Mengutip dari majalah tempo Bung Hatta adalah buku yang tak pernah tamat dibaca, menjejaki kembali kisah bapak bangsa ini tak akan pernah habis untuk dikupas, begitu luas, begitu dalam. Pengabdiannya yang tak mengenal ujung, warisan karya yang luar biasa dengan tulisan tulisannya yang tajam menggetarkan jiwa, kecintaannya terhadap pertiwi tak tertandingi. Meskipun Bung Hatta tidak lagi berada ditengah kita, bahkan sekalipun banyak tidak pernah berjumpa menatap wajahnya yang cerdas dan hanya mengenalnya dari foto, karya tentangnya ataupun warisan karyanya, namun mengingatnya akan membangkitkan kerinduan akan pemimpin jujur, cerdas, religius dengan nasionalisme tinggi karena begitulah Bung Hatta. Jika bertandang ke Bukittinggi tepat di Jantung Kota Bukittinggi yang dilingkungi Gunung Singgalang, Merapi dan Sago, istana Bung Hatta masih berdiri kokoh dan terawat mewakili jiwa Bung Hatta yang tetap hidup di tengah masyarakat. Istana Bung Hatta sudah familiar bagi masyarakat Sumatera Barat, istana ini berdiri di pusat wisata dekat dengan Jam Gadang menghadap ke gunung Marapi dan Bukit Barisan, rumah ini bergaya kolonial dengan atap sirap yang pada mulanya jumlah kamarnya sebanyak 8 dan sekarang jumlah kamar menjadi 12 kamar. Di halaman depan rumah terdapat dua buah patung Bung Hatta yang terdiri dari satu patung utuh dan satunya lagi patung setengah badan.
Rumah ini punya cerita panjang yang menyimpan banyak even historis, pada masa kolonial Belanda, Istana Bung Hatta digunakan sebagai kantor Residen Padangse Bovenlanden dan Asisten Residen Agam. Kemudian pada masa pendudukan Jepang difungsikan sebagai rumah Panglima Pertahanan Jepang (Seiko Seikikan Kakka). Kemudian setelah Indonesia merdeka, gedung ini dikenal dengan nama Rumah Tamu Agung dan pernah dijadikan sebagai tempat tinggal dan kantor wakil presiden Bung Hatta selama bertugas di Bukittinggi pada tahun 1947-1948, rumah ini mewakili kesederhanaan Bung Hatta sendiri dan di dalam rumah juga menyimpan perjalanan panjang Bung Hatta lewat foto-foto yang terpajang dari Bung Hatta kecil hingga jadi wakil presiden RI yang pertama. Jika pulang ke Sumatera Barat di rumah inilah Bung Hatta menetap, melakukan pergerakan perjuangan dan menyelesaikan segala masalah yang mendesak hingga melakukan pertemuan dengan tokoh tokoh perjuangan. Rumah ini menyimpan cerita perjuangan dan penderitaan bangsa demi Kemerdekaan Indonesia, ketika Yogyakarta diduduki oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan agresi militernya yang ganas karena ingin kembali memiliki bumi pertiwi untuk dijajah dan dihisap, pemimpin bangsa kemudian ditawan tapi Indonesia tidak pernah menyerah, roda pemeritahan tidak boleh berhenti. Agar nadi Indonesia tetap berdenyut dibentuklah PDRI yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara, pemerintahan ini berpusat di Bukittingi dan Istana Bung Hatta dijadikan sebagai salah satu basis PDRI. (Viva.co.id)
Agresi militer belanda yang brutal menjalar hingga jantung PDRI, Pada tanggal 19 Desember lewat serangan udara Belanda membombardir Bukittinggi dengan mengebom objek objek vital dan kendaraan umum yang menewaskan banyak masyarakat. Istana Bung Hatta tidak luput dari gempuran-gempuran yang menghancukan, PDRI kemudian berpindah pindah tempat hingga menetap di Bidar Alam. Setelah kemerdekaan Idonesia bisa dipertahankan, pertiwi menghadapi kembali krisis internal yang memicu PRRI yang kemudian menjadi sejarah kelam bagi masyarakat Sumbar, tahun 1958 pemerintah melakukan pemekaran wilayah Sumatera Tengah dengan memecah Sumatera tengah menjadi tiga wilayah. Pada tahun 1961 Istana Bung Hatta yang hancur kembali didirikan oleh Gubernur Sumatera Barat pertama Kaharudin Datuk Rangkayo Basa mendirikan baru dengan nama Gedung Negara Tri karena dilingkungi tiga gunung Gunung Merapi, Gunung Singgalang dan Gunung Sago (Penulis Merry Kurnia)