Kelompok Kerja Pengembangan dan Pemanfaatan (Pokja PP), merupakan salah satu kelompok kerja di Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Sumatera Barat. Kelompok tersebut pada tanggal 16 hingga 20 September melaksanakan Studi Pengendalian dan Pemanfaatan Cagar Budaya Jam Gadang dan Istana Bung Hatta.  Keduanya merupakan bangunan cagar budaya berkategori nasional.

                Tim mengawali pelaksanaan kegiatan di Istana Bung Hatta. Tim pelaksana disambut langsung oleh Bapak Zulkarnain Ginting sebagai Pimpinan Istana Bung Hatta untuk berdiskusi terkait pengelolaan bangunan bersejarah tersebut. Bangunan Istana Bung Hatta merupakan tempat persinggahan kepala negara dan tamu negara, baik presiden maupun gubernur. Adapun fungsi itu telah dimulai sejak Wakil Presiden Republik Indonesia pertama, Mohammad Hatta dan dipertahankan hingga sekarang.

                Di sekitar Istana Bung Hatta, dahulunya merupakan kawasan bangunan kolonial. Sebagai bangunan tua, pengendalian terhadap; tata bangunan di sekitar objek dan lalu lintas pengunjung perlu diatur. Diketahui melalui kegiatan tersebut bahwa Pengelola Gedung Istana Bung Hatta telah melakukan pengaturan yang diperlukan terkait upaya mempertahankan nilai penting bangunan bersejarah tersebut.

                Pelaksanaan kegiatan di Istana Bung Hatta berhasil mendapatkan informasi baru. Di belakang bangunan tersebut, tim pelaksana menemukan bungker yang cukup luas. Akan tetapi, hampir 80% struktur bungker itu telah tertutup tanah. Informasi lain yang diperoleh oleh tim dari masyarakat sekitar, adalah adanya struktur bata di halaman Istana Bung Hatta.

                Setelah menyelesaikan kegiatan di Istana Bung Hatta, tim bergerak menuju Jam Gadang. Jam Gadang merupakan landmark-nya Kota Bukittinggi, bahkan pedalaman Sumatera bagian tengah. Sebelum tahun 2005, para wisatawan boleh menaiki bangunan Jam Gadang. Artinya, para pengunjung mendapat akses untuk memasuki ruang mesin yang menggerakkan Jam Gadang. Akan tetapi, akses tersebut disalahgunakan oleh para pengunjung. Banyak jejak perusakan (vandalism) yang ditemukan oleh petugas. Bagian lonceng yang merupakan bagian dari Jam Gadang dipenuhi banyak coretan. Selain itu sulitnya mengatur pengunjung yang hendak merasakan sensasi menaiki Jam Gadang, menyebabkan beban bangunan semakin berat. Hal ini tentu mengkhawatirkan.  Sekalipun memiliki struktur beton, namun usia bangunan yang sudah tua tidak mampu menahan banyak beban. Khawatir atas kondisi tersebut, pada tahun 2005, pengelola Jam Gadang memutuskan untuk menutup akses masuk wisatawan ke bagian dalam bangunan.

Selain melihat langsung keadaaan fisik objek tim studi juga melakukan pengamatan di lingkungan Jam gadang. Mengingat Jam Gadang merupakan salah satu objek favorit yang ramai dikunjungi wisatawan dari segala penjuru negeri, perilaku pengunjung tidak luput dari pengamatan. Perilaku pengunjung memiliki kaitan erat dengan upaya pelestarian Jam Gadang. Pada masa pandemik, di lapangan terjadi penurunan pengunjung.

                Satu hal yang menjadi catatan mengenai pemanfaatan yang berpotensi merusak objek ini adalah penggunaan petasan dan kembang api saat pesta menyambut tahun baru. Menurut penuturan  Fauzi, petugas Jam Gadang, mercon dan petasan yang dilontarkan oleh pengunjung ke udara, kadang meledak tepat di atas Jam Gadang. Suara dan getaran yang bisa ditimbulkan berefek negatif terhadap Jam Gadang. Selain mercon dan petasan, potensi kerusakan juga berasal dari masyarakat yang bermain layang-layang. Jika putus, dikhawatirkan benang layangan membelit Jam Gadang, ”syukur-syukur jika tidak nyangkut jarum, jika terjadi demikian, bisa rusak Jam Gadang, tutur Fauzi Azmi”.