Munculnya tokoh  Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan Datuk Ketumangguangan Berdasarkan Isi Prasasti

Oleh: Nurmatias

Merujuk tradisi lisan yang digambarkan dalam tambo tidak terbukti dengan temuan-temuan prasasti yang ada dengan presepsi masyarakat Minangkabau secara keseluruhan tidak sesuai dengan fakta dan data sejarah. Dalam Tambo menyebutkan nenek moyang masyarakat Minangkabau berasal dari keturunan Raja Iskandar Zulkarnain dari Macedonia. Dalam sejarah yang ada Raja Iskandar Zulkarnain hanya sampai ekspansi ke India, dan setelah itu tidak dijelaskan sejarahnya kemudian. Dalam tambo menyebutkan Iskandar Zulkarnain mempunyai tiga orang anak dan mereka berlayar ke daratan Cina akibat banjir besar melanda bumi. Ketiga anak tersebut mempunyai watak yang berbeda dan kemudian bertengkar memperebutkan tahta kebesaran ayahnya. Ketidak cocokan ini mereka berpisah, yang dua tetap melanjutkan ke Cina dan Anatolia dan satu lagi yang dikenal Maharaja diraja mendarat di Gunung Merapi Kemudian air sudah susut Maharaja diraja dan pengikutnya  turun dari Gunung Merapi dan membuka lahan di Padang Panjang Pariangan sekarang masuk kecamatan Simabua, Kab Tanah Datar.  Semenjak peristiwa tersebut yang sampai dalam tambo dan kemudian diyakini kebenarannya oleh masyarakat sebagai cikal bakal sejarah budaya Minangkabau

Perkembangan masyarakat yang begitu pesat kemudian muncul  dan lahir dua orang keturunan Maharajadiraja , Datuk Katumanggungan dan saudara lain ibu, Datuk Parpatih nan Sabatang menyusun bentuk dan sistem pemerintahan adat Minangkabau. Menurut beberapa versi menyebutkan kedua datuk ini berselisih tentang kedatangan Adityawarman putra mahkota Minangkabau yang dididik di Jawa. Adityawarman kemudian menikah dengan adik Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Dua saudara ini betikai dalam menentukan status Adityawarman. Menurut Katumanggungan menganggap Adityawarman adalah raja Minangkabau dan Datuk perpatih nan Sabatang tidak demikian . Akibat perselisihan ini dikenal dengan kelarasan Koto Piliang dengan gaya aristorkrasi yang berkiblat ke Datuk Katumanggungan dan kelarasan Bodi Chaniago yang berkiblat ke Datuk Perpatih nan Sabatang dengan gaya demokrasinya  (Audrey Kahin; 2005;1-2)

Melihat data  sejarah berdasarkan kajian prasasti yang ada, ada tiga prasasti yang punya  hubungan dengan peristiwa yang disampaikan tambo tetapi peristiwa tersebut yang ada kontradiktif. Dalam isi prasasti Pararruyung VI digoreskan pada batu andesit warna coklat kekuningan non artificial. Batu monolith tersebut berbentuk persegi panjang tak beraturan dengan tulisan berada sisi atasnya. Melihat kondisi tulisan tidak menurut pakem yang ada, dapat interprestasikan jenis tulisannya relatif kasar, kecil dan tidak rapi. Prasasti dengan huruf dan bahasa Jawa Kuna ini hanya terdiri dari 2 (dua) baris tulisan dan jika dibandingkan dengan medianya tidak proporsional. Untuk melihat langsung dalam melihat di Situs Pagaruyung, Gudam, Kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar

Dalam tulisan tersebut menyebutkan Tumanggung Kudawira sebagai salah seorang pembesar kerajaan. Prasasti ini merupakan stempel atau cap pembuatan bagi Tumanggung Kudawira. Siapa Tumanggung ini belum dapat dijelaskan secara detail karena baru satu bukti tentang keberadaan beliau. Merujuk isi prasasti tersebut bahwa Tumanggung merupakan jabatan pemerintahan yang sering dipergunakan pada masa Kerajaan Singhasari dan Majapahit. Menurut catatan sejarah ekspedisi Pamalayu yang dicetus oleh Raja Krtanegara dari Singhasari dapat diasumsikan bahwa Kudawira ini merupakan Tumanggung dari kerajaan Singhasari yang ikut ekspedisi tersebut. Jika analisa ini benar, maka Prasasti Pagarruyung VI ditulis jauh sebelum Adityawarman menjadi raja, karena Adityawarman merupakan anak yang lahir dari Ibu Dara Petak yang dibawa oleh pasukan Singhasari dari Malayu ke Jawa.

Fakta yang telah disampaikan pada alinea terdahulu menunjukan bahwa jabatan yang semula bernama Temanggung  berubah menjadi Katumanggung menurut dialek Minangkabau. Seorang tokoh yang sangat popular dan dianggap sebagai tokoh adat Minangkabau juga menggunakan nama jabatan  Datuk Katumanggungan, Apakah nama ini sama dengan tokoh Tumanggung kudawira dan ini perlu pembuktian lebih lanjut.

Prasasti kedua yang ada hubungan dengan nama dan peristiwa asal-usul nenek moyang masyarakat Minangkabau adalah Prasasti Pagaruyung VII. Prasasti Pagaruyung VII merupakan tulisan yang digoreskan pada sebuah batu andesit warna abu-abu berbentuk persegi pipih, artificial. Batu media prasasti tersebut sekarang dalam keadaan patah sehingga ada beberapa tulisan dan huruf tidak terbaca dengan baik dan hilang. Prasasti iniberukuran tinggi 82 cm, lebar 50 cm dan tebal 10 cm. Untuk melihat langsung dalam melihat di Situs Pagaruyung, Gudam, Kecamatan Tanjung Emas Kabupaten Tanah Datar

Prasasti ini tidak diketahui angka tahunnya, hanya didalamnya menyebutkan Sri Akarendrawarman sebagai Maharajadhiraja. Pemakaian nama wangsa warman dibelakang menunjukan bahwa Sri Akarendrawarmman masih ada hubungan darah dengan Adityawarmman. Beberapa ahli sejarah menyebutkan sebagai saudara Adityawarman dan karena gelarnya adalah maharajadhiraja tentunya ia sudah menjadi raja saat mengeluarkan prasasti tersebut. Menurut analisa ahli, ia diangkat setelah Adityawarmman turun tahta atau meninggal. Dalam prasasti tersebut juga menyebutkan nama tuhan perpatih bernama Tudang (datuk perpatih nan sabatang) dan seorang yang disebut dengan tuhan gha sri rata. Kedua pembantu raja yang setia dan patuh. Isi prasasti yang lain adalah sumpah atau kutukan yang ditujukan pada orang yang mengganggu atau tidak mengindahkan maklumat raja didalam prasasti tersebut.

Hal lain yang dapat diungkap dari isi prasasti ini adalah nama jabatan tuhan parpatih dan tuhan gha. Jabatan tuhan parpatih tampaknya sama dengan jabatan tuhan patih di dalam pemerintahan kerajaan Majapahit, sedangkan tuhan gha belum dapat diidentifikasikan lebih lanjut. Istilah penyebutan tuhan pada dasarnya menunjukan pada sebutan pemimpin dalam suatu  kelompok tugas. Nama-nama jabatan tuhan ini sering kita temukan dalam prasasti-prasasti Jawa Kuna abad IX-XIII M seperti tuhan ni kanayakan, tuhan ni lampuran, tuhan parujar dan sebagainya. Kedudukan tuhan tersebut sama dengan juru dan dapat juga berarti pimpinan. Sedangkan jabatan patih termasuk jabatan desa yang tergolong dalam istilah rama atau tetua desa. Pada masa kerajaan Majapahit patih naik menjadi pembantu dekat raja.

Menurut Casparis prasasti di atas dikeluarkan oleh Raja Akarenddrawarman yang memerintah sebelum Adityawarman, yaitu sekitar paruh pertama abad ke -14. Isi prasasti mengenai perjalanan yang dilakukan oleh Prabu. Ia diantar oleh pembesar-pembesar seperti tuhan arya, mantra dan tuhan parpatih. Kemudian isi prasasti ini juga menyebutkan parhyangan yang menurut analisa sama dengan Nagari Pariangan, letaknya 10 km dari Kota Batusangkar. Pariangan juga ditemukan sebuah prasasti dan tulisannya sudah sangat aus. Kata lain yang menarik adalah berampat suku, suatu istilah yang sangat terkenal dalam adat Minangkabau yang aslinya disebut dengan Nagari Barampat Suku, yaitu suatu wilayah yang berdasarkan adat istiadat lama yang terdiri dari empat suku (Bodi, Chaniago, Koto, dan Piliang). Isi prasasti yang fenomenal adalah pemindahan pusat kerajaan dari Jambi ke Perdalaman pada masa Raja Akarenddrawarman atau sebelum tahun 1347 M, yaitu tarikh prasasti Amoghapasa dan Prasasti Kapolo Bukit Gombak I (Prasasti Pagaruyung III) (Casparis, 1989:7-9)

Fakta yang telah disampaikan pada alinea terdahulu menunjukan bahwa jabatan yang semula bernama tuhan patih berubah menjadi tuhan parpatih menurut dialek Minangkabau. Seorang tokoh yang sangat popular dan dianggap sebagai tokoh adat Minangkabau juga menggunakan nama jabatan parpatih Datuk Parpatih Nan Sabatang, Apakah nama ini sama dengan tokoh Tuhan Parpatih Tudang dan perbuktian lebih lanjut. Mengingat kedudukan datuk sebagai pemimpin sama fungsi dengan tuhan, sehingga terjadi peralihan sebutan sesuai dengan lingkungan dialek Minangkabau.

Kemudian kita juga mengenal adanya prasasti Pariangan yang ditemukan di tepi Sungai Mengkaweh yang mengalir dari kaki Gunung Marapi, Nagari Pariangan Kab. Tanah Datar. Lokasi ini ada disebelah timur Kota Padang Panjang dan sebelah Barat dari Batusangkar. Bahan batunya dari jenis trchty, dengan ukuran tinggi 1,6 m, lebar 2,6 m dan tebal 1,6 m. Prasasti ini dipahatkan pada batu monolit non artificial berbentuk setengah lingkaran dalam tulisan berjumlah 6 baris. Aksara yang dipakai sama dengan aksara prasasti Adityawarman lainnya.  Terdapat angka tahun yang sudah aus, yang dapat dibaca hanya dua angka yang didepan yaitu 12. Kondisi prasasti ini sudah terlalu aus sehingga tidak memadai untuk dibahas lebih lanjut (Machi Suhadi 1990: 222)

Merujuk dengan tiga prasasti tersebut menurut hemat penulis adalah suatu peristiwa yang terjadi pada masa lalu, kemudian karena trasformasi berita ini melalui cerita dari mulut ke mulut (Tambo) akibatnya terjadi pembiasan informasi. Berdasarkan prasasti yang ada nama-nama peristiwa dan tokoh yang ada ada seperti Maharaja diraja, Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang serta ditambah temuan prasasti yang ada di Sungai Mengkaweh di Pariangan menguatkan analisa yang ada tentang sejarah Minangkabau secara nyata. Berdasarkan analisa tersebut bahwa kejadian yang ada ini bertarikh abad ke-13 dan ke-14.

Prasasti Pagaruyung IV

Replika Prasasti Pagaruyung VII