Pulau Penyengat adalah daratan Melayu yang artistik dan mengantongi ruahan keagungan sejarah. Wajah lampau “Pulau Air Tawar” ini merupakan representatif dari rumpun melayu. Konon wilayah tersebut pernah menjadi pusat pertahanan pemerintahan Kerajaan Riau-Johor dan Riau-Lingga sehingga sangat proporsional jika jagat Penyengat dihuni ± 45 objek cagar budaya, salah satunya Masjid Raya Sultan Riau.

Bersendi pada UU Cagar Budaya No 11 Tahun 2010, maka Masjid Raya Sultan Riau adalah bangunan bersejarah yang patut dilestarikan karena memiliki nilai arkeologi dari pemikiran manusia lampau. Objek budaya dengan nomor inventaris 29/BCB-TB/C/01/2007 ini dikelola oleh Pemerintah Kota Penyengat dan BPCB Sumatra Barat.

Sinkron dengan informasi itu, maka riwayat sejarah tak menyangkal bahwa Bumi Penyengat tempo dulu berperan sebagai kesatuan politik dan budaya bercorak Islam. Di masa Kepemimpinan Raja Ja’far Penyengat menjelma sebagai pusat perniagaan yang ramai dikunjungi. Kala itu sang raja mendorong berkembangnya kehidupan dan dinamika Keislaman di Penyengat dan di Riau-Johor. Dengan tampuk kekuasaanya, Raja Ja’far mendatangkan Ahli Agama Islam ke Riau-Johor. Ikhtiar itu kelak dilanjutkan oleh putranya Yang Dipertuan Muda Raja Abdul Rahman (1831‒1844 M).

Raja Abdul Rahman merupakan tokoh yang memprakarsai berdirinya Masjid Raya Sultan Riau. Pada 1 Syawal 1832,  sang raja menghimpun warganya untuk gotong royong membangun  masjid. Hal itu sesuai dengan hasil pendataan tenaga pelestarian BPCB Sumbar, yang menerangkan bahwa Masjid Raya Sultan Riau didirikan raja bersama 5000 penduduk Pulau Penyengat.

Terpaut itu, Letak masjid merupakan ketetapan Raja Abdul Rahman agar simbol penting kekuatan Islam tersebut dapat dilihat dari Tanjung Pinang yang saat itu menjadi pos kekuasaan Belanda. Sepeninggal Raja Abdul Rahman kedudukan Yang Dipertuan Muda dipegang saudaranya, Yang Dipertuan Muda Raja Ali (1844‒1857 M). Raja Ali kemudian menyelesaikan pembangunan Masjid Raya.

Masjid Raya Sultan Riau berada di Kampung Jambat, Desa Penyengat, Kecamatan Tanjung Pinang  Kota, Kabupaten Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Bangunan berukuran 20m × 18 m ini ditopang oleh empat buah tiang beton. Pada keempat sudut masjid terdapat menara untuk  bilal mengumandangkan adzan. Kemudian itu, tepat di bagian depan pintu utama masjid terdapat 13 buah anak tangga. Atap masjid memiliki 13 kubah berbentuk bawangan. Total dari kubah dan menara masjid secara keseluruhan adalah 17 yang melambangkan jumlah rakaat shalat fardu.

Masjid Raya Sultan Riau merupakan salah satu objek unik yang patut ditelusuri. Tinggalan masa lalu ini sangat mudah dijangkau karena berada di kawasan wisata Pulau Penyengat. Sebagai salah satu warisan Melayu dari Tanjung Pinang , Masjid Raya merupakan kolaborasi dari sentuhan Melayu, India, Arab dan Turki.  Hal yang menjadikan cagar budaya ini semakin istimewa karena komponennya terbuat dari putih telur, pasir, tanah liat, dan kapur sehingga sangat mengagumkan bila saat ini pesona Masjid Raya Sultan Riau masih eksis di antara peninggalan Islam lainnya.

Konstruksi tegak nan kukuh pada Masjid Raya adalah kisah lampau namun wujud nyata di masa kini. Berdasarkan historinya, dalam pembuatan masjid didatangkan pula para pekerja India dari Singapura. Di waktu itu, secara kebetulan banyak dermawan yang menyumbangkan telur sebagai bahan pangan sehingga sesuai pengetahuan pekerja India tersebut akhirnya putih telur digunakan untuk merekatkan bangunan pada Masjid Raya Sultan Riau.

Selanjutnya, sebagai  masjid berkubah pertama di nusantara,  Masjid Raya Sultan Riau merupakan wujud dominasi Islam di Pulau Penyengat. Kesan mewah objek ini tidak hanya pada pesona bangunan, tapi juga berkat narasi sejarahnya. Faktor tersebut yang menjadi daya pikat dalam menarik simpati pelancong untuk berburu kisah di Pulau Penyengat (Merlina Agustina Orllanda).