Tiga tahun sudah Provinsi Sumatera Barat memiliki warisan budaya dunia. Setelah melalui ragam tahapan nan sarat akan tantangan, pada 6 Juli 2019 lalu UNESCO menetapkan Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto sebagai warisan budaya yang diakui oleh dunia. Inilah warisan budaya kelima di Indonesia, dan pertama di Pulau Sumatera, yang mendapatkan pengakuan internasional.

Pada satu sisi, penetapan ini adalah bentuk pencapaian dari sinergi masyarakat dan pemerintah dalam memanfaatkan warisan tinggalan bersejarah. Tambang batu bara yang eksis sejak akhir abad ke-19 ini telah melahirkan peradaban baru bagi Sumatera Barat. Peradaban inilah yang coba untuk dirawat hingga tinggalannya masih dapat dinikmati saat ini.

Jika kita menapaki sejarah perkembangan Sawahlunto, setidaknya terdapat tiga pilar yang menjadi penopang aktivitas pertambangan pada kota di tepian lembah ini satu abad silam. Pembangunan fasilitas tambang di Kota Sawahlunto, jalur kereta penghubung Sawahlunto-Pelabuhan Teluk Bayur, dan ragam fasilitas di Pelabuhan Teluk Bayur, adalah tiga fasilitas yang saling berkait.

Ketiga pilar inilah yang menjadi penopang lahirnya peradaban baru di Provinsi Sumatera Barat, khususnya Sawahlunto. Nama Sawahlunto perlahan mulai dikenal seantero negeri, bahkan hingga ke dataran Eropa. Batu bara, atau yang dikenal dengan “emas hitam”, juga menjadi kebangaan bagi Belanda di tengah revolusi industri yang sarat akan persaingan memperoleh batu bara sebagai bahan bakar kala itu.

Satu abad berlalu. Berhentinya pertambangan batu bara oleh PT Bukit Asam pada akhir tahun 1990-an menimbulkan kesadaran kolektif di tengah-tengah masyarakat. Saat itu, jumlah penduduk di Sawahlunto mulai berkurang seiring migrasi akibat penghentian operasi tambang batu bara di kota ini.

Sebagai perbandingan, jika pada tahun 1995 terdapat 55.090 penduduk, jumlahnya berkurang menjadi 50.668 penduduk pada tahun 2000. Artinya, terjadi depopulasi yang cukup masif seiring deindustrialisasi yang terjadi.

Kondisi inilah yang menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat Kota Sawahlunto terkait eksistensi wajah kota. Sebagai upaya untuk membangkitkan geliat kota, masyarakat dan pemerintah mencoba memanfaatkan pilar-pilar peradaban yang tersisa. Inilah yang mendorong lahirnya Peraturan Daerah Kota Sawahlunto Nomor 2 tahun 2001 tentang visi Kota Sawahlunto tahun 2020 menjadi Kota Wisata Tambang yang Berbudaya.

Kepala Dinas Kebudayaan Peninggalan Bersejarah dan Permuseuman Kota Sawahlunto Hilmed S,Pt. M.M, dalam acara bertajuk “Sarasehan Tiga Tahun Pasca Ditetapkannya OCMHS sebagai Warisan Budaya Dunia” di Gedung Pusat Kebudayaan Sawahlunto pada Rabu (6/7/2022) mengatakan, lahirnya visi bersama ini merupakan wujud kepedulian masyarakat pada pentingnya upaya pelestarian warisan budaya. Inilah langkah awal bagi Sawahlunto dalam menapaki jalan terjal sebelum berhasil meraih pengakuan dunia.

Daya tarik

            Selain pencapaian pada satu sisi, penetapan sebagai warisan budaya dunia di sisi lain juga melahirkan potensi untuk membentuk wajah kota. Menurut Kepala bidang Destinasi dan Industri Pariwisata Dinas Pariwisata Sumatera Barat Doni Hendra, penetapan Warisan Budaya Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto (WBTBOS) menjadi jalan pembuka bagi Sumatera Barat untuk melahirkan destinasi pariwisata berstandar internasional berbasis cagar budaya.

            Sumatera Barat kini setidaknya memiliki dua daya tarik untuk menumbuhkan embrio pariwisata berbasis warisan budaya dunia. Pertama, pariwisata primer, yang mengandalkan warisan budaya Tambang Batu Bara Ombilin di tiga zona.

            Pada zona pertama, atau yang disebut sebagai zona inti, terdapat Kota Tambang Sawahlunto yang menjadi andalan. Area ini menyimpan banyak tinggalan bersejarah seperti situs pertambangan Soengai Doerian, kota perusahaan, hingga sarana pembangkit listrik.

            Sementara zona kedua memiliki cakupan wilayah yang begitu luas. Pasalnya, zona ini terdiri dari fasilitas dan infrastruktur perkeretaapian yang melalui tujuh kabupaten/kota di Sumatera Barat, yakni Kota Sawahlunto, Kota Solok, Kabupaten Solok, Kabupaten Tanah Datar, Kota Padang Panjang, Kabupaten Padang Pariaman, dan Kota Padang. Pada zona ini terdapat beberapa cagar budaya terkait perkeretaapian seperti Stasiun Batu Tabal, Jembatan Tinggi, hingga Stasiun Kayu Tanam.

            Fasilitas penyimpanan batu bara atau kolenmagazijn di kawasan Pelabuhan Teluk Bayur, atau yang dulu dikenal dengan sebutan Emmahaven, adalah area ketiga yang menjadi anasir dari konsep pariwisata primer yang diusung. Area ini merupakan bagian dari kawasan WBTBOS.

Ketiga zona ini diyakini menjadi daya tarik utama untuk membangun pariwisata berbasis warisan budaya dunia. Namun, daya tarik yang dapat digali tak henti pada zona utama. Pariwisata yang berada di sekeliling WBTBOS juga menjadi daya tarik yang dapat dikembangkan sebagai pariwisata sekunder. Danau Singkarak yang bersisian dengan jalur kereta api, atau Istana Pagaruyung yang terletak di Kabupaten Tanah Datar, menjadi bagian yang dapat ditawarkan dalam paket pariwisata pendamping WBTBOS.

Koordinator Masyarakat peduli Kereta Api Sumatera Barat Yuhefizar mengatakan, dari beragam potensi pariwisata yang terdapat di area WBTBOS, pemanfaatan jalur kereta api adalah potensi utama yang dapat digali sebagai daya tarik. Lanskap alam, memori kolektif masyarakat Sumatera Barat tentang kereta api di masa lampau, hingga kehadiran lokomotif uap “Mak Itam” merupakan modal berharga yang harus dimanfaatkan.

Lokomotif uap “Mak Itam” dapat dimanfaatkan sebagai ikon utama pariwisata kawasan WBTBOS. Menurut Yuhefizar, Mak Itam dapat difungsikan satu kali dalam sepekan sebagai kereta wisata dari Sawahlunto hingga Muara Kalaban. Selanjutnya, dibutuhkan kereta perintis hingga ke Stasiun Batu Tabal untuk melayani wisatawan. Tujuannya tak lain adalah memberi ruang bagi Mak Itam agar tidak digunakan setiap hari sebagai bentuk pelestarian pada lokomotif pengangkut batu bara ini.

Ragam tantangan

Di balik daya tarik nan belum sepenuhnya digarap, terselip ragam tantangan dan pekerjaan rumah untuk menghadirkan pariwisata berbasis warisan budaya dunia. Secara garis besar, terdapat tiga tantangan utama yang harus diselesaikan secara kolektif antara pemerintah pusat, masyarakat, dan pemilik aset, yakni pemeliharaan cagar budaya, sosialisasi, dan pengelolaan.

Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat Teguh Hidayat M.Hum mengatakan, pekerjaan rumah utama yang perlu menjadi perhatian bagi kawasan WBTBOS adalah pelindungan bagi setiap objek cagar budaya.  Pada kawasan ini terdapat 51 signifikan objek yang harus dilindungi dan dilestarikan. Objek ini tersebar pada tujuh kabupaten/kota seperti kompleks administrasi pertambangan di Kota Sawahlunto, Stasiun Kereta di Kota Padang Panjang, hingga fasilitas penyimpanan batu bara di Kota Padang.

Menurut Teguh Hidayat M.Hum, perlu dilakukan perbandingkan kondisi cagar budaya dalam kawasan WBTBOS sebelum dan setelah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia. Hal ini perlu dilakukan sebagai bahan evaluasi sebelum tahap pemanfaatan bagi masyarakat luas.

“Setelah ditetapkan menjadi warisan dunia, yang paling penting adalah menjaga dan melindungi semua kawasan itu. Menjaga keaslian, lanskap, bendanya, fisiknya, budayanya, yang hidup disitu. Karena setiap tahun UNESCO itu akan evaluasi warisan dunia, dan setiap tahun ada catatan yang harus dipenuhi,” kata Teguh Hidayat M.Hum.

Pemeliharaan ini tentunya membutuhkan kerja sama dari semua pemangku kepentingan, mulai dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pemerintah daerah, hingga BUMN yang memiliki aset di lingkungan WBTBOS. Salah satu tantangan pemeliharaan adalah pada jalur kereta api yang sebagian telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai hunian atau lokasi usaha. Butuh sinergi antara pemerintah dengan PT Kereta Api Indonesia (Persero) untuk mengembalikan bantalan rel yang hilang agar dapat kembali dimanfaatkan.

Tantangan kedua adalah sosialisasi. Kepala bidang Destinasi dan Industri Pariwisata Dinas Pariwisata Sumatera Barat Doni Hendra mengatakan, masih banyak masyarakat di Sumatera Barat yang belum mengetahui informasi tentang penetapan Tambang Batu Bara Ombolin Sawahlunto sebagai warisan budaya dunia. Pandemi Covid-19 yang memperlebar ruang berjarak turut mempersulit upaya sosialisasi selama dua tahun terakhir.

Menurut Doni Hendra, belum adanya suatu badan pengelola yang menjadi koordinator untuk mengelola WBTBOS juga menjadi hambatan tersendiri bagi pengembangan pariwisata berbasis warisan budaya dunia. Oleh sebab itu, pemerintah daerah mendorong dibentuknya suatu badan khusus untuk melakukan koordinasi pengelolaan WBTBOS.

Menanggapi kebutuhan ini, Kepala BPCB Sumbar Teguh Hidayat M.Hum menyarankan pemerintah daerah agar tidak hanya terfokus pada pembentukan badan pengelola. Sebagai solusi, tim kecil dapat dibentuk lebih awal sebagai wujud sinergi pengelolaan WBTBOS. Gagasan ini dapat dilakukan agar potensi yang dimiliki pada kawasan WBTBOS dapat segera dimanfaatkan secara optimal.

Bahu-membahu

            Guna menggali potensi, menghadapi tantangan, dan mencapai dampak akhir bagi kesejahteraan masyarakat, diperlukan program khusus yang dapat menggerakkan setiap pemangku kebijakan, baik dari pemerintah, BUMN, maupun masyarakat. Kepala Dinas Kebudayaan Sumatera Barat Syaifullah S.Pd, MM, mengatakan, konsep kerja sama yang saling memberi manfaat perlu dikedepankan dalam pengelolaan WBTBOS. Pengelolaan yang dilakukan sejatinya dapat memberi efek berganda (multiplier effect) bagi kehidupan masyarakat luas.

Sejumlah program telah disiapkan oleh pemerintah Provinsi Sumatera Barat dengan konsep sinergi. Pada tahun ini, sosialisasi mulai dilakukan agar semakin banyak masyarakat yang mengetahui tentang WBTBOS. Guna memperluas daya jangkau sebaran informasi, pegiat pariwisata, Youtuber, Blogger, hingga media massa nasional dan internasional akan dilibatkan. Harapannya, publikasi secara masif tentang WBTBOS dapat menghiasi ruang publik.

Pada akhirnya, jika menengok potensi yang dimiliki, maka terlihat dengan sangat jelas besarnya potensi yang dimiliki oleh Sumatera Barat untuk mengembangkan pariwisata berbasis warisan budaya dunia. Namun, tanpa eksekusi, potensi ini masih sebatas embrio yang perlu dikembangkan secara lebih masif. Sinergi dan eksekusi menjadi kunci guna menetaskan embrio yang dimiliki untuk dimanfaatkan sebagai pariwisata berbasis warisan budaya dunia.