oleh: Merlina Agustina Orllanda

Belanda telah memperoleh berjuta-juta dari Indonesia dengan cara tanam paksa tanaman-tanaman berharga dan, karena itu, pada masa ketika koloni itu sangat membutuhkan dana untuk menyediakan pendidikan bagi penduduk asli, Belanda terikat “demi kehormatan” untuk membayar budi atas dana berjuta-juta itu” (Van Deventer Dalam “De Gids” pada tahun 1899).

Berkat Pemikiran Humanis Belanda tersebut akhirnya Pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan sistem pendidikan kepada pribumi sejak awal abad XX.  Sosialisasi Pendidikan Kolonial saat itu bertujuan untuk mengembangkan pola pendidikan barat. Perkembangan pendidikan bermula dengan mendirikan volkschool  “sekolah desa” yang dibangun sesuai kemampuan masyarakat dan subsidi pemerintah (pelaksanaannya hanya 3 tahun dengan materi yang diajarkan hanya baca, tulis dan berhitung).  Program sekolah desa ini kemudian dilanjutkan ke vervolgschool” (sekolah sambungan untuk masa dua tahun).  Sistem ini kemudian menggantikan sekolah kelas dua yang bertujuan untuk mendidik anak negeri (Locher- Schoelen, Elsbeth : 1996).

Pada tahun 1912 pemerintah mendirikan 2500 sekolah desa demi menghimpun minat rakyat untuk bersekolah, namun pribumi tidak tertarik menempuh pendidikan tersebut sehingga sekolah-sekolah desa itu ditutup. Salah satu faktor karena Pendidikan Barat terkadang bertentangan dengan prinsip lokal, misal di Sumatera Barat anak gadis sangat dilarang untuk keluar rumah meski menempuh pendidikan. Kemudian, di awal 1920-an sistem pendidikan di Hindia Belanda menyediakan HBS (Hoogere Burgerschool) yang pelaksanaan pendidikannya selama lima tahun seperti STOVIA (sekolah kedokteran Hindia Belanda) dan HIK (Hoogere Kweekschool) sekolah teknik (Locher- Schoelen, Elsbeth : 1996).

Praktik pendidikan dalam nuansa Politik Etis memberi peluang bagi anak-anak pribumi untuk bisa melanjutkan pendidikan ke tahap yang lebih tinggi. Pemerintah mengarahkan jenjang studi berikutnya ke Eropa, namun banyaknya keinginan bersekolah akhirnya disediakan sekolah di Hindia Belanda. Representatif hal itu terbukti dengan  berkembangnya sekolah teknik dan sekolah kedokteran yang menyebabkan berdirinya HIS yang diperuntukkan bagi pribumi yang berminat menjadi guru. Perkembangan pendidikan terlihat pada kegiatan Pemerintah kolonial yang ketika itu memberi kesempatan kepada pribumi untuk mengikuti seleksi masuk ke sekolah normal, sekolah guru atau sekolah tukang (Locher- Schoelen, Elsbeth : 1996).

Terkait hal itu, dalam pelaksanaan sekolah HIS (Hollandsch Inlandsche School) Bahasa Belanda berperan sebagai bahasa pengantar.  Proses dalam pelaksanaan HIS adalah 7 tahun, bagi anak dari keluarga mampu akan diberi kesempatan untuk menempuh pendidikan ke sekolah lanjutan pertama yaitu MULO (Meer Uitgebreid Lager Onder wijs) dan akan melanjutkan ke AMS (Algemeene Middelbare School). Di samping itu, perkembangan pendidikan bisa dilihat dari pendirian OSVIA (sekolah pegawai yang setelah tamat akan dijadikan sebagai pegawai bupati).  Jenjang pendidikan ini membutuhkan waktu tujuh tahun (Locher- Schoelen, Elsbeth : 1996).

Fakta sejarah mengabarkan bahwa menempuh pendidikan di lingkungan barat membuat pribumi mengalami berbagai kendala baik itu dari segi biaya dan penempatan kedudukannya. Meskipun sudah menyesuaikan pendidikan barat, namun antara pribumi dan Bangsa Belanda terdapat hierarki sosial.  Biasanya pribumi tamat sekolah dari OSVIA (sekolah pegawai) hanya dijadikan sebagai pegawai rendahan.  Keadaan ini melahirkan pelebaran diferensial dalam penempatan tingkatan status sosial di masyarakat. Perkembangan pendidikan barat dalam naungan Pemerintah Kolonial telah menggeser keberadaan sekolah tradisional di Hindia Belanda.  Hal itu semakin akut tatkala muncul persepsi bahwa pendidikan barat lebih baik dari sistem tradisional.

 Menurut Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern: “Berkembangnya pendidikan dalam mewujudkan Ide Etis ini dipengaruhi pula oleh pemikiran Snock Hurgonje dan J. H Abendanon yang berinti pada “pendidikan yang ditujukan kepada elite pribumi dengan pengaruh serta gaya Eropa, misalnya penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar sehingga kelak pribumi ini dapat dipekerjakan dalam bidang administrasi pemerintahan Hindia Belanda, dengan demikian maka akan terlihat adanya hubungan yang bersifat patronase dimana pribumi yang diberi pendidikan akan membalas jasa Belanda dengan membantu segala program kerja pemerintahan Hindia Belanda”.

Sesuai dengan kenyataan yang berlaku, bahwa dengan berkembangnya pendidikan barat justru membuat pribumi menghadapi berbagai tantangan karena selalu diletakkan di bawah orang Eropa bahkan setelah orang Timur asing. Tanpa disangka riwayat sejarah pendidikan yang demikian justru berhasil menggugah semangat pribumi untuk mencari jati diri, mencari identitas bangsa (Local Genius). Hal itu karena pendidikan telah  menuntun anak bangsa untuk mengembangkan ide dalam mencari pemikiran sendiri atau dengan kata lain sebagai salah satu faktor yang menggariskan hari depan bangsa. Cermin dari hal itu terwujud lewat fenomena berdiri organisasi pergerakan nasionalis yang dipelopori pemuda-pemuda yang berhasil menempuh pendidikan dari luar negeri.  Adapun perkumpulan yang dimaksud seperti organisasi pergerakan seperti: seperti Budi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Dagang Islam (1908); yang kemudian diubah menjadi Serikat Islam pada tahun 1913, dan Indische Partij pada tahun 1912, Perhimpunan Indonesia pada tahun 1908.  Di samping itu ada pula organisasi yang bergerak dalam memajukan pendidikan anak bangsa seperti Taman Siswa dengan tokoh pendidikannya Ki Hajar Dewantara.

Ki Hajar Dewantara merupakan produk dari pendidikan barat yang merasa bahwa sistem pemerintah sangat tidak adil dan ideal bagi pendidikan pribumi. Sebagai sosok yang amat menjunjung kemanusiaan, Ki Hajar Dewantara ingin rakyat Indonesia dapat merasakan yang bangsa lain rasakan. Beliau pernah menempuh pendidikan di E.L.S.  (Europeesche     Lagere School) dan kemudian melanjutkan sekolahnya ke  STOVIA (School  tot  Opleiding  van  Inlandsche Artsen)  di Jakarta. Meskipun tidak lulus STOVIA, Ki  Hajar  Dewantara dapat bekerja  menjadi asisten apoteker. Sebagai cendekiawan muda Ki  Hajar  Dewantara  juga  menekuni pekerjaan menjadi wartawan. Ia membantu beberapa surat kabar seperti  Sedyotomo   (surat kabar   berbahasa Jawa), Midden Java dan De  Express (keduanya  adalah  surat      kabar      berbahasa      Belanda) (Soemarsono, 1991: 41).

Setiap tanggal 2 Mei selalu diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Hal itu dalam rangka mengenang jasa-jasa  Ki Hajar Dewantara dalam memperjuangkan kepentingan bangsa, khususnya memajukan pendidikan anak dalam negeri. Sebelum terjun ke bidang pendidikan, Ki Hajar Dewantara adalah pejuang politik. Demi mencapai Indonesia merdeka ia sempat berjuang dengan mendirikan Indische Partij pada 1912. Dalam organisasi itu Ki Hajar Dewantara berjuang bersama dua rekannya, yaitu dr. E.F.E. Douwes- Dekker (dr. Setyabudi) dan dr. Cipto Mangunkusumo sehingga dikenal Tiga Serangkai (Simbolon, 2006: 265). Sikap radikalnya terhadap penjajah pernah membawa Ki Hajar Dewantara bersama rekannya di buang ke Belanda. Pengasingan tidak memupus semangat nasionalismenya, justru di balik jeruji Ki Hajar Dewantara mendalami banyak hal dalam bidang pendidikan dan sekembalinya ke tanah air Ki Hajar  Dewantara kembali  berpartisipasi dalam medan perjuangan kemerdekaan.

Pada tanggal 28 November 1959 terbit SK Presiden No. 305. Maksud ketetapan presiden saat itu ialah menunjuk Ki Hajar Dewantara sebagai Pahlawan Kemerdekaan (Soemarsono, 1991: 43). Penghargaan tersebut diberikan berkat andil Ki Hajar Dewantara dalam memperjuangkan kepentingan bangsa. Berbekal pendidikan barat dan pengalaman di bidang jurnalistik, maka tokoh yang memiliki nama asli R.M. Suwardi Suryaningrat ini mulai memperhatikan langkah perjuangan Indonesia. Langkah awal yang ditempuh Sang Intelektual ialah mengkritisi dunia pendidikan dan berusaha memajukan unsur lokal ke dalam pendidikan sehingga ia dikenal sebagai Tokoh Pendidikan Nasional.

Sesuai dengan cita-cita yang tertanam dalam sanubarinya, maka Ki Hajar Dewantara mendirikan Sekolah Taman Siswa pada 3 Juli 1922 (Wiratmoko :4). Pada awalnya Taman Siswa hanya terdiri atas Taman Kanak-Kanak dan Kursus Guru. Prinsip lembaga tersebut mengusung pemikiran Ki Hajar Dewantara yaitu dengan menjadikan sejarah kebudayaan bangsa sebagai suatu pangkal tolak untuk mencapai kemajuan. Tokoh ini berpendapat bahwa upaya membangun bangsa ini akan terwujud dengan aman apabila pada prosesnya berpedoman pada kebudayaan lokal. Di saat itu Ki Hajar Dewantara ingin Indonesia tampil di pentas  internasional dalam bentuk nasional.

Bersumber pada dasar itu, Sekolah Taman Siswa Menanamkan pengaruhnya dengan memuat tradisi kebudayaan Jawa. Sifat fisik sekolah ini memberi pengarahan kepada suatu bentuk yang tidak dikenal di sekolah Barat. Banyak tekanan diletakkan pada keterampilan dan nilai nilai kehidupan Jawa, musik, tari, dan pembentukan watak  yang berdasar pada unsur Jawa. Hal itu menunjukkan kecintaan Ki Hajar Dewantara terhadap tanah air ketimbang harus mengaplikasikan pengaruh barat.

 Idelogi Ki Hajar Dewantara dalam Taman Siswa dianggap pemerintah sebagai ancaman. Sikap Ki Hajar Dewantara yang tidak mau menerima dana pemerintah dalam organisasinya dianggap menentang penguasa. Taman Siswa hanya sebuah lembaga pendidikan yang tak akan hadir dalam permukaan sejarah Pendidikan Indonesia tanpa promotor seperti Ki Hajar Dewantara. Sosok Ki Hajar Dewantara menerapkan sistem pendidikan berdasarkan kodrat alam atau bakat alamiah seseorang. Ia sangat menetang perintah, paksaan dan hukuman dalam pendidikan (Media, Edisi Mei 1996 :39).

Sikap Ki Hajar Dewantara menyebabkan berbagai cara dilakukan pemerintah untuk menghambat perkembangan organisasi itu. Terkait itu, pada tahun 1924 Pemerintah Hindia Belanda memberikan pajak yang memberatkan Taman Siswa sehingga barang-barang Taman Siswa pernah dilelang.  Ordinansi kolonial juga menyulitkan Ki Hajar Dewantara karena menuntut Taman Siswa untuk menyesuaikan pendidikan barat baik izin guru dan pelajaran yang diberikan. Pada tahun 1935 pemerintah menculik 60 guru Taman Siswa dan mengancam tunjangan anak pegawai negeri hanya diberikan bagi anak yang menempuh sekolah barat. Hal itu itu pernah membuat Taman Siswa ditutup selama setahun.  Hambatan kerap menghadang Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya, namun kecintaannya untuk pendidikan Indonesia tidak pernah padam. Di masa Jepang lembaga ini dibuka kembali meski hanya sekolah kejuruan.

Di dalam Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara menekankan “Panca Dharma Taman Siswa” yang terdiri atas dasar-dasar, yaitu (1) asas kemerdekaan (baik secara individu dan masyarakat), (2) asas kodrat alam (manusia tidak lepas dari kehendaknya, namun dapat bahagia jika pribadi bisa bersatu dengan kodrat yang membawa kemajuan/ keinginan seorang anak berkembang sewajarnya), (3) asas kebudayaan (memelihara kebudayaan bangsa ke arah kemajuan dengan kecerdasan/ menginginkan seorang anak didik dapat mengembangkan kebudayaan lokal), (4) asas kebangsaan (dalam pendidikan ditanamkan rasa cinta tanah air, persatuan, mencapai kebahagiaan lahir batin seluruh bangsa tanpa mengobarkan permusuhan dengan bangsa lain, (5) asas kemanusiaan (Ki Hajar Dewantara menginginkan agar seluruh manusia dapat mewujudkan rasa cinta kasih terhadap sesama, seluruh makhluk dan Tuhan/ menjunjung kesucian hati dan kemanusiaan).

Selain itu, bersama semboyan Taman Siswa Ki Hajar Dewantara menginginkan peran pendidikan akan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang dapat memberi teladan, motivasi dan pengaruh. Pada tahun 1923 terdapat semboyan Ki Hajar Dewantara  yang sampai saat ini menjadi pegangan dunia pendidikan yaitu “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madyo Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” artinya “pemimpin jika di depan memberikan teladan yang baik, jika di tengah dapat membangun motivasi orang yang dipimpinnya dan yang dibelakang dapat memberikan dorongan atau pengaruh”. Apabila direalisasikan dalam dunia pendidikan, maka seorang tenaga didik yang menjunjung semboyan itu akan menjadi contoh yang baik dan membiarkan anak didik mengembangkan akal  pikirannya, jika terdapat kekeliruan baru diarahkan.

Hari ini merupakan Hari Kelahiran Sang Tokoh Pendidikan yang pengaruhnya dapat dirasakan generasi penerusnya. Ki Hajar Dewantara dengan  Sekolah Taman Siswanya berhasil memberikan menggugah kesadaran nasional yang positif di kalangan orang Indonesia. Figur ini layak dikenang karena pemikirannya mewariskan nilai luhur. Tiap ajaran dalam perjuangan Ki Hajar Dewantara tidak luput dari menghargai kodrat alam, kebudayaan dan kemanusiaan. Pandangan tersebut hadir sebagai batasan perbuatan agar tidak lepas kendali. Berkat kehadiran Taman Siswa peserta didik ditanamkan jiwa merdeka dalam belajar meski sedang dijajah. Semangat Ki Hajar Dewantara menuntun anak didiknya saat itu untuk bertahan menikmati pelajaran dengan gerak jiwa, pikiran dan tenaga. Salah satu asas utama dalam Taman siswa ialah  hak untuk mengatur diri sendiri dan mengindahkan tuntutan kebersamaan yang serasi (Simbolon, 2006:666).

REFERENSI

Locher- Schoelen, Elsbeth. 1996. Etika Yang Berkeping-keping ; Lima telaah kajian Aliran Etis Dalam Politik Kolonial, terjm Nicolette P. ratih dan Th. Van de End. Jakarta : Djambatan.

Ricklefs. 1998.  Sejarah Indonesia Modern.  Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Simbolon, Parakitri. T. 2006. Menjadi Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka

Soemarsono. 1991. Riwayat Juang Para Pahlawan Bangsa. Surabaya : Karunia.

Mengenang Ki Hajar Dewantara Bapak Pendidikan Nasional. (Mei ) 1996. Media.

Wiratmoko, Deny. Sistem Pendidikan Taman Siswa : Studi Kasus Pemikiran Ki Bhajar Dewantara.  Pacitan : STKIP PGRI Pacitan. https://docplayer.info/57808284-Sistem-pendidikan-taman-siswa-studi-kasus-pemikiran-ki-hajar-dewantara-dheny-wiratmoko.html (Diakses 1 Mei 2020)