Berdirinya Gedung De Javasche Bank di Kota Padang ini tidak lepas dari sederet kisah tentang impresi  Belanda di tanah air. Faktor umum yang memicu aktor kolonial ini singgah dan menetap di bumi khatulistiwa erat kaitannya dengan potensi rempah di Indonesia. Belanda yang saat itu ingin mengembalikan kejayaan negerinya tidak sekedar antusias terhadap seluruh aset alam indonesia, tapi juga memiliki tujuan dagang serta memonopoli perekonomian di tanah air.

Runtuhnya VOC pada tahun 1799 menyisakan beban kronis bagi aktivitas perekonomian Hindia Belanda. Minimnya kapabilitas pemerintah dalam menjalankan kebijakan fiskal dan moneter menimbulkan berbagai pembicaraan hangat antarpejabat Hindia Belanda, salah satunya dari Komisaris Jenderal Hindia Belanda, yaitu C.T. Elout. Persoalan keuangan yang rumit ditambah mandeknya hubungan ekspor impor antara Hindia Belanda dan Negeri Belanda melahirkan berbagai tuntutan dari pengusaha di Hindia Belanda agar didirikan sebuah lembaga perbankan yang memenuhi kepentingan bisnis mereka, terutama untuk fasilitas pendanaan dan perdagangan luar negeri.

Demi menganggapi segala  persoalan yang berlangsung, maka pemerintah mendirikan sebuah bank sirkulasi pertama di Asia. Saat itu Komisaris Jenderal du Bus mengeluarkan Surat Keputusan No. 25 tertanggal 24 Januari 1828 yang menyatakan secara resmi berdirinya De Javasche Bank. Surat keputusan itu dikenal sebagai akta pendirian De Javasche Bank, maka 24 Januari 1828 ditetapkan sebagai tanggal berdirinya De Javasche Bank di Batavia  yangbaru beroperasi pada tanggal 8 April 1828.

Sebagai bank sirkulasi pertama De Javasche Bank  memiliki hak octrooi untuk mencetak dan mengedarkan mata uang gulden di wilayah Hindia Belanda. Situasi perekonomian yang urgen menjadikan bank ini berperan dalam penertiban dan pengaturan  sistem pembayaran  di Hindia Belanda. Pada awalnya  De Javasche Bank  hanya ada di Batavia, namun pesatnya ekspansi dan liberalisasi ekonomi Belanda menyebabkan didirikan beberapa Cabang De Javasche Bank beberapa titik strategi di tanah air, yaitu Semarang (1829), Surabaya (1829), Padang (1864), Makasar (1864), Cirebon (1866), Solo (1867) dam Pasuruan (1867).

Fenomena hadirnya De Javasche Bank  di Padang sebagai cabang pertama di luar Pulau Jawa mengindikasikan kota ini mengantongi banyak potensi dibanding kota lain di Sumatera. Padang tempo dulu adalah sebuah kota pelabuhan dan metropolitan yang dihuni beragam suku bangsa seperti Minangkabau, Jawa, Nias, Tionghoa, Tionghoa Macao, Arab, India (Keling, Tamil), Jepang, Eropa dan Eurasia atau Indische. Di masa itu, Padang sempat menjadi pangkalan militer dan tempat pengobatan tentara Belanda yang ikut terlibat dalam Perang  di Aceh. Selain itu, daya pikat yang menarik bangsa pelancong  melirik Padang dikarenakan kestabilan kehidupan sosial masyarakat dan letaknya strategis berada di dekat perairan yang mendukung aktivitas bisnis serta perdagangan Pemerintah Belanda di pesisir Barat Sumatera.

Terkait itu, sudah jadi rahasia umum bahwa Sumatera Barat memiliki proyek-proyek kolonial seperti jaringan transportasi kereta api Padang-Sawahlunto, tambang batubara Ombilin, pabrik Semen Padang Indarung dan pembangunan Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur). Dalam hal ini posisi teritori Kota Padang menjadikannya sebagai jantung dari segala aktivitas ekonomi Pemerintah Hindia Belanda dan pengusaha swasta di zamannya. Kedudukan itu dibuktikan dengan keberadaan lima perusahaan terbesar Hindia Belanda yang berkantor di sepanjang Batang Arau Kota Padang. Keadaan alamiah Kota Padang menjadi alasan intensnya pendirian gudang-gudang untuk menumpuk barang di sepanjang tepian Sungai Batang Arau.

Sederet nukilan narasi tersebut merupakan alasan berdiri kokohnya Gedung Museum Bank Indonesia di Jalan Batang Arau No 60 Kota Padang. Objek tersebut merupakan salah satu cagar budaya yang cukup banyak menyokong informasi terkait aktivitas ekonomi Belanda di Sumatera Barat. Gedung De Javasche Bank  pertama kali dibuka pada 29 Agustus 1864 dengan direktur pertama A.W Verkouteren.

Perlu diketahui bahwa Gedung Museum Bank Indonesia wajib untuk senantiasa dilestarikan. Hal itu karena bangunan tidak bergerak dengan nomor inventaris 38/BCB-TB/A/01/2007 ini tergolong cagar budaya tipe A yang seluruh bentuk keasliannya harus dipertahankan. Sejak pendiriannya 1864 di Kota Padang, De Javasche Bank  mulai melaksanakan fungsi dengan menempati bekas gudang militer sebagai kantornya. Posisi kantor bank sirkulasi ini awalnya berada di dekat Pantai Padang, namun tahun 1912 muncul sebuah gagasan untuk mendirikan kantor baru yang lebih layak dibanding gedung lama yang seadanya. Rencana tersebut sempat tertunda karena terhambat dengan kepengurusan izin.  Dalam hal ini, pemerintah saat itu lebih memprioritaskan dana untuk pengembangan Pelabuhan Batang Arau di sekitar Kawasan Muara Padang ketimbang dengan pendirian gedung baru De Javasche Bank. Barulah pada 31 Maret 1921 pembangunan gedung baru terealisasikan. Hasil karya Hulswitt-Fermont-Cuypers Architechten & Engineeren Beureau itu pertama kali dipakai di era kepemimpinan Gubernur De Javasche Bank , yaitu Mr. L.J A Trip (1924-1929).

Kabar tersebut tak terbantahkan karena ditemukan informasi melalui peta sezaman. Peta tersebut menunjukkan belum adanya denah bangunan Gedung De Javasche Bank yang berseberangan dengan Jembatan Siti Nurbaya seperti saat ini. Pada peta yang terbit tahun 1915 itu posisi gedung berada sederetan dengan Gedung Geo Wehry atau tepatnya di dekat pantai. Hal itu semakin jelas berkat hasil studi lapangan tim pemuktahiran data BPCB Sumatera Barat yang menemukan lahan kosong persis dengan keterangan itu. Berdasarkan hasil wawancara tim dengan informan yang dianggap kompeten terhadap objek tersebut, diperoleh data bahwa bangunan lama  De Javasche Bank runtuh tak bersisa dihempas gempa 2009. Akibat peristiwa alam tersebut, lahan bangunan lama Gedung De Javasche Bank dikembalikan ke Kementerian Keuangan.

Demi mempertajam  fakta sejarah, tim pemuktahiran menelurusi gambaran peta Kota Padang di tahun 1945. Dari peta kolonial itu diperoleh keterangan yang menunjuk bahwa denah bangunan Gedung  Bank Indonesia di Padang persis saat ini. Keterangan semakin akurat lantaran data visual sezaman yang memiliki ketepatan unsur dengan  ruang, waktu dan peristiwa yang  berkaitan dengan objek Gedung De Javasche Bank atau Museum Bank Indonesia Padang di masanya. Disimpulkan bahwa gedung yang sekarang dijumpai sebagai museum merupakan gedung yang dibangun pada masa Mr. L.J.A Trip. Di masa ini Gedung De Javasche Bank berfungsi sebagai museum, namun akibat pandemi covid 19 sementara  dijadikan sebagai Kantor Kas BI yang melayani bank-bank BUMN dan BUMD dalam penarikan uang. Tujuannya untuk menghindari penumpukan antrian. 

Potongan-potongan data yang dikemukakan tadi menegaskan keistimewaan Kota Padang sebagai kota sejarah. Museum BI kita hanya satu contoh dari banyaknya aset histori di Kota Padang. Bangunan tua yang masih eksis saat ini mengajarkan kita untuk menghargai warisan pendahulu di tengah kemajemukan zaman. Hendaknya kegiatan lawatan sejarah perlu diadakan dan ditingkatkan bagi instansi maupun lembaga pendidikan agar khalayak tak mengenal istilah “Amnesia Sejarah” (Merlina Agustina Orllanda).