10 Januari 1966 adalah bagian catatan sejarah yang mengingatkan kita pada aksi mahasiswa. Rasa tidak puas dan haus keadilan adalah dasar kemunculan demonstrasi mahasiswa 1966. Aksi anak muda yang terjadi erat kaitannya dengan penentangan terhadap peristiwa G30S 1965. Saat itu massa menempuh aksi damai dan aksi militant. Aktivitas yang dikomandoi KAMI tersebut mengangkat aksi TRITURA sebagai wujud menderita atas krisis nasional.
Persis dengan narasi itu, maka aksi mahasiswa pada 10-13 Januari 1966 adalah bentuk kekecewaan terhadap rezim yang berkuasa. Sikap kurang tanggap atas kelaliman komunis menyulut tercetusnya TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat) yang mewakili dahaga rakyat untuk menurunkan harga barang, merombak Kabinet Dwikora dan mengenyahkan Partai Komunis Indonesia.
Kegaduhan konstelasi politik memicu perbedaan pendapat antar kalangan mahasiswa. Saat itu mahasiswa terpecah menjadi sayap kanan dan sayap kiri. Bagi kelompok berhaluan kiri seperti Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI),Gerakan Mahasiswa Indonesia (Germindo, Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (Perhimi) serta Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) meragukan PKI sebagai sutradara dari Peristiwa Berdarah G30SPKI 1965. Di lain pihak kelompok kanan seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpunann Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKR), serta Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menghendaki agar organisasi kidal tersebut diadili.
Dari benturan dua sudut yang divergen itu melahirkan wadah baru di tubuh PMII yaitu KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa). Organisasi ini yang nantinya akan menjadi pionir dalam menentang sisa pemerintahan Soekarno. Perkumpulan itu sangat yakin bahwa PKI adalah sutradara dibalik peristiwa mencekam di penghujung tahun 1965.
Ketidakstabilan politik dalam mempertahankan Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia berdampak pada ketidakmampuan Kabinet Dwikora dalam mengendalikan kehidupan sosial ekonomi di tanah air. Pada waktu itu rakyat meronta akibat naiknya harga beras, bensin dan kendaraan umum. Soe Hoe Gie menyebutkan dalam karyanya (Zaman Peralihan 1995), bahwa dalam waktu setengah bulan harga angkutan umum naik hingga 1000 rupiah. Ihwal tersebut mengiring para mahasiswa yang haus keadilan mengunjungi Gedung Sekretariat pada 10 Januari 1966.
Unjuk rasa yang berlangsung diramaikan oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiwa Indonesia), KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), KAWI (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia), KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia) dan sebagainya. Bukan Chaerul Shaleh (Wakil Perdana Menteri) yang ditemui rombongan tersebut, melainkan semburan gasi air mata. Keadaan kronis itu tidak menghentikan langkah mahasiswa untuk melakukan long march yang diperpanjang hingga tanggal 13 Januari 1966. Suasana genting akhirnya mendorong Soekarno melakukan reshuffle kabinet.
Pada 21 Januari 1966 Soekarno mengumumkan kabinet baru. Keputusan presiden yang telah terealisasi itu, masih tidak sesuai dengan cita-cita mahasiswa sehingga aksi protes kembalin dilaksanakan pada 24 Februari 1966. Pada momen itu terjadi insiden berdarah yang menewaskan salah satu mahasiswa Universitas Indonesia (Arif Rahman Hakim). Akibat kericuhan yang terjadi pemerintah dengan tegas membubarkan KAMI. Antipati terhadap pemerintah kemudian dilanjutkan oleh KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) yang pada masa itu mengobrak-abrik Departemen Luar Negeri sebagai tempat kedudukan Menteri Subandrio.
Berakar dari ekshibisi mahasiswa, maka MPRS menyadari bahwa kemerosotan ekonomi disebabkan oleh minimnya pengawasan yang efektif dari DPR terhadap kebijaksanaan ekonomi. Saat itu kepentingan ekonomi tumbang dari kepentingan politik karena pemikiran rasional dalam memecahkan masalah ekonomi terkiri. Keadaan itu membuat MPRS menemukan jalan keluar dengan mengadakan stabilitas dan rehabilitas seperti yang termaktub dalam ketetapan No.XXIII/ MPRS/ 1966 tentang pembaharuan Kebijakan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan yang pada hakikatnya merupakan suatu konsepsi strategi untuk menanggulangi kemerosotan ekonomi yang terjadi sejak tahun 1955. Solusi pemerintah untuk membenahi problem ekonomi dengan melakukan pengendalian inflansi, rehabilitas kebutuhan pangan, rehabilitas prasarana ekonomi, peningkatan kegiatan ekspor, dan pencukupan kebutuhan pangan.
Ikhtiar mahasiswa 1966 adalah wujud resistansi dalam memperjuangkan kehidupan sejahtera. Hari ini mengingatkan kita untuk menghargai kemerdekaan dan kebahagiaan. Sejatinya Tritura adalah sejarah yang menggambarkan peran mahasiswa sebagai anak bangsa yang peristiwanya tak lekang oleh waktu karena terukir dalam kisah sejarah.