Klenteng See Hien Kiong (Tri Dharma) terdaftar sebagai cagar budaya di BPCB Sumatera Barat dengan nomor inventaris 06/BCB-TB/A/01/2007. Klenteng ini berada di Jl. Kalenteng No. 321, Kelurahan Kampung Pondok, Kecmatan Padang Barat, Padang.

Keberadaan Klenteng See Hien Kiong (Tri Dharma) di Padang tidak terlepas dari eksistensi masyarakat etnis Tiong Hoa sebagai masyarakat pendukung kebudayaan tersebut khususnya di Kota Padang. Pada umumnya masyarakat etnis Tiong Hoa ini bermata pencaharian sebagai pedagang atau saudagar. Aktivitas perdagangan orang Tiong Hoa dengan orang Minangkabau sudah diawali berabad yang lalu, ketika orang Tiong Hoa melakukan perdagangan internasional dengan raja-raja di wilayah Nusantara. Pelayaran dilakukan dari Tiongkok sampai ke Teluk Aden di Asia Barat melalui Selat Malaka (Victor Purcell, The Chinese in Southeast Asia, London: Oxford University Press, 1951 dalam Erniwati, Asap Hio dari Ranah Minang, Yogyakarta, 2007, hal 3).

Jumlah orang Tiong Hoa yang datang ke Sumatera Barat semakin meningkat, ketika jalur perdagangan lada juga dibuka di pantai barat Sumatera sejak abad ke-13. Perdagangan lada dilakukan melalui jalur sungai dan jalan setapak dari daratan tinggi ke pelabuhan di pantai Pariaman, Tiku, Ulakan, Koto Tengah dan Pantai Padang yang kemudian dikenal sebagai Pantai Pariaman (Piaman) sampai pertengahan abad ke-17. (Christine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang sedang Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847, dalam Erniwati, Hio dari Ranah Minang, Yogyakarta, 2007,hal 3). Jumlah orang Tiong Hoa yang tinggal menetap di sekitar pelabuhan di Padang dan Pariaman semakin meningkat setelah VOC berhasil mengambil alih Padang dan Pariaman dari tangan Aceh pada tahun 1620.[1] Pada tahun 1825 di Padang ditemukan 1.422 orang Tiong Hoa, sedangkan di Pariaman 25 orang dan meningkat menjadi 60 orang pada tahun 1833 (Elizabeth. E. Graves. The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in the Nineteenth Century, New York: Cornell University, 1981, dalam Erniwati, Hio dari Ranah Minang, Yogyakarta, 2007,hal 6).

Pertumbuhan pemukiman Tiong Hoa terjadi secara pesat, ketika imigran Cina datang seiring  dengan meningkatnya kegiatan Belanda untuk mengekploitasi kekayaan alam Indonesia.[2] Selain karena kegiatan eksploitasi Belanda, sebahagian besar pemukiman Tiong Hoa di Indonesia terbentuk akibat proses aktivitas perdagangan orang Tiong Hoa di kota-kota pelabuhan yang memberikan peluang bagi mereka untuk beraktivitas. Hal ini juga di dorong oleh adanya peraturan Pemerintah Belanda yang mengharuskan penduduk asing untuk tinggal disuatu pemukiman khusus dan adanya tingkatan golongan yang dibentuk Belanda di Hindia Belanda (I. Wibowo, Restorasi dan Rekontekstualisasi Masalah Cina dalam Erniwati hal 64).

Orang Tiong Hoa mulanya tinggal di daerah pelabuhan di sepanjang pantai barat Sumatera, yaitu pelabuhan Pariaman, Padang, Painan dan Tiku. Walaupun orang Tiong Hoa ditemukan tinggal di pelabuhan Painan dan Tiku, namun pemukiman Tiong Hoa terbentuk hanya di Pariaman dan Padang.[3] Hal ini kemungkinan disebabkan karena aktivitas perdagangan mereka lebih terfokus di Padang yang letaknya tidak jauh dari Pariaman, sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan pada masa Pemerintahan Hindia Belanda.

Untuk mengakomodir kebutuhan agama (aspek religius) etnis Tiong Hoa di Kota Padang tentunya dibutuhkan suatu tempat untuk melakukan aktifitas keagamaan yang dalam hal ini adalah klenteng. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Indra Budi Dermawan, ketua Majlis Rohaniawan Tri Dharma Provinsi Sumatera Barat, ketua Walubi Prov. Sumatera Barat dan berdasarkan terjemahan Prasasti (batu peringatan) yang terdapat di Klenteng Se Hien Kiong diketahui bahwa kebutuhan sebuah klenteng bagi etnis Tiong Hoa di Padang adalah untuk melakukan segala amalan keramat (HUT). [4]

Dari sumber otentik (prasasti atau batu peringatan) yang sudah dialih bahasakan diketahui bahwa Klenteng (Kwan Im Teng) Se Hien Kiong ini pada awalnya didirikan oleh marga Tjiang dan Tjoan Tjiu yang datang berniaga ke Kota Padang. Namun dalam prasasti ini tidak disebutkan kapan Klenteng (Kwan Im Teng) ini didirikan.

Namun berdasarkan tinggalan yang diduga masih asli berupa lonceng (genta) yang terdapat pada klenteng diketahui pertanggalan pembuatan lonceng/genta adalah tahun 1841.[5] Berdasarkan hal tersebut itulah diperkirakan pendirian Klenteng Se Hien Kiong pada tahap awalnya. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa pendirian klenteng ini sebelum dan sesudah pertanggalan dari lonceng tersebut. Lonceng/genta ini sekarang tidak digunakan lagi mengingat faktor usia lonceng yang sudah tua dan pada beberapa bagian lonceng sudah berkarat dan pecah. Walaupun klenteng ini didirikan oleh marga Tjiang dan Tjoan Tjiu, namun peruntukan klenteng ini secara keseluruhan adalah untuk etnis Tiong Hoa (Hok Hwa) di Padang pada umumnya.

Arti kata Se Hien Kiong ini berasal dari kata Se: barat dan kependekan dari “Se Tjong”, Hien: Timbul atau terbit (maknanya agama yang terbit dari “Se Tjong”), Kiong: balairung atau tempat kedudukan. Jadi secara keseluruhan Se Hien Kiong memiliki arti balairung tempat kedudukan HOET yang beragama Budha. Secara umum kelenteng ini diperuntukan untuk umat Tri Dharma. Tri Dharma berarti tiga aliran (ajaran) yang terdiri dari agama/ajaran Budha aliran Mahayana, Tao, dan Konghucu.

Pada tahun 1861, klenteng ini terbakar karena kelalaian dari pendeta (Sae Kong). Pembangunan Kelenteng (Kwan Im Teng) Se Hien Kiong pada tahap kedua ini diprakarsai oleh Kapten (Cina) Lie Goan Hoat, Letnan (Cina) Liem Soen Mo dan Lie Bian Ek. Berdasarkan hasil mufakat, mereka berkesimpulan bahwa pendirian kelenteng harus segera dilakukan. Uang untuk kebutuhan pembangunan kelenteng ini merupakan uang pinjaman. Sedangkan beban biaya pembayarannya nanti akan dibebankan pada pajak dan hasil pasar (loos bambu) yang didirikan di sekitar di areal kelenteng, kelenteng itu sendiri dan Tanah Kongsi.

Salah satu kesulitan dalam pembangunan kelenteng ini adalah tenaga teknis (tukang kayu) yang sangat sulit didapatkan untuk membangun kelenteng. Karena memang arsitektur bangunan kelenteng ini sangat spesifik, dan diluar daerah rantau Cina sedikit sekali ditemukan adanya kelenteng sehingga keberadaan tukang kayu yang bisa untuk melaksanakan pembangunan kelenteng ini juga sangat susah. Berdasarkan fakta tersebut maka Kapten (Cina) Lie Goan Hoat mengutus seorang anaknya yang bernama Khong Teek berlayar ke Cina untuk mencari tukang kayu yang pandai dan ahli untuk membangun kelenteng. Jumlah keseluruhan tukang kayu yang didatangkan dari Cina ini adalah 10 (sepuluh) orang. Berdasarkan Prasasti (batu peringatan) tersebut tertulis bahwa pendirian kelenteng ini dimulai pada tahun Cina Koei Yoe dan bulan 12 tanggal 3, dan baru rampung pada tahun Peng Tji bulan 12 dengan lama pengerjaan 4 tahun.[6]

Setelah pembangunan kelenteng ini rampung, maka sebagai peringatan bagi jasa-jasa Letnan (Cina) Liem Soen Mo dan Lie Bian Ek serta bagi etnis Tiong Hoa Padang khususnya dibuatkan Prasasti (batu peringatan) oleh Kapten (Cina) Lie Goan Hoat pada tanggal 1 November 1905.

Pada tahun 2009, bangunan Kelenteng Se Hien Kiong ini merupakan salah satu bangunan cagar budaya yang hancur akibat gempa yang melanda Kota Padang. Akibatnya aktivitas keagamaan Tri Dharma di Kota Padang menjadi terhambat. Untuk sementara umat Tri Dharma Kota Padang melakukan aktivitas keagamaannya di bangunan sederhana (bersifat sementara) yang terletak di depan bangunan kelenteng lama.

Berdasarkan daftar inventaris Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar dan hasil pengamatan atau kajian tim di lapangan,  tim meyimpulkan bahwa Kelenteng Se Hien Kiong merupakan salah satu tinggalan (warisan) kebudayaan etnis Tiong Hoa di Kota Padang pada masa kolonial Belanda.  Istilah warisan adalah merupakan terjemahan dari kata heritage, populer di kalangan arkeolog dan arsitek di Indonesia. Sehubungan dengan konsep warisan budaya, maka dapat juga dikatakan bahwa warisan budaya tersebut adalah warisan sejarah karena konteksnya muncul pada masa lalu, baik yang berwujud berupa materi (tangible) maupun yang non benda (tangible).[7]

————————————————————————————

 

 

 

 

 

 

[1] Erniwati, Hio dari Ranah Minang, Yogyakarta, Ombak, 2007,hal 4.

[2] Erniwati, ibid hal 64

[3] Lebih lanjut lihat Christen Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang sedang Berkembang Sumatera Tengah 1784-1847, Terjemahan, Jakarta: INIS, 1992.

[4] Prasasti ini dahulunya terdapat di sisi timur dan barat bagian dalam Kelenteng See Hien Kiong yang berbahan batu pualam warna hitam. Sekarang Prasasti ini karena alasan keamanan dan kerusakan kelenteng (karena gempa) disimpan di gudang yang terdapat di bagian belakang Kelenteng. Prasasti ini ditulis oleh Lie Goan Hoat di Padang pada tanggal 1 November 1905. Prasasti ini sudah dialih bahasakan oleh Bapak Indra Budi Dermawan tanggal 1 Mei 2008.

[5] Lonceng (genta) ini merupakan pesanan warga etnis Tiong Hoa Padang ke Cina (Hokkian) 1841 untuk dipakai di Kelenteng See Hien Kiong.

[6] Belum diketahui tahun masehi pendirian klenteng ini. Dibutuhkan pengalihan dari tahun Cina ke tahun masehi, dan hal ini merupakan hal yang rumit karena harus memakai sumber-sumber yang sangat banyak dan ahli dibidangnya. Namun diduga pendirian klenteng ini sezaman dengan pertanggalan yang terdapat pada lonceng/genta (diduga masih asli) yang terdapat di dalam bangunan.

[7]  DR. MHD. Nur, M.S dan Prof. DR. Herwandi, M. Hum. Dalam Artikel Ilmiah: Manajemen Pengelolaan Warisan Sejarah di Sumatera Barat: Mencari Model yang dapat memelihara Pelestarian Nilai Keaslian. Padang. Fakultas Sastra Universitas Andalas. 2009. Hal 5.