Mendaratnya Islam di tanah air didukung oleh kondisi maritim yang mengelilingi negara ini. Aktivitas pelayaran tempo dulu menjadi lantaran terjalinnya interaksi dengan dunia luar.  Salah satu bukti bendawi yang mendukung kenyataan itu ialah “Istana Siak Sri Indrapura”. Peninggalan Kerajaan Siak Sri Indrapura tersebut merupakan cagar budaya yang berada di wilayah kerja BPCB Sumatra Barat.

Berperan sebagai Kerajaan Bahari, maka Kerajaan Siak merupakan salah satu kekuatan Islam di kawasan pantai timur Sumatra. Nama kerajaan ini disesuaikan dengan keadaan alamnya  yang banyak dikelilingi tumbuhan siak-siak. Nama Siak juga terdapat dalam catatan Tomi Pireh dan Kitab Nagarakartagama. Kerajaan ini meramaikan catatan sejarah Islam di Indonesia sekitar abad ke 18 dan abad ke 19 sehingga dapat dikatakan bahwa Kerajaan Siak masih satu rumpun dengan Kerajaan Malaka dan Kerajaan Kampar. Hal itu semakin jelas tatkala dikaitkan dengan Syair Perang Siak yang menyibak keterangan bahwa Raja Kecil adalah anak dari Sultan  Mahmud Syah II (Raja Johor yang meregang nyawa akibat persekongkolan istana).

Data sejarah menyebutkan Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan tahun 1723 oleh Raja Kecil yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah. Sebelum membangun kerajaan tersebut, Raja Kecil sempat berupaya membalas kematian ayahnya di tangan  Magat Sri Rama, namun tidak membuahkan hasil karena bendahara istana melakukan khianat. Keinginannya untuk kembali meraih  Kesultanan Johor kandas akibat persekutuan Bugis dan Bangsawan Johor.

Memiliki garis keturunan Johor membuat kehidupan Raja Kecil tak harmoni.  Hal itu karena sang raja lahir dan dewasa di tengah perebutan tahta yang menuntutnya mencari pelarian. Pada tahun 1723  Raja Kecik menemukan  Bintan dan mendirikan negeri baru di tepi Sungai Buantan (anak Sungai Siak). Kedudukan Kerajaan Siak tidak tetap karena mengalami perpindahan dari Kota Buantan ke Mempura. Kemudian beralih ke Senapelan Pekanbaru dan kembali lagi ke Mempura hingga akhirnya mantap di  Kota Siak Sri Indrapura.

Raja Kecil atau Kecik ini lebih dikenal dengan Baginda Marhum Buantan. Beliau wafat pada tahun 1746 dan posisinya digantikan oleh Sultan Muhammad Abdul Jalil Jalaludin Syah yang kemudian diteruskan oleh keturunan ketiga, yaitu Sultan Ismail Abdul Jalil Jalaludin Syah (di masa ini pusat kerajaan berpindah ke Kota Siak Sri Indrapura). Selanjutnya supremasi kerajaan berpindah tangan ke paman Ismail yang bernama Sultan Abdul Jalil Allamudin Syah (1761-1766). Kedudukan Allamudin Syah dilanjutkan putranya Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzam Syah (1766-1779). Kepemimpinan terus bergulir ke Sultan Yahya Abdul Jalil Muzafar Syah, Sultan Assayaidis Syarief Ali Abdul Jalil Syaifudin, Sultan Assayaidis Syarief  Ibrahim Abdul Jalil khalilludin, Sultan Assayaidis Syarief  Syaifuddin Marhum, Sultan Assayaidis Syarief  Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin hingga yang terakhir Sultan Assayaidis Syarief  Kasim Abdul Jalil Syaifuddin yang bernama asli Tengku Sulung Syarief Kasim atau  dikenal Kasim II (pada tahun 1997 mendapat gelar kehormatan sebagai pahlawan nasional).

Eksistensi raja – raja Siak menyisakan kenangan masa lalu yang terwujud pada “Istana Siak Sri Indrapura”. Istana megah ini didirikan oleh Sultan Siak Ke-11 (Assayaidis Syarief   Hasyim). Letak cagar budaya ini kurang lebih 120 km dari Kota Pekanbaru. Objek tersebut beralamatkan  di Jalan Istana, Desa Kampung Dalam, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Dulunya Kabupaten  Siak adalah bagian dari Kewedanan Siak yang berada di bawah Kabupaten Bengkalis, namun pada tahun 1999 Kabupaten Siak berdiri dengan Ibukota Siak Sri Indrapura. Hal itu menjadikan Istana Siak berada dalam posisi strategis karena dekat dengan  pusat pemerintahan dan mudah dijumpai (Landmark Kota Siak).

Berdasarkan hasil pemuktahiran data BPCB Sumatra Barat, kontruksi istana dibangun pada tahun 1889. Tepatnya di awal kepemimpinan Sultan  Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889-1908). Sultan Assayaidis Syarief  Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin merupakan raja yang membawa Siak pada kemajuan, khususnya bidang ekonomi. Hal tersebut nampak  pada relasi Siak dengan negeri Eropa sehingga cagar budaya dengan nomor inventaris 05/BCB-TB/B/07/2007 tersebut  dibuat  pasca lawatan Sultan dari Eropa (Jerman dan Belanda). Jadi tidak heran jika nuansa bangunan menonjolkan gaya Eropa karena sang arsitek yang bernama Vande Morte berasal dari Jerman.

Menurut  historinya, nama lain istana ini adalah “Asseraiyah Hasyimiah” (sebagai refleksi hubungan Sultan dengan Bani Hasyim). Istana yang berbentuk segiempat itu adalah wujud perpaduan antara sentuhan Melayu, Arab dan Eropa. Di setiap sudut bangunan terdapat pilar bercorak bulat dan pada puricaknya dihiasi burung garuda. Pada pintu dan jendelanya berbentuk kubah dengan ornamen mozaic kaca. Pada lantai bawah bangunan terdapat enam ruangan dan lantai atas ada sembilan ruangan, termasuk kamar sultan dan ruang istirahat tamu kerajaan.

Sebagai bagian dari aktifitas tokoh sejarah di masa silam, Istana Siak Sri Indrapura saat ini difungsikan sebagai museum penyimpanan tinggalan raja – raja Siak. Benda yang dimaksud, yaitu meriam kerajaan, foto sultan, souvenir kerajaan, surat wasiat kerajaan, peralatan rumah tangga dan sebagainya. Bangunan bernilai sejarah dan arkelogi ini dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Siak. Kokohnya kontruksi bangunan menunjukkan pesatnya peradaban lampau serta kepiawaian pemimpin lokal untuk menjalin interaksi dengan bangsa asing. Sebuah bangunan yang tak bertutur, namun memberi konstruktif agar generasi penerus bangga pada warisan leluhur. Melalui “Istana Siak Sri Indrapura” pribumi wajib besar hati akan kekayaan nilai sejarah dan arkeologi yang terkandung di dalamnya. Bersendi pada pokok tersebut, maka cagar budaya ini patut senantiasa dilestarikan (Merlina).