Sumatera Barat, sebuah provinsi di Pulau Sumatera dengan anugerah peninggalan sejarah yang beragam mewakili berbagai zaman, mulai dari zaman prasejarah, islam, hingga zaman kolonial.  Salah satu kabupaten di Provinsi sumatera Barat dengan potensi peninggalan sejarah yang melimpah adalah Kabupaten Tanah Datar. Kabupaten yang terletak di tengah-tengah Provinsi Sumatera Barat ini memiliki banyak peninggalan terutama peninggalan sejarah berupa Cagar Budaya. Salah satu yang sangat unik adalah Masjid Rao-rao.

Masjid Raya Rao-rao merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia yang masih kokoh berdiri hingga saat ini. Masjid ini sangat mudah untuk dijumpai. Terletak di Nagari Rao-rao, Kecamatan Sungai Tarab, persis di jalan raya lintas Batusangkar – Bukittinggi. Masjid dengan luas 16 x 16 meter ini memiliki keunikan gaya arsitektur yang memadukan corak arsitektural dari tiga bangsa: Melayu (Minangkabau), Eropa (Italia dan Belanda), dan Timur Tengah (Persia).

Citra khas Minangkabau terwujud pada atap masjid. Atap masjid bersusun tiga terbuat dari seng dan di atasnya terdapat menara berbentuk segi empat beratap gonjong empat yang mengarah pada empat penjuru mata angin. Atap yang segi empat beratap gonjong empat melambangkan bahwa di Nagari Rao-rao terdapat empat Suku yaitu Petapang Koto Anyer, Bendang Mandahiliang, Bodi Caniago, dan Koto Piliang yang hidup saling berdampingan dan menjaga kerukunan. Sentuhan khas Eropa jelas nampak dari megahnya tiang-tiang masjid serta desain keramik di lantai masjid yang begitu unik dan sulit untuk ditemukan diera modern seperti sekarang ini. Pada bagian luar di antara tiang terdapat pola lengkung yang kental dengan sentuhan arsitektur Hindia Belanda. Adanya unsur arsitektur Eropa karena mas pembuatan masjid pada masa pemerintahan Belanda.  Nuansa khas Timur Tengah (Persia) kentara pada kekayaan rupa ornamen penghias dinding bagian luar maupun pembentuk pagar teras masjid.

Dalam sejarah pembangunan Masjid Raya Rao-rao, dilakukannya pencarian lokasi yang tepat untuk didirikan masjid pada tahun 1892. Kemudian dilakukan pembangunan Masjid dan selesai 1916. Pertama kali dibangun dari masjid adalah tiang di dalam bangunan. Tiang di masjid ini disebut Soko Guru terdiri dari empat buah yang gagah, keempat tiang tersebut menunjukkan jumlah Niniak Mamak yang ada di Nagari Rao-rao yaitu Chaniago, Bendang Mandailing, Koto Piliang, dan Petapang Koto Ampek sama seperti filosofi atap tumpang masjid, gonjong menara masjid, dan pintu masuk masjid yang masing-masing berjumlah empat buah.

Selesainya pembangunan masjid 1916 belum sepenuhnya sempurna, karena lantai masjid belum di marmer. Belum terwujudnya lantai marmer karena terkendala masalah dana, sehingga para pemuka Nagari datang ke Malaysia untuk mencari sumbangan dana pemasangan marmer lantai yang akhirnya disanggupi. Lantai marmer pemesanannya di Eropa, tepatnya dari Italia. Marmer yang dipesan merupakan marmer tipe nomor dua dari tiga tipe yaitu tipe nomor satu, dua, dan tiga. Dipesannya marmer tipe dua karena berkaitan dengan masalah dana, dimana dana yang ada tidak cukup untuk memesan marmer tipe satu. Proses pengiriman dilakukan langsung dari negara Italia dengan menggunakan kapal yang kemudian sempat singgah di Malaysia (Selat Malaka). Dari Malaysia dilanjutkan menuju Padang (Pelabuhan Teluk Bayur) yang dilanjutkan dengan Kereta Api menuju Piladang (Payakumbuh). Dari Piladang dilanjutkan menggunakan pedati (kendaraan angkut yang dihela oleh sapi atau kuda) menuju ke Nagari Rao-rao.

Jendela pada Masjid Rao-rao berjumlah 13. Jumlah jendela tersebut memiliki makna perwujudan 13 rukun sholat. Selain jendela, terdapat enam buah pintu, enam pintu itu memiliki perwujudan enam  penciptaan masa alam.

Tahun 1932 selesainya pembuatan mihrab. Mihrab di Masjid Rao-rao cukup unik dimana terdapat ornamen berupa pecahan-pecahan kaca yang merupakan pecahan kaca dari keramik kepunyaan keluarga Haji Mutahhib yang pecah saat gempa 1926. Keunikan lain dari mihrab terdapat dua tiang yang berbeda bentuk, tiang tersebut melambangkan destar penghulu dan tiang satunya melambangkan sorban alim ulama. Makna dari kedua tiang tersebut menunjukkan keselarasan antara ajaran adat dengan ajaran agama yang disampaikan oleh khotib di dalam mimbar

Selain untuk sholat, masjid ini digunakan untuk kemaslahatan umat, pembinaan generasi muda, dan pendidikan. Di samping masjid terdapat sekolah yang masih dalam area masjid, sekolah tersebut berdiri sejak pertengahan tahun 1920-an diprakarsai Haji Pakiah Salih dengan temannya Haji Ja’far Abdullah dan juga bantuan beberapa ulama nagari. Sekolah tersebut dikenal dengan Diniyyah dan sekolah ini masih eksis sampai 1981.

Tahun 1925, masjid ini bahkan pernah dikunjungi oleh Syekh Abdul Karim Amrullah, ayahanda Buya Hamka. Kedatangan Syekh Abdul Karim Amrullah mengadakan tabligh akbar dalam rangka peringatan 9 atau 10 tahun berdiri Masjid Raya Rao-rao. Masjid Raya Rao-rao tidak hanya dikunjungi para wisatawan religi dari dalam negeri tetapi juga luar negeri. Selain Masjid Rao-rao, masjid lain yang mengikuti desain dari Masjid Rao-rao adalah Masjid Sa’adah Gurun di Kecamatan Sungai Tarab dan Masjid Raya Koto Baru di Kecamatan Sungai Baru, Kabupaten Solok Selatan. Konon, sang arsitek dari ketiga masjid tersebut sama.

Masjid Rao-Rao termasuk dalam salah satu situs Cagar Budaya di Kabupaten Tanah Datar. Peran serta berbagai pihak, utamanya masyarakat dalam upaya pelestarian akan serta merta memperjang usia masjid secara fisik, pun mempertahankan nilai-nilai sejarah, arsitektur, dan keagamaan untuk dapat dirasakan hingga generasi penerus kelak.

oleh: Gilang Aditya (BPCB Sumatera Barat)