NARASI PERSENJATAAN DALAM CATATAN CAGAR BUDAYA

Oleh: Aulia Rahman

Balai Pelestarian Cgaar Budaya Smatera Barat

Wilayah Kerja Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Kepulauan Riau

 

Narasi-narasi sejarah tidak pernah lepas dari peperangan untuk memperebutkan wilayah, ekspolitasi ekonomi dan memperkuat kekuasaan. Salah satu unsur utama dalam peperangan adalah pemanfaatan senjata. Pada awal perkembangan manusia sampai pada modernisasi senjata telah mengalami perubahan. Perubahan senjata itu beriringan dengan semakin berkembangnya pola pikir manusia.

Dalam perkembangan pola pikir manusia ini melahirkan inovasi, adaptasi terhadap senjata tujuannya untuk bertahan atau menyerang musuh untuk memperkokoh kekuasaan. Kehadiran senjata juga tidak terlepas dari cara untuk bertahan dan menyerang. Penggunaan senjata paling besar adalah ketika terjadi peperangan. Untuk mendapatkan senjata berbagai cara dilakukan oleh pihak pihak yang terlibat peperangan antara lain dengan jalur legal (perdagangan) dan jalur ilegal (salah satunya penyeludupan, barter). Sejarah mencatat bahwa keunggulan senjata yang menentukan kemenangan suatu wilayah dalam melakukan penaklukan.

Sejak ditemukannya mesiu, beriringan dengan perkembangan senjata api, jika sebelumnya pedang, tombak dan panah senjata yang unggul, setelah ditemukan mesiu keunggulan senjata beralih pada senjata api. Melalui keunggulan senjata api inilah bangsa Eropa leluasa untuk melakukan perluasan kekuaaan di Asia dan Afrika. Penggunaan senjata api mulai banyak dilakukan abad ke 14-15. Salah satu cara penyerbaran senjata dengan perdagangan sehingga berlanjut pada kolonialiai dan imperialisme.

Negara Indonesia yang merupakan salah satu daerah kolonialisasi bangsa Eropa tidak terlepas dari perperangan mulai dari periode pra sejarah dan sampai merdeka dari bangsa barat. Menariknya, setiap etnis di Indonesia mempunyai senjata khas, artinya sering terjadi peperangan baik itu antar etnis atau antar wilayah. Pemicu peperanganpun beragam, karena perebutan kekuasaan, perebutan wilayah perdagangan, perebutan pengaruh.

Catatan sejarah mengenai persenjataan hanya menjadi catatan pinggir sebagai pelengkap sejarah. Padahal persenjataan adalah salah satu bagian dari unsur kebudayaan. Setiap etnis yang ada didunia selalu mempunyai senjata khas. Sesuai perkembangan zaman persenjataan juga mengalami kemajuan. Mulai zaman prasejarah dengan mengunakan kapak dari batu sampai saat ini senjata terus mengalami kemajuan.  Senjata dari bahan batu kemudian menggunakan logam dengan berbagai jenis seperti pedang lanjut menjadi senjata api, meriam dan akan terus berkembang.Perkembangan senjata mulai dari memanfaatkan alam hingga menjadi senjata nuklir.

Kajian persenjataan saat ini masih sebatas kajian budaya. Belum merambah pada kajian sejarah. Kajian senjata dalam sejarah hanya sebagai kajian objek bukan pada kajian subjek.  Selintas senjata hanya sebagai tinggalan budaya akan tetapi aktivtas manusia yang menjadi penguna senjata tetap menjadi narasi kecil dari sejarah. Kajian senjata sebagai objek melirik pada kajian aktivitas persenjataan. Minangkabau secara etnisitas telah memiliki ide dan gagasan dalam pertahanan diri. Ide dan gagsan ini berkembang sebagai kekuatan, tidak hanya mempertahankan juga untuk menaklukan daerah lain. Sejatinya pengetahuan etnis Minangkabau dalam hal pertahanan tidak hanya sekedar silat. Tetapi juga ada pengetahuan modern lain yang hampir seara dengan bangsa-bangsa penakluk yaitu teknologi persenjaaan ringan yaitu bedil. Bedil sendiri, menurut wan Dasuku itu berasal dari bahasa arab ba, nun dan lam dalam huruf hijailah yang dibaca badikula. Asal kata ini dari kata punduk. Bedil itu sendiri adalah adaptasi dari enologi senjaa ringan dari portugis, behomia, dan mesiu dari Cina.

Persentuhan senjata api dan Etnis Minangkabau dimulai dari aktivitas perdagangan. Persentuhan yang paling kentara itu dengan bangsa Eropa karena berkaitan dengan aktivitas perperangan. Sejak penyerahan Minangkabau ke Kolonial Belanda oleh segelintir penghulu di Tanah Datar maka dimulailah Ekspansi Hindia Belanda menaklukan Sumatera Barat. Awalnya Daerah ini memakai sistem Federasi kerajaan dan kerajaan Pagaruyung sebagai Pusat dan beberapa kerajaan Vassal tersebar di berbagai daerah di Sumatera Tengah yang dikenal dengan kerajaan-kerajaan sapiah balahan, kuduang karatan- kapak radai- timbang pacahan kerajaan Pagaruyung.

Interaksi Etnis Minangkabau terutama kerajaan-kerajaan di Minangkabau telah dimulai dari pantai barat Sumatera dengan bangsa Portugis di pesisir selatan, kemudian Bangsa Inggris, Amerika, dan terakhir Belanda. Interaksi ini melaui perdagangan Emas di Salido dan Gunung Omeh di Suliki Lima Puluh Kota, Lada di Indrapura, Kopi di pedalaman sumatera dan masi banyak lagi komoditi rempah lainnya.

Interaksi ini lambat laun mengundang Hindia Belanda untuk menaklukan Sumatera tengah ditandai dengan ikut campur Belanda  dalam gejolak Ekonomi dan kebangkitan Islam periode 1821-1837 melalui perang Padri. Perang Padri menjadi pintu utama Belanda dalam eksploitasi Ekonominya.

Tradisi tulis tentang perdagangan senjata hanya sebatas tinggalan budaya, arkeologis dan secara lisan. Tidak banyak kajian-kajian mengenai perdagangan senjata di Minangkabau. hanya dapat ditelusuri aktivitas produksi senjata api. Namun, dapat ditelusuri sebagai pintu masuk perdagangan senjata melalui aktivitas perang yang terjadi. Catatan-catatan persenjataan dari catatan Thimas Diaz, Mardem, raffles  yang berkunjung kepedalaman Minangkabau bahwa masyarakat telah memliki senjata untuk melindungi raja. Senjata dan pengawal yang bersenjata jekas sangat penting dalam mempertahankan kedudukan raja dan melindungi kabilah dagang. Saat Thomas Diaz hendak pergi, dikawal oleh tentara 100 orang dengan senjata senapan dan dikawan 3000 tentara yang bersenjata saat meninggalkan Pagaruyung.

Setelah Belanda mampu masuk dalam sistem pemerintahan tradisional melalui demang, kepala laras, penghulu rodi maka terjadi gejolak antara masyarakat Minangkabau dengan Pemerintahan Hindia Belanda dalam perang Pajak (Belasting) Tahun 1908 dan yang terbesar itu di daerah Kamang tidak jauh dari Fork de Kock. Selanjutnya tahun 1926 terjadi lagi pemberontakan masyarakat Silungkang.

Masyarakat Minangkabau sudah mengenal sistem senjata api yang dibuat sendiri yang dikenal dengan badia balansa atau dikenal dengan musket. Badia balansa merupakan senjata api tradisional Minangkabau bentuk perwujudan dari sisem teknologi persenjataan. Selama ini hanya dikenal dengan teknologi senjata khas Minangkabau benbentuk senjata tajam namun senjata api juga memiliki tempat tersendiri dalam kebudayaan. Teknologi senjata api buatan sendiri orang Minangkabau yang masih dipraktikkan kini. Senjata api ringan jenis senapang lantak (muzzle loader) disebut dengan ‘badia balansa’ itu dianggap sebagai identitas dan warisan teknologi persenjataan Minangkabau.

Kajian persenjataan dalam sejarah belum signifikan dan mendalam untuk dikaji bahkan hanya sebagai catatan pinggir dalam karya-karya sejarah. Kajian dan konsep senjata itu sendiri baru didominasi oleh ranah militer dan belum merambah pada dunia akademis dengan kajian mendalam. Bisa saja kajian senjata memiliki minat khusus yang diminati oleh ahli-ahli persenjataan. Teknologi tersebut sudah pun dicatatkan oleh de Eredia (1613), Marsden (1811), Crawfurd (1856), Newbold (1832), McNair (1878); yang kemudian ditambah oleh Gardner (1936), Gibson-Hill (1953), Woolley (1947) dan Sheppard (1986). Setelah itu, kajian-kajian mengenainya diperluaskan lagi oleh Othman Yatim & Zamberi (1994), Andaya (1999) dan Wan Mohd Dasuki (2013).