang akhirnya dana dibagi bagi ke berbagai daerah kabupaten/walikota. Pada akhirnya kita bisa membayangkan bahwa sasaran kegiatan di daerah tidak optimal. Halini disebabkan antara lain oleh ; 1. Pemerintah tidak melengkapi kebijakan tersebut dengan acuan hukum atau juklak maupun juknis tentang pengelolaan cagar budaya. 2. Pemerintah daerah tidak mempunyai pegangan teknis dalam pengelolaan tersebut sehingga banyak salah sasaran yang sering kita jumpai.

Memang benar bahwa otonomi daerah membuka paradigma baru dalam pengembangan dan pengelolaan kebudayaan karena memberikan peluang kepada daerah untuk menggali potensi yang dimiliki daerah. Namun demikian perlu disadari bersama oleh semua pihak bahwa pemanfaatan potensi di bidang pembangunan jangan sampai berbalik menjadi rusak atau musnahnya aset budaya. Tidak jarang kita jumpai situs-situs sangat penting berubah menjadi mal-mal megah simbol kapitalis ataupun masjid dan gereja kuno dihancurkan untuk dibangun yang baru dengan alasan kurang mampu menampung jama’ah yang semakin membludak. Otonomi daerah yang hanya bertumpu pada landasan kepentingan ekonomi belaka akan membawa ke kehancuran cagar budaya.

¤

____________________________

*) Penulis

Kasi Pelindungan, Pengembangan dan Pemanfaatan Pada Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau di Batusangkar.